PSBB Transisi DKI Jakarta Menyurutkan Optimisme Pengendalian Pandemi
Penerapan kebijakan berbasis peta watak dan perilaku masyarakat adalah keniscayaan, termasuk dalam memutuskan PSBB.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pelonggaran pembatasan sosial berskala besar menjadi PSBB transisi dinilai sejumlah pengamat membawa penanganan penularan Covid-19 di Ibu Kota ke arah yang kian pesimistis. Apalagi, adanya unjuk rasa penolakan Rancangan Undang-Undang Cipta Karya yang mempertinggi risiko jumlah kasus positif baru.
Keputusan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tersebut dianggap jatuh pada waktu yang tidak tepat. Sebelumnya, selama dua pekan Jakarta menjalankan PSBB dengan pengetatan setelah selama Agustus PSBB transisi diujicobakan berakhir pada peningkatan kasus.
”Sekali lagi tidak tampak ada kajian perilaku manusia selama masa PSBB dengan pengetatan maupun PSBB transisi fase pertama (awal Juni hingga medio September),” kata Rakhmat Wijayanto, sosiolog dari Universitas Negeri Jakarta, tatkala dihubungi pada Senin (12/10/2020).
Idealnya, justru untuk dua pekan ke depan kita melaksanakan PSBB ketat. Apalagi, di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi tengah mengalami peristiwa unjuk rasa besar-besaran.
Ia menjelaskan, tingkat ketidakpedulian warga terhadap protokol kesehatan merupakan kendala utama mengendalikan pandemi Covid-19. Mengenakan masker dan menjaga jarak sejak Maret hingga Oktober masih sulit dicapai secara komprehensif.
Kembalinya PSBB transisi ini bisa membuat masyarakat berpikir bahwa segala kegiatan bisa kembali dilakukan. Untuk itu, kehadiran pemerintah harus kentara selama PSBB transisi, dalam hal ini aturan mengenai protokol kesehatan, pengawasan, penindakan tegas, dan sosialisasi terus-menerus kepada masyarakat. Pada PSBB transisi bulan Agustus, elemen-elemen ini nyaris menghilang sehingga jumlah kasus positif meningkat.
”Namun, idealnya, justru untuk dua pekan ke depan kita melaksanakan PSBB ketat. Apalagi, di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi tengah mengalami peristiwa unjuk rasa besar-besaran yang berarti tidak ada jaga jarak dan risiko penularan virus korona besar sekali,” lanjut Rakhmat.
Dua pekan perpanjangan PSBB dengan pengetatan akan menunjukkan bahwa Pemprov DKI Jakarta membaca perkembangan situasi. Selain itu, menampakkan upaya pemerintah mengendalikan kluster baru akibat unjuk rasa. Pada pekan kelima, baru dilakukan evaluasi PSBB tersebut dengan menghitung besar risiko yang bisa dihindari pascademonstrasi menolak RUU Cipta Kerja.
”Penurunan angka kematian jangan dijadikan landasan membuat kebijakan. Percuma jika angka kematian menurun, tapi angka orang yang terinfeksi Covid-19 tetap meningkat meskipun tidak melonjak jumlahnya,” ujar Rakhmat.
Pelonggaran PSBB Jakarta juga dikhawatirkan mengacaukan situasi di wilayah Bodetabek. Rakhmat menerangkan, selama dua pekan terakhir pemerintah daerah Bodetabek mulai menunjukkan inisiatif pengetatan aturan. Misalnya, memberlakukan jam malam dan membatasi pergerakan warganya.
Langkah-langkah di wilayah penyangga Ibu Kota itu masih berkembang dan dalam tahap penyelarasan dengan Jakarta. Akan tetapi, dengan Jakarta tiba-tiba memutuskan melakukan PSBB transisi, upaya yang masih prematur ini rontok. Sinergi pengendalian Covid-19 berbasis wilayah agregat Jabodetabek akan mundur.
Sebelumnya, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan meminta masyarakat agar tetap menjaga kedisiplinan menerapkan protokol kesehatan. Tren kasus positif memang melandai pada periode medio September hingga awal Oktober. Meskipun belum bisa dibilang rendah juga karena tren peningkatan kasus positif adalah 22 persen. Sebagai gambaran, pada awal September tren peningkatan kasusnya 32 persen.
Antropolog Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Fadjar Thufail, mengemukakan, penerapan kebijakan berbasis peta watak dan perilaku masyarakat adalah keniscayaan. Kegiatan ekonomi merupakan turunan dari budaya serta perilaku sosial sehingga segala aspek dalam PSBB harus dilihat secara komprehensif.
”Sudah jelas ada kejenuhan di masyarakat dan ada ketegangan sosial akibat berkurang drastisnya kegiatan ekonomi. Isu penolakan RUU Cipta Kerja akhirnya memicu masyarakat untuk keluar rumah dan beraktivitas tanpa memedulikan rambu-rambu kesehatan,” katanya.
Pemastian kedisiplinan tidak hanya pada tempat-tempat formal, seperti kantor, pusat perbelanjaan, dan transportasi umum, tetapi juga pada lingkungan informal. Fadjar mencontohkan, aturan bahwa pegawai boleh kembali ke kantor dengan piket 25 persen hingga 50 persen dari kapasitas total hendaknya memperhatikan budaya masyarakat Indonesia. Kebiasaan mengobrol dan makan bersama harus menjadi perhatian khusus agar tidak dilakukan di kantor.
Setelah itu, pengelola kantor harus bekerja sama dengan pengelola kaki lima di sekitar karena tidak semua pegawai bekerja membawa bekal. Mereka yang masih harus mencari makan pasti membelinya di PKL sekitar kantor. Apabila protokol kesehatan seperti memastikan penjual atau pembeli memakai masker dan menjaga jarak tidak diterapkan, risiko penularan Covid-19 tetap tinggi walaupun di dalam gedung kantor sudah ada aturan ketat.
”Jangan membayangkan setiap pengelola kantor ataupun lembaga lain memiliki inisiatif ini. Harus dari pemerintah yang mengajak dan memastikan ada jalur untuk berkoordinasi dan melakukan pengawasan di komunitas masing-masing,” papar Fadjar.
Ia mengingatkan, mental masyarakat Indonesia pada dasarnya akan mengikuti aturan apabila penegakan hukumnya jelas. Contohnya, warga Indonesia yang tidak disiplin di negeri sendiri ketika pergi ke luar negeri bisa berperilaku tertib, seperti mengantre dan tidak membuang sampah sembarangan, karena takut pada penegakan aturan di sana.
Demikian pula untuk situasi pada PSBB transisi. Jangan menunggu kesadaran tumbuh karena butuh waktu dan proses yang berbeda-beda bagi setiap individu. Justru pastikan aturan benar-benar tegas dan tidak pandang bulu.