Ruang publik terpadu ramah anak di Jakarta masih sepi meskipun sudah dibuka di masa PSBB transisi. Lapangan dan ruang bermain yang belum bisa dipakai membuat pengunjung enggan datang.
Oleh
INSAN ALFAJRI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ruang publik terpadu ramah anak atau RPTRA di Jakarta dibuka secara terbatas di masa pembatasan sosial berskala besar transisi. Pengunjung hanya boleh menggunakan jalur joging dan taman refleksi. Ini membuat RPTRA menjadi sepi pengunjung.
Di RPTRA Kemandoran, Jakarta Selatan, Senin (19/10/2020), arena bermain, lapangan, serta pendopo diberi tali. Ada pula pengumuman arena tersebut belum bisa digunakan.
Menurut koordinator pengelola RPTRA Kemandoran, Irma, pengunjung hanya bisa mengakses jalur joging dan taman refleksi. Pengunjung pun masih dibatasi seperti PSBB. Anak-anak yang diizinkan masuk harus berusia di atas sembilan tahun. Orang berusia di atas 60 tahun dilarang masuk.
Pembatasan ini, lanjutnya, membuat pengunjung tak bebas. Anak-anak masuk ke RPTRA umumnya hanya dalam hitungan menit saja, lalu keluar lagi. ”Mungkin mereka mikir, bakal main apa? Karena, kan, lapangan dan playground belum boleh digunakan,” ujarnya.
Situasi ini sangat kontras dibandingkan dengan masa sebelum pandemi Covid-19. RPTRA ini selalu ramai setiap hari. Di hari kerja, ada anak sekolah bermain bola. Sementara saat akhir pekan, RPTRA penuh oleh warga sekitar. ”Di hari normal kami buka sampai pukul 22.00. Sekarang sampai pukul 17.00,” ujarnya.
Di Jakarta Barat, koordinator pengelola RPTRA Jeruk Manis, Nurjanah, belum mengumumkan secara resmi kepada warga tentang pembukaan RPTRA. Dia khawatir akan sulit mengontrol warga apabila sudah beraktivitas di tempat ini. Dia juga tak ingin pengelola terkesan membatasi aktivitas warga.
”Di masa transisi sekarang, fungsi RPTRA, kan, jadi sangat terbatas. Ngapain orang kalau cuma boleh mengakses jalur joging? Sementara pengunjung rutin di sini adalah lansia yang biasanya berjemur setiap pagi. Makanya kami belum mengumumkan dulu. Kalau ada yang datang dan dia mencukupi syarat umur, ya sudah, kami biarkan masuk,” tuturnya.
Ketika RPTRA masih tutup saja, masih ada sejumlah anak yang nekat bermain bola. Padahal, pengelola menjelaskan bahwa lapangan belum bisa dipakai. ”Selama dua bulan penutupan, masih ada yang bandel main bola ngumpet-ngumpet. Akhirnya mereka capek sendiri setelah berkali-kali kami ingatkan. Sekarang kalau tahu RPTRA buka, pasti bakal susah lagi menjelaskan ke mereka,” tambahnya.
Di masa transisi sekarang, fungsi RPTRA, kan, jadi sangat terbatas. Ngapain orang kalau cuma boleh mengakses jalur joging? Sementara pengunjung rutin di sini adalah lansia yang biasanya berjemur setiap pagi. Makanya, kami belum mengumumkan dulu. Kalau ada yang datang dan dia mencukupi syarat umur, ya sudah, kami biarkan masuk.
Di masa PSBB transisi, pengelola fokus menjaga kebersihan RPTRA seluas 1.600 meter persegi ini. Siang itu, misalnya, salah seorang pengelola membersihkan lapangan bola yang tergenang air. Jika tak dibersihkan setiap hari, lapangan berlantai semen itu akan ditumbuhi lumut sehingga lantai licin.
Pengelola RPTRA Pandawa, Jakarta Barat, Rina Sari, menjelaskan, salah satu tantangan bagi pengelola adalah menjelaskan kepada anak-anak agar tak menggunakan lapangan. Pengelola pernah dua kali ditegur lantaran ada pengunjung yang bandel.
Kasus pertama terjadi ketika Jakarta masih dalam status PSBB ketat dan RPTRA masih tutup. Saat itu, ada enam anak bermain bola. Pengelola saat itu berpendapat jumlah mereka sedikit sehingga diizinkan memakai lapangan. Ternyata, ada warga yang melaporkan hal ini ke kelurahan. Pengelola pun ditegur.
Kasus berikutnya terjadi beberapa waktu lalu ketika RPTRA sudah dibolehkan beroperasi secara terbatas. Ada anak-anak nekat bermain bola setelah pengelola pulang. ”Waktu itu menjelang maghrib. Kami sudah pulang karena jam kerja cuma sampai pukul 17.00. Ternyata, ada anak-anak main bola dan dipotret warga. Kami ditegur lagi oleh lurah,” jelas Rina.
Pada Senin siang, dua anak dengan usia sekitar enam tahun mendekati taman bermain. Lalu, Rina keluar dari kantornya dan menyuruh kedua anak itu pulang. ”Dik, belum boleh dipakai, ya,” katanya.