Masa Transisi Bukan Berarti Mengendurkan Protokol Kesehatan
Potensi penularan Covid-19 tetap ada meskipun Ibu Kota kembali ke pembatasan sosial berskala besar (PSBB) transisi. Protokol kesehatan tak boleh kendur terutama selama beraktivitas di luar rumah.
Oleh
FRANSISKUS WISNU WARDHANA DANY
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Status Ibu Kota yang kembali ke pembatasan sosial berskala besar atau PSBB transisi tidak berarti mengendurkan protokol kesehatan. Potensi penularan Covid-19 tetap ada sehingga semua pihak harus tetap waspada. Tanpa langkah itu, peluang terjadinya lonjakan kasus baru bisa terjadi lagi.
Provinsi DKI Jakarta kembali ke PSBB transisi setelah pengetatan selama satu bulan untuk menekan lonjakan kasus Covid-19. Keputusan ini berdasarkan laporan kasus harian, kasus kematian harian, tren kasus aktif, dan tingkat keterisian rumah sakit yang cenderung turun tujuh hari terakhir.
Dalam rentang 26 September hingga 9 Oktober, masih ada tren peningkatan kasus positif Covid-19 sebesar 22 persen dan kasus aktif meningkat 4 persen. Walakin, tren ini cenderung turun ketimbang 29 Agustus hingga 11 September dan 12 September hingga 25 September.
Sepanjang 29 Agustus hingga 11 September, jumlah kasus positif meningkat 37 persen dan kasus aktif mencapai 64 persen. Adapun 12 September hingga 25 September, kasus postif mencapai 32 persen dan kasus aktif 9 persen.
Rizki Ares (28), warga Matraman, Jakarta Timur, mendukung berbagai kebijakan pemerintah dalam penanganan Covid-19 supaya situasi lekas normal. Karena itu, masyarakat wajib menerapkan protokol kesehatan selama beraktivitas, khususnya di luar rumah. ”Berjaga-jaga ibarat sedia payung sebelum hujan. Tidak ada beda PSBB ketat atau transisi,” ujar Rizki, Senin (12/10/2020).
Menurut dia, situasi di permukiman sama saja saat PSBB masa transisi dan ketat. Tenaga kesehatan hilir mudik menjemput orang tanpa gejala untuk isolasi mandiri. Ini berarti kewaspadaan tidak boleh mengendur karena virus semakin dekat. ”Di daerah rumah, warga ketahuan (positif Covid-19) kalau dijemput tim medis. Warga tahunya sakit radang tenggorokan dan demam berdarah. Harus hati-hati,” tuturnya.
Lebih memilih berada di rumah meskipun masa transisi jadi keputusan Augustia (25). Warga Radio Dalam, Jakarta Selatan, ini hanya keluar rumah untuk belanja bulanan dan olahraga pada akhir pekan. ”Antara sudah pasrah karena memang harus di rumah saja atau jalani saja. Yang penting sehat dan panjang umur,” ujarnya.
Karyawan swasta ini telah bekerja dari rumah sejak PSBB. Baginya, pemerintah sudah mempertimbangkan matang-matang setiap keputusan, termasuk kembali ke PSBB transisi. Pilihannya melindungi diri dan sekitar dengan membatasi mobilitas hanya untuk hal penting atau mendesak.
Suwastika Wijayanti (24) masih menimang-nimang untuk kongko meskipun bisa jadi salah satu cara melepas stres. Sebab, ada potensi keramaian di ruang publik setelah sebulan pengetatan. ”Mungkin nongkrong karena aku produktif kalau kerja di luar rumah seperti di kafe,” kata Suwastika.
Warga Koja, Jakarta Utara, ini tetap waswas pada penularan Covid-19. Protokol kesehatan nyaris tidak lepas dalam keseharian. Masker cadangan, antiseptik, dan cuci tangan kalau ada wastafel di ruang publik tak terpisahkan dari kesehariannya selama berada di luar rumah.
Tes, lacak, dan isolasi
Peningkatan kapasitas tes, pelacakan, dan isolasi harus terus jalan meskipun PSBB transisi. Sebab, setiap pelonggaran selalu ada potensi meningkatnya risiko penularan.
Ahli epidemiologi Universitas Indonesia, Pandu Riono, menuturkan, PSBB ketat selama selama satu bulan telah menekan penularan Covid-19. Namun, hal itu masih kurang efektif. ”Selama pengetatan, ada peningkatan penduduk yang tinggal di rumah walaupun tidak efektif. Kalau bisa ketat seperti dulu, bisa sampai 60 persen. Untungnya dibarengi dengan kegiatan testing, pelacakan kasus, dan isolasi,” ucap Pandu.
PSBB ketat tidak efektif karena ada kegiatan yang tidak esensial tetap berlagsung. Misalnya, unjuk rasa menolak Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja.
Menurut dia, pelonggaran dalam situasi yang tidak ideal harus dibarengi dengan peningkatan tes, pelacakan, dan isolasi. Masyarakat dan pelaku usaha juga diminta ikut berkontribusi mematuhi protokol kesehatan.
”Upaya pelonggaran berpotensi pada peningkatan risiko penularan. Jadi, harus cepat diidentifikasi agar tidak terjadi penularan lagi. Penduduk juga harus benar-benar patuh pada 3M (memakai masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan). Kalau tidak, nanti suatu ketika bisa terjadi pengetatan lagi,” tuturnya.
Sementara itu, VP Corporate Communications PT Kereta Commuter Indonesia (KCI) Anne Purba dalam keterangan tertulis menyampaikan, KCI mengoperasikan 933 perjalanan KRL setiap hari dengan 91 rangkaian kereta. Senin pagi hingga pukul 07.00, jumlah pengguna KRL mencapai 70.634 orang atau meningkat 7 persen ketimbang pekan lalu.
Adapun sejumlah stasiun mencatat kenaikan penumpang, yakni Stasiun Bogor sebanyak 6.719 pengguna atau naik 20 persen, Stasiun Bekasi 3.817 pengguna atau naik 6 persen, dan Stasiun Depok 3.312 pengguna atau naik 10 persen. Namun, ada stasiun yang mencatat penurunan jumlah pengguna. Salah satunya, Stasiun Rangkasbitung dengan 2.262 pengguna atau turun 5 persen.
”Situasi di stasiun pagi hari ini relatif kondusif. Tren volume pengguna menjadi salah satu pertimbangan KCI dalam mengevaluasi rencana pola operasi perjalanan KRL pada masa PSBB transisi kali ini. Jika dianggap perlu perpanjangan jam operasional, KCI akan menginformasikan perubahan tersebut secepatnya,” ucap Anne.