Raperda Pengendalian Covid-19 Kota Bekasi: 6 Bulan Kurungan bagi Pelanggar Protokol
Pembahasan raperda pengendalian Covid-19 di Kota Bekasi terus dikebut. Jika sah dan berlaku, korporasi yang melanggar protokol kesehatan terancam sanksi denda maksimal Rp 50 juta atau enam bulan penjara.
Oleh
STEFANUS ATO
·4 menit baca
BEKASI, KOMPAS — Rancangan peraturan daerah adaptasi tatanan hidup baru dalam mengendalikan Covid-19 di Kota Bekasi, Jawa Barat, hampir rampung. Rancangan peraturan itu menyebutkan, sanksi maksimal bagi pelanggar protokol kesehatan adalah pidana kurungan enam bulan atau denda maksimal Rp 50 juta.
Raperda juga mengatur jenis-jenis pembatasan aktivitas warga yang disesuaikan dengan level kewaspadaan atau tingkat risiko penularan Covid-19. Pembahasan Raperda Adaptasi Tatanan Hidup Baru (ATHB) Kota Bekasi dilaksanakan Panitia Khusus (Pansus) 12 DPRD Kota Bekasi. Pembahasan raperda hampir rampung dan akan segera diparipurnakan.
”Pembahasan Raperda ATHB berjalan lancar, semua pihak kami beri kesempatan untuk memberi masukan, termasuk pelaku usaha, tokoh agama, hingga tokoh masyarakat. Jadi, karena ini namanya ATHB, ada banyak aspek yang dibicarakan, mulai dari kesehatan, ekonomi, sosial, budaya, pendidikan, dan pariwisata,” kata Ketua Pansus 12 DPRD Kota Bekasi Haeri Parani, Selasa (13/10/2020), di Bekasi.
Semangat utama dari Perda ATHB adalah membangun kesadaran publik untuk kian patuh pada protokol kesehatan demi menjaga agar jangan sampai Covid-19 di Kota Bekasi terus meningkat. (Haeri Parani)
Politisi Fraksi Partai Demokrat itu menambahkan, dalam Raperda ATHB diatur sanksi-sanksi bagi pelanggar protokol kesehatan, mulai dari saksi individu hingga sanksi bagi korporasi. Sanksi terberat yang bisa dikenakan kepada setiap individu yang melanggar protokol kesehatan berupa ancaman pidana kurungan tujuh hari atau denda Rp 250.000. Raperda itu juga mengatur soal sanksi teguran dan sanksi kerja sosial.
Jika ada perusahaan ataupun perkantoran yang melanggar protokol kesehatan dikenai sanksi penyegelan, pencabutan izin usaha atau operasional tempat kerja, hingga ancaman pidana kurungan selama tiga bulan atau denda paling banyak Rp 50 juta.
Haeri mengatakan, sanksi di Raperda ATHB menjadi pegangan bagi Satuan Polisi Pamong Praja Kota Bekasi, Polri, TNI, kejaksaan, hingga kehakiman, dalam menindak dan menegakkan hukum bagi pelanggar protokol kesehatan. Saat perda disahkan, petugas tak perlu ragu untuk bertindak tegas bagi pelanggar protokol kesehatan karena ada payung hukum yang kuat.
”Semangat utama dari Perda ATHB adalah membangun kesadaran publik untuk kian patuh pada protokol kesehatan demi menjaga agar jangan sampai Covid-19 di Kota Bekasi terus meningkat. Jadi, Satpol PP sebagai penegak peraturan daerah kami tekankan untuk tidak sedikit-sedikit menjatuhkan sanksi. Bukan itu tujuan utama dari Perda ATHB,” kata Haeri.
Raperda ATHB juga mengatur tentang jenis-jenis pembatasan aktivitas warga yang disesuaikan dengan level kewaspadaan Kota Bekasi. Misalnya, saat Kota Bekasi masuk zona merah, aktivitas perkantoran, seperti bank, 50 persen karyawannya diwajibkan bekerja dari rumah.
”Di dalam salah satu pasal juga diatur penyesuaian pembatasan aktivitas warga dan korporasi saat Kota Bekasi berada di level merah, kuning atau sedang. Nanti pembatasan detailnya diatur lagi melalui peraturan wali kota,” kata Haeri.
Pembatasan kembali berubah
Saat Raperda ATHB dikebut pembahasannya oleh DPRD Kota Bekasi, Wali Kota Bekasi Rahmat Effendi kembali menerbitkan Surat Edaran Nomor 440/6271/SETDA.TU pada 12 Oktober 2020. Surat edaran itu mengatur tentang batasan jam operasional aktivitas usaha warga di malam hari.
Dalam edaran itu, batasan jam operasional aktivitas usaha kembali berubah atau berbeda dengan ketentuan dalam surat edaran sebelumnya yang jadi dasar hukum operasional unit usaha ketika pembatasan aktivitas usaha malam di Kota Bekasi hingga pukul 18.00, setelah 9 Oktober 2020 tak lagi berlaku. Perubahan itu, antara lain, operasional panti pijat yang sebelumnya dibatasi sampai pukul 21.00 kembali diizinkan beroperasi sampai pukul 23.00 atau disamakan dengan waktu operasional klub malam, bar, karaoke, pub, dan biliar.
Di dalam surat edaran itu, pembatasan kembali diperketat untuk aktivitas usaha jasa, seperti pusat perbelanjaan dan toko swalayan. Bidang usaha jenis ini jam operasionalnya dibatasi hanya sampai pukul 21.00. Sementara aktivitas usaha rumah makan dan kafe, batasan melayani pelanggan makan di tempat hanya sampai pukul 21.00.
Kepala Dinas Pariwisata Kota Bekasi Tedi Hafni mengatakan, sejumlah perubahan aturan pembatasan itu disesuaikan dengan kondisi terkini penyebaran Covid-19 di Kota Bekasi. Para pelaku usaha dan warga diminta untuk tetap mematuhi protokol kesehatan meski ada pelonggaran aktivitas usaha, terutama di tempat hiburan malam.
”Kami menilai sudah memungkinkan. Harapannya mereka tetap patuh protokol kesehatan termasuk mengetes cepat karyawannya (terutama panti pijat),” kata Tedi.
Berdasarkan data Satuan Tugas Covid-19 Kota Bekasi, pada Senin (12/10/2020), akumulasi kasus Covid-19 di daerah itu sebanyak 4.917 kasus. Dari jumlah tersebut, 4.045 kasus sembuh, 133 kasus meninggal, dan 739 kasus masih dirawat atau isolasi mandiri.
Akumulasi kasus Covid-19 di Kota Bekasi pada Selasa (6/10/2020) sebanyak 4.001 kasus. Artinya, selama enam hari terakhir ada penambahan 916 kasus baru. Selain lonjakan kasus, angka positif atau positivity rate di Kota Bekasi juga tinggi, yaitu 13,75 persen. Angka lebih tinggi dari standar yang ditetapkan WHO, yaitu 5 persen.
Menurut Tedi, pelonggaran pembatasan jam operasional aktivitas usaha hiburan malam tetap diawasi ketat, baik oleh dinas pariwisata, satpol PP, kepolisian, maupun TNI. Petugas tak segan menyegel atau menutup aktivitas usaha tempat hiburan yang melanggar protokol kesehatan.
”Kemarin ada satu kafe lagi di Galaxy, Bekasi Selatan, yang disegel karena melanggar protokol kesehatan. Kami akan langsung membina supaya tidak terulang lagi karena yang rugi mereka juga, masyarakat juga,” kata Tedi.