Pastikan Pembangunan Wilayah Urban untuk Kenyamanan Warga
Pembangunan infrastruktur dan teknologi untuk kota cerdas tidak akan efektif jika data selalu ditutupi karena menghalangi terbentuknya sumber daya manusia yang memahami potensi yang dimiliki suatu wilayah.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
Pengembangan properti, baik di wilayah perklotaan, suburban, maupun pedesaan, harus benar-benar terencana. Prioritas pada sinergi menciptakan lingkungan yang bersih, sehat, terintegrasi, dan menyejahterakan warganya. Bukan sekadar memastikan terjadinya transaksi bisnis.
Hal itu menjadi inti dari diskusi panel virtual yang diselenggarakan oleh Astra Land Indonesia pada Kamis (1/10/2020). Temanya adalah ”Merancang Ulang Konsep Pengembangan Urban”.
”Inti dari pembangunan ialah memastikan kota menjadi tempat tinggal yang aman dan nyaman bagi semua warganya. Kota merupakan wilayah yang memberi kesejahteraan lahir dan batin, tidak untuk kelompok sosial-ekonomi tertentu saja,” kata Ketua Umum Ikatan Ahli Perencanaan Indonesia Hendricus Andy Simarmata.
Dalam konteks ini, kemajuan kota tidak hanya dilihat dari jumlah fasilitas kesehatan, pendidikan, perkantoran, dan permukiman, tetapi juga dari kualitas tanah, air, udara, dan kesempatan warga untuk memperoleh kenyamanan tanpa mengeluarkan ongkos yang besar.
Inti dari pembangunan ialah memastikan kota menjadi tempat tinggal yang aman dan nyaman bagi semua warganya.
Andy mengkritisi bahwa mayoritas kota, termasuk Jakarta, memiliki kecenderungan memaklumi tindakan yang mengganggu kenyamanan publik dan menghalangi kota berfungsi secara efektif. Misalnya, okupasi trotoar oleh pedagang kaki lima dan pengemudi ojek. Bukan berarti mereka harus disingkirkan begitu saja, melainkan perlu perencanaan yang bisa menyamankan masyarakat dan tetap membantu perekonomian warga.
Demikian pula dengan pembangunan sejumlah gedung bertingkat di wilayah yang semestinya menjadi fasilitas umum ataupun fasilitas khusus. Pembangunan pun masih tidak memiliki perencanaan matang sehingga mengganggu ketertiban umum, antara lain mengakibatkan kemacetan. Di samping itu, kota juga tidak informatif kepada penduduk dan juga orang luar yang datang berkunjung sehingga terjadi kesulitan menavigasi diri.
”Pembangunan harus memiliki visi sekaligus tidak melupakan sejarah suatu wilayah. Sampai saat ini belum ada kajian mengenai persepsi dan kebutuhan generasi milenial maupun generasi Z terhadap kota. Padahal, semestinya kota berkembang untuk generasi mendatang tanpa meninggalkan karakteristik dan sejarahnya,” papar Andy.
Pendekatan baru yang harus diambil dalam perencanaan pembangunan wilayah tidak boleh lagi hanya melibatkan pemerintah, perusahaan pengembang, dan akademisi. Masyarakat setempat juga harus terlibat aktif karena mereka memiliki memori dan pengetahuan yang spesifik terkait daerah tersebut. Masyarakat pula yang paling memahami kebutuhan mereka dan cara mengintegrasikan modernisasi dengan potensi lokal. Metode ini memungkinkan kolaborasi tidak hanya berbasis proyek dan bisa berkesinambungan.
Dosen senior perencanaan kota Universitas Tarumanagara, Suryono Herlambang, menjelaskan, untuk mencapai perencanaan yang maksimal itu, diperlukan keterbukaan data dari semua pihak, terutama pemerintah daerah. Pembangunan infrastruktur dan teknologi untuk kota cerdas tidak akan efektif jika data selalu ditutupi karena menghalangi terbentuknya sumber daya manusia yang memahami potensi yang dimiliki suatu wilayah.
”Aspek kebutuhan hidup manusia kerap terlupakan dalam pembangunan karena biasanya fokus kepada fisik dan ekonomi,” ucapnya.
Suryono mencontohkan fenoma warga Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi yang gemar memadati wilayah Jalan Sudirman-Thamrin pada acara hari bebas kendaraan bermotor sebelum adanya pandemi Covid-19 dan ketika masa pembatasan sosial berskala besar transisi. Alasannya, hanya di wilayah itu orang-orang nyaman berjalan kaki dan bersepeda.
”Di mana tempat berjalan kaki yang nyaman di dekat permukiman? Kita lupa bahwa di permukiman setidaknya dalam radius beberapa ratus meter harus ada fasilitas umum yang nyaman dan mudah diakses karena ada trotoar yang tidak diokupasi pedagang,” kata Suryono.
Peran perusahaan pengembang properti sangat penting untuk memastikan terciptanya kenyamanan tersebut bagi masyarakat. Wakil Ketua Umum Koordinator Bidang Tata Ruang dan Pengembangan Kawasan Dewan Pimpinan Pusat Real Estat Indonesia (REI) Hari Ganie menuturkan, pembangunan hunian untuk masyarakat berekonomi menengah ke bawah turut menjadi prioritas. Kini pengembangannya berdasarkan pada proyek infrastruktur besar seperti di sekitar jalan tol.
”Saat ini kinerja REI mengikuti Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2020-2024 oleh pemerintah yang fokus di kawasan strategis, metropolitan, dan kawasan industri,” ujarnya.
Data Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), di Jabodetabek ada 363,32 kilometer jalan tol baru yang sedang dibangun dan yang baru diresmikan. Secara nasional, ada 2.500 kilometer jalan tol dan 3.000 kilometer jalan baru yang akan dibangun bekerja sama dengan perusahaan-perusahaan swasta.
Direktur Jenderal Pembiayaan Infrastruktur Kementerian PUPR Eko Heripoerwanto meminta agar perusahaan pengembang turut merencanakan sistem transportasi terintegrasi dengan berbagai moda kendaraan ataupun untuk pejalan kaki. Tujuan pembangunan, selain untuk kesejahteraan masyarakat, juga harus memikirkan cara mengurai kemacetan dan menurunkan biaya operasional.