Sungai bukan tempat membuang kelebihan air. Sungai juga lahan properti yang potensial untuk kepentingan umum. Jika dikelola dengan baik, fungsinya bakal lebih beragam dan bermanfaat besar bagi publik.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·3 menit baca
Persepsi sungai tidak hanya sebagai tempat pembuangan air, tetapi juga untuk memperindah sekaligus meningkatkan mutu perkotaan hendaknya kian dikuatkan. Sudut pandang ini akan mengubah perilaku masyarakat dalam memperlakukan sungai agar lebih memperhatikan lingkungan dan estetika sehingga tidak membuang sampah sembarangan.
Demikian dikemukakan oleh pakar perkotaan dari Universitas Tarumanagara, Suryono Herlambang, ketika dihubungi, Senin (2/11/2020). Sungai pada dasarnya adalah aset wilayah terkait kelestarian lingkungan, ketersediaan air, pencegahan genangan, transportasi, sekaligus pembangunan permukiman dan fasilitas umum yang nyaman untuk masyarakat dari seluruh tingkatan ekonomi dan sosial.
”Jangan hanya melihat sungai untuk ditanggul demi pencegahan banjir karena itu adalah salah satu dari sekian banyak aspek manfaat sungai. Apabila sungai dilihat sebagai lahan properti yang potensial untuk kepentingan umum, pemakaiannya akan lebih luas dan terkelola dengan baik,” ujarnya.
Dalam kesempatan yang berbeda, sosiolog akar rumput Universitas Negeri Jakarta, Asep Suryana, menjelaskan, sejarah sosial di Jakarta sejak zaman Belanda mengungkapkan bahwa masyarakat Batavia dan sekitarnya sangat bergantung pada sungai. Tidak hanya sebagai tempat mengambil air, mandi, dan mencuci baju, tetapi juga sebagai moda transportasi dan penyebaran budaya.
Hingga abad ke-19, sungai merupakan jalur transportasi utama di Batavia. Rumah-rumah warga umumnya menghadap ke sungai. Fungsi sungai sebagai halaman depan ini berarti warga harus menjaga kebersihan dan keindahan sungai karena selalu dilihat oleh kapal dan sampan yang lewat.
Asep memaparkan, ketika jalan darat dibangun secara masif, sungai sebagai jalur transportasi mulai ditinggalkan. Bantaran yang awalnya merupakan halaman depan warga perlahan diokupasi menjadi permukiman ilegal. Sungai berubah menjadi halaman belakang warga, artinya beralih fungsi menjadi tempat pembuangan sampah dan kakus.
”Air pun kini dipompa dari tanah sehingga sungai tidak menjadi sumber air bersih. Ditambah dengan berbagai unit usaha mikro hingga makro yang membuang limbah ke sungai. Persepsi ini menumpuk di dalam pikiran warga sehingga begitu menyebut kata ’sungai’ ataupun ’kali’ yang terpikir langsung sebagai tempat pembuangan,” kata dia.
Sejauh ini, dari segi pemerintah tindakan yang dilakukan adalah mengeruk sungai dan meminta agar warga tidak membuang sampah ke sungai. Akan tetapi, dengan adanya permukiman persis di bantaran sungai, hal tersebut sukar dilakukan karena pinggiran sungai kian kandas dan menyempit sehingga aliran air tidak lancar.
Dari pihak kecamatan umumnya terus melakukan pengerukan di tali-tali air. Misalnya di Kecamatan Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Camat Pasar Minggu Arif Wibowo mengatakan, ada enam rukun warga yang terletak di bantaran Ciliwung dan masih terus terendam air setiap kali hujan deras.
”Setiap pekan kami mengerahkan warga kerja bakti membersihkan selokan karena selalu terjadi tumpukan sampah, baik sampah plastik maupun daun-daun dan ranting pohon,” katanya.