Pembebasan Lahan untuk Pengendalian Banjir di Jakarta Dimulai
Tugas pemerintah tidak selesai di pembebasan lahan dan pemindahan warga. Harus ada program bersama unsur masyarakat dan swasta untuk memastikan bahwa warga-warga yang pindah mendapat hunian baru yang layak.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sebagian lahan yang dibutuhkan untuk proyek pengendalian banjir di Ibu Kota sudah mulai dibebaskan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Nantinya, lahan tersebut untuk pembangunan infrastruktur pencegahan banjir. Harapannya adalah setelah lahan diambil oleh pemerintah, eksekusi penataan bantaran sungai bisa segera dilakukan.
Salah satu wilayah yang telah memproses pembebasan lahan ialah Kelurahan Pejaten Timur, Kecamatan Pasar Minggu, Jakarta Selatan. ”Total ada 1.000 hektar lahan yang telah dalam proses pembebasan,” kata Lurah Rasyid Darwis ketika dihubungi di Jakarta, Rabu (4/11/2020).
Menurut dia, lahan seluas 1.000 hektar yang berada di bantaran Sungai Ciliwung itu terdiri dari lahan kosong milik warga serta rumah dan tempat usaha. Negosiasi proses pembebasan dengan Pemprov DKI Jakarta sendiri sudah dimulai sejak 2017, dan lahan-lahan itu perlahan mulai beralih kepemilikan ke pemerintah sejak 2018. Proses ini terhenti di tahun 2019 karena ada penurunan anggaran pendapatan dan belanja daerah Jakarta serta tahun 2020 karena pandemi Covid-19.
”Ada dua skema penentuan harga. Khusus lahan di bantaran sungai yang ada bangunan, baik rumah maupun tempat usaha, ganti rugi untuk setiap meter persegi berdasarkan harga pasar di wilayah Pejaten,” kata Rasyid. Adapun lahan bantaran sungai yang dimiliki warga, tetapi kosong atau digunakan untuk berkebun dilepas berdasarkan harga nilai jual obyek pajak.
Tugas pemerintah tidak selesai di pembebasan lahan dan pemindahan warga. Harus ada program bersama unsur masyarakat dan swasta untuk memastikan bahwa warga-warga yang pindah mendapat hunian baru yang layak.
Terkait mayoritas warga yang telah meninggalkan Pejaten Timur, Rasyid mengungkapkan, mereka merupakan pengontrak. Umumnya bekerja sebagai pedagang musiman di Pasar Minggu. Oleh karena itu, mereka hanya menyewa rumah petak atau bisa juga kos di Pejaten Timur. Tidak susah meminta mereka untuk pindah ketika pihak kelurahan menyosialisasikan mengenai rencana normalisasi dan pembangunan ruang terbuka hijau bantaran Sungai Ciliwung.
Kondisi saat ini terdapat tujuh rukun warga (RW) di Pejaten Timur yang masih tergenang air setiap kali terjadi hujan lebat. Warga tidak mengungsi karena jika ada genangan, mereka bisa menempati lantai dua rumah masing-masing. Meskipun demikian, pihak kelurahan tetap memberi pilihan posko banjir di Masjid Al-Makmur dan salah satu sekolah di RW 005.
Ketika memimpin apel kesiapsiagaan menghadapi musim hujan, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menegaskan bahwa meskipun keadaan darurat seperti pengungsian karena banjir, protokol kesehatan tetap harus dijaga. Jangan sampai posko pengungsian mengakibatkan kluster baru Covid-19.
”Perahu-perahu karet juga disiapkan khsusus. Ada yang untuk mengangkut warga yang tengah menjalani isolasi mandiri, ada yang khusus mengangkut pasien Covid-19, dan ada yang khusus mengangkut orang yang belum terpapar virus,” kata Anies.
Musim hujan kali ini berbarengan dengan La Nina sehingga ada peningkatan curah hujan. Anies menjelaskan, mayoritas drainase di Ibu Kota berkapasitas maksimal menampung 100 milimeter hujan per hari. Berkaca dari pengalaman pada awal tahun 2020 yang curah hujan hariannya adalah 377 milimeter, drainase tidak akan bisa menampung sehingga dipastikan banjir. Debit air ini belum termasuk limpahan dari Bendungan Katulampa di Jawa Barat.
”Indikator utama keberhasilan kita menghadapi musim hujan adalah tidak ada warga yang menjadi korban dan genangan air surut dalam kurun 6 jam,” kata Anies.
Domisili baru
Sosiolog peneliti masyarakat akar rumput Universitas Negeri Jakarta Asep Suryana mengatakan, adanya pemindahan warga dari bantaran sungai merupakan keniscayaan karena kebutuhan pemeliharaan ekosistem dan pencegahan banjir. Akan tetapi, tugas pemerintah tidak selesai di pembebasan lahan dan pemindahan warga.
Harus ada program bersama unsur masyarakat dan swasta untuk memastikan bahwa warga-warga yang pindah mendapat hunian baru yang layak dari segi tempat, sanitasi, dan akses kepada pekerjaan serta pendidikan. Jika tidak ada pengawasan dan pendampingan, muncul risiko warga yang dipindah dari bantaran Ciliwung akan mengokupasi bantaran sungai lainnya atau tanah-tanah yang sesungguhnya tidak boleh dijadikan permukiman.
”Beri warga kebebasan memilih hendak pindah ke rumah susun, membangun rumah di lokasi baru, atau membeli rumah jadi. Dampingi mereka agar uang ganti rugi tersebut dimanfaatkan untuk mencari hunian baru yang layak,” ucapnya.