Libur Panjang Tak Sepenuhnya Pengaruhi Peningkatan Kasus di Bekasi
Libur panjang tak semata-mata jadi penyebab Kota Bekasi kembali jadi daerah zona merah risiko Covod-19. Tes masif dengan 10.000 PCR turut berpengaruh pada peningkatan kasus di daerah itu.
Oleh
STEFANUS ATO
·4 menit baca
BEKASI, KOMPAS — Kasus Covid-19 di Kota Bekasi, Jawa Barat, yang kembali meningkat selama beberapa hari terakhir tak sepenuhnya dipengaruhi oleh libur panjang dan cuti bersama 2020. Penambahan kasus Covid-19 di daerah itu tidak terlepas dari program tes masif yang direncanakan menghabiskan 10.000 alat tes usap PCR.
Berdasarkan data Satuan Tugas Covid-19 Kota Bekasi, akumulasi kasus Covid-19 di daerah itu hingga 3 November 2020 sebanyak 6.854 kasus. Dari jumlah itu, 6.442 kasus sembuh, 143 kasus meninggal dunia, dan 269 kasus dirawat atau isolasi mandiri.
Pada 31 Oktober 2020, akumulasi kasus Covid-19 di Kota Bekasi 6.532 kasus. Artinya, selama kurun waktu tiga hari terakhir, ada penambahan 322 kasus baru.
Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dinas Kesehatan Kota Bekasi Dezy Syukrawati mengatakan, penambahan kasus aktif Covid-19 di Kota Bekasi yang mengubah daerah itu menjadi satu-satunya daerah zona merah di Jawa Barat tak bisa hanya dilihat saat masa libur panjang 2020. Sebab, Kota Bekasi sedang menggencarkan tes usap tenggorokan dengan jumlah 10.000 alat tes PCR. Ribuan alat tes itu ditargetkan habis terpakai pada 6 November 2020.
”Temuan kasus kami tinggi karena kami sedang ada program tes masif. Oleh karena kegiatan itu berkaitan dengan libur panjang, jadi tidak terasa ada peningkatan karena semua orang diperiksa,” ujar Dezy, Rabu (4/11/2020) di Bekasi.
Selain tes usap, kata Dezy, seusai masa libur panjang, kesadaran warga Kota Bekasi untuk memeriksakan diri melalui tes cepat Covid-19 meningkat. Misalnya, di Rumah Sakit Darurat Stadion Patriot Candrabhaga, saat keadaan normal, setiap hari warga yang mengikuti tes cepat rata-rata 100 orang.
”Tetapi pada Senin, warga yang nengikuti tes 137 orang. Artinya, ada peningkatan tes 30 persen,” ucap Dezy.
Secara umum, hingga saat ini, Kota Bekasi sudah menghabiskan sekitar 67.000 alat tes PCR. Tes usap yang terus bertambah itu juga diperkuat dengan laboratorium PCR yang saat ini tersedia di enam laboratorium.
”Makanya meski Kota Bekasi zona merah, kami nomor satu dalam penanganan (Jawa Barat). Artinya, di luar temuan kasus, penanganan kami dinilai positif. Kalau kami tidak melakukan apa-apa, pasti angkanya rendah, tetapi kasus tersembunyi,” ujar Dezy.
Sebelumnya, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, seperti dikutip dari Youtube Humas Jabar, Senin (2/11/2020), mengatakan, dari peta zona risiko, daerah zona merah di wilayahnya masih ada satu, yaitu di Kota Bekasi. Jumlah wilayah zona merah di provinsi itu sama seperti minggu sebelumnya, tetapi bergeser dari Depok ke Kota Bekasi.
”Kami berharap nol zona merah, tetapi masih ada satu. Ini fluktuatif. Secara umum, karena pergerakan dan lain-lain,” ucap Kamil.
Meskipun Kota Bekasi berstatus zona merah, daerah itu menempati peringkat teratas atau kota terbaik di Jawa Barat dalam rapor penilaian provinsi dalam penanganan Covid-19. Unsur-unsur penilaian itu didasarkan pada kemampuan daerah dalam kapasitas tes, pelacakan, treatment (kapasitas rumah sakit), pencegahan, dan tata kelola.
Kontradiktif
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Bekasi Ahmad Faisyal mengatakan, Kota Bekasi yang kembali menjadi zona merah sekaligus daerah terbaik dalam penanganan Covid-19 dinilai kontradiktif. Artinya, pengendalian pandemi di daerah itu masih bermasalah.
”Jadi, Wali Kota Bekasi harus betul-betul mengawasi kinerja jajarannya agar penanganan Covid-19 maksimal. Termasuk dalam penggunaan anggaran Covid-19, harus dipastikan tepat sasaran,” ucap anggota DPRD Fraksi PDI-P itu.
Ia menambahkan, jika penanganan pandemi di Kota Bekasi termasuk baik, tetapi masih berada di zona merah, artinya upaya preventif untuk meningkatkan kesadaran warga dalam mematuhi protokol kesehatan masih harus terus digencarkan pemerintah. Sosialisasi masif sangat dibutuhkan karena daerah itu termasuk daerah penyanggah Jakarta yang sebagian besar mobilitas warganya menuju ke Ibu Kota.
Selain sosialisasi, kata Faisyal, penerapan sanksi bagi pelanggar protokol kesehatan kian urgen di daerah itu untuk memberi efek jera bagi warga. Penerapan sanksi masih menunggu pengesahan Peraturan Daerah tentang Adaptasi Tatanan Hidup Baru (ATHB) di Kota Bekasi, oleh DPRD Kota Bekasi.
”Memang perlu ada sanksi. Karena, kalau pemerintah sudah maksimal, tetapi kesadaran masih rendah percuma, sampai kapan pun tetap di zona merah. Perda ini sangat urgen dan pengesahannya masih menunggu kajian Pemprov Jawa Barat,” ucapnya.