Pandemi Covid-19 memang mengubah banyak hal, termasuk tuntutan desain rumah, apartemen, maupun perkantoran yang lebih sehat. Namun, berubah sekali saja tak cukup.
Oleh
Stefanus Osa Triyatna
·4 menit baca
Pandemi Covid-19 memang mengubah banyak hal, termasuk tuntutan desain rumah, apartemen, maupun perkantoran yang lebih sehat. Namun, berubah sekali saja tak cukup. Para pemain di sektor ini juga dituntut fleksibel.
”Sejak anjuran bekerja dari rumah ataupun belajar dari rumah diterapkan dengan berbagai aturan ketat, sekitar 80 persen orang melakukan berbagai adaptasi. Gaya hidup selama tinggal di rumah berkembang, bahkan kini masih ada sekitar 60 persen yang mempertahankan stay at home untuk bekerja, tinggal, dan bermain di rumah,” kata Doddy A Tjahjadi, Direktur PTI Architects and Crown Group Indonesia, dalam webinar bertajuk ”A New Concept For A New Normal” di Jakarta, Sabtu (11/7/2020).
Megashift atau pergeseran besar akibat tinggal di rumah saja ini, kata Doddy, membuat ketersediaan ruang kerja atau belajar di rumah menjadi sangat penting. Pengembang tak bisa lagi sekadar menyajikan desain ruang keluarga, kamar tidur, ruang makan, dan dapur. ”Cara mendesain bentuk rumah ataupun apartemen akan sangat berubah. Begitu pula dengan desain perkantoran,” tutur Doddy.
Pandemi ini juga membuat pergeseran besar kembali ke dasar alias back to basic. Mengacu pada piramida kebutuhan hidup manusia yang digagas Abraham Maslow, konsumen properti kini bergeser kebutuhannya dari ”puncak piramida”, yaitu aktualisasi diri dan penghargaan diri (self esteem), ke ”dasar piramida”, yaitu makan, kesehatan dan keamanan jiwa-raga.
Pergeseran paling nyata terlihat pada perhatian akan kesehatan dan higiene. Memutus rantai penularan virus Covid-19 menjadi perhatian masyarakat.
Desainer properti kini seakan diingatkan akan pentingnya ventilasi alami, ruangan-ruangan berjendela, tempat cuci tangan pada area umum dan semua hal yang berhubungan dengan kesehatan dan higiene.
Pergeseran besar ini juga memopulerkan gaya hidup bebas kontak. Peralatan berbasis sensor akan menjadi kebutuhan baru yang penting. Misalnya, masuk ruangan tanpa kunci, pengaturan suhu secara alami, peralatan cuci tangan tanpa sentuh, dan filter AC anti bakteri dan virus, akan menjadi fitur properti ideal di masa depan.
Pergeseran yang juga kian terlihat adalah ”go virtual”. Konsumen kini menghindari kontak fisik dan beralih menggunakan media virtual atau digital. ”Kita sekarang lebih banyak bertemu secara virtual melalui layar HP atau laptop,” ujar Doddy.
Tren jaga jarak sosial dan WFH menjadi katalis bagi kita untuk menerima gaya hidup daring. Dari belanja, bekerja, sekolah, nongkrong bersama teman atau keluarga, ibadah, bahkan olahraga menjadi bisa dilakukan di rumah.
”Jika bekerja tak harus di kantor lagi, maka pekerja tak harus tinggal dekat kantor pusat kota. Hal ini akan mempercepat berkembangnya pusat-pusat kota baru, jauh dari kepadatan kota lama,” ujar Doddy.
Karena itu, WFH (bekerja dari rumah) pun akan disusul flexible working home (FWH) menjadi kenormalan baru. Hari kerja bisa berubah menjadi ”3 to 2”, yaitu kerja 3 hari di kantor dan 2 hari di rumah dalam sepekan.
Jika bekerja tak harus di kantor lagi, pekerja tak harus tinggal dekat kantor pusat kota. Hal ini akan mempercepat berkembangnya pusat-pusat kota baru, jauh dari kepadatan kota lama. —Doddy A Tjahjadi
Pergeseran besar lainnya adalah timbulnya rasa empati sosial. Banyaknya korban jiwa akibat Covid-19 melahirkan masyarakat baru yang penuh empati, welas asih, bersolidaritas sosial dan sadar terhadap pentingnya keberlanjutan lingkungan hidup.
Bangunan yang memprioritaskan kepentingan bersama atau umum dan pendekatan lingkungan berkelanjutan akan mendapat respons positif dari para pemangku kepentingan.
Desain biolifik atau desain yang mengikuti konsep alami akan menjadi norma baru dalam proyek perumahan dan komersial. Arsitektur yang terinspirasi dan terintegrasi dengan alam akan lebih diminati daripada sebelumnya.
Hal senada diungkapkan Ketua Umum DPP REI Totok Lusida. Menurut Totok, pengembang wajib mengubah pola pikir sejak sekarang. Cara hidup dan gaya properti harus menyesuaikan dengan kondisi Covid-19. Konsumen semakin cerdas dan semakin peduli pada kesehatan.
Dituntut fleksibel
Sejumlah megashift itu menjadi rambu-rambu bagi pengembang hunian, pusat belanja dan perkantoran dalam menghadapi perubahan pola pikir konsumen. Pengembang tak bisa lagi sekadar asal bangun lalu jual.
Namun, di sisi lain, pengembang kini juga tak ingin desain propertinya sekadar menjawab kebutuhan era Covid-19 saja. Direktur Ciputra Group, Naraya Ciputra Sastrawinata, memandang, konsep desain properti harus fleksibel. Bukan sekadar mengikuti situasi pandemi.
Sebab, jika semata-mata mengikuti situasi pandemi, desain itu hanya bersifat jangka pendek. ”Bisa jadi lima tahun, situasinya sudah tidak cocok lagi, kalau kita terkungkung pada desain terkait pandemi,” kata Naraya.
Perencanaan yang terintegrasi setidaknya dibuktikan melalui proyek besar Ciputra, seperti Citra Raya Cikupa. Ribuan hektar lahan itu ditata dengan berbagai kelengkapan fasilitasnya. Komunitas perlu tempat berkumpul yang mudah diakses.
Pada masa pandemi Covid-19, seiring adanya pembatasan, baik nasional maupun lokal, kini penghuni tak perlu jauh-jauh pergi dari rumah karena fasilitas penunjangnya sudah dapat dipenuhi di area proyek itu. Konsep proyek itu sedang diduplikasi di area Citra Maja Raya, Lebak, Banten.
Perhatian juga diberikan pada biaya operasional yang harus ditanggung konsumen saat sudah menempati rumahnya, misalnya biaya listrik. Sertifikasi desain ”green” bisa mengedepankan nilai tambah sebuah properti.
Rumah-rumah di Citra Garden Puri, misalnya, yang semula didesain dengan tiga kamar tidur, salah satu kamar kini bisa didesain sebagai ruang kerja atau belajar di rumah. Inilah sebuah fleksibiltas yang perlu dimiliki pengembang.