Pengerukan Waduk Perlu, tetapi Belum Cukup Atasi Banjir Jakarta
Permasalahan Jakart adalah gorong-gorong dan saluran airnya dibangun sejak masa pemerintahan kolonial Belanda. Pada masa itu masih banyak rawa dan lahan kosong untuk menampung air hujan.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ibu Kota berupaya agar siap menghadapi musim hujan pada paruh kedua tahun ini dengan mengeruk sedimentasi di badan air atau waduk-waduk, serta membersihkan saluran-saluran air. Langkah itu baik, tetapi kurang berjangka panjang.
Pemeliharaan saluran air dan tempat penampungan air yang terkoneksi dengan peta pembuangan air Ibu Kota lebih penting daripada sekadar membangun mekanisme resapan. Kian berkurangnya lahan resapan akibat alih fungsi untuk pembangunan gedung dan infrastruktur lainnya mendesak untuk dibuatkan tali-tali air yang berhubungan.
Pengerukan waduk, embung, dan saluran air sudah dilakukan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melalui Dinas Sumber Daya Air (SDA) sejak Maret 2020. Hal ini menindaklanjuti musim hujan bulan Januari-Februari yang mengakibatkan banjir di sebagian wilayah.
Senin (21/9/2020), Dinas SDA Jakarta mengerahkan 15 ekskavator untuk mengeruk lumpur di Waduk Riario, Pulomas, Jakarta Timur. Sebelumnya, pengerukan waduk dengan luas 8,65 hektar ini dikerjakan oleh tujuh ekskavator. Menurut Kepala Dinas SDA Jakarta Juaini, alat-alat berat dari pengerukan di sungai ataupun kali yang telah selesai dibawa ke Riario.
”Semestinya kedalaman Waduk Riario itu 5-6 meter. Akan tetapi, karena sedimentasi, beberapa bagian kedalamannya hanya 1,” kata Juaini.
Oleh sebab itu, untuk mengejar target sebelum musim hujan tiba, pengerukan waduk ini dikeroyok. Selain Waduk Riario, pengerukan juga dilakukan di sungai-sungai dan penampungan air di lima wilayah Jakarta. Juaini mengatakan, ada 100 waduk dan embung yang tengah dikerjakan.
Kepala Suku Dinas SDA Jakarta Timur Santo mengungkapkan bahwa pada Februari 2020 terjadi genangan di sekitar waduk karena tidak bisa menampung air akibat curah hujan berkepanjangan. Lumpur yang dikeruk diletakkan di sisi utara waduk yang merupakan lahan milik salah satu pengembang properti di wilayah tersebut. Lumpur itu dipakai untuk menstabilkan tanah daratan.
Drainase vertikal
Dalam kunjungan lapangan, Asisten Gubernur DKI Jakarta Bidang Pembangunan dan Lingkungan Hidup Yusmada Faizal mengatakan, selain mengeruk saluran dan penampungan air, Pemprov DKI Jakarta juga mendorong pembangunan drainase vertikal yang banyak seperti sumur resapan dan biopori. Hal ini untuk meningkatkan kesadaran masyarakat agar menampung air hujan di halaman rumah atau kantor masing-masing dan tidak membiarkannya meluap ke jalanan ataupun trotoar.
Pembangunan drainase vertikal ini dikoordinasikan dengan para lurah berdasarkan pemetaan pengurus rukun warga dan rukun tetangga terkait lokasi yang memungkinkan untuk dibangun drainase.
”Tidak semua rumah memiliki pekarangan. Pembangunan drainase bisa di lahan kosong ataupun titik-titik yang disepakati warga. Misalnya yang dilakukan di wilayah Cipete, Jakarta Selatan,” ujarnya.
Dihubungi secara terpisah, pengamat perkotaan dari Universitas Trisakti, Yayat Supriatna, menjelaskan bahwa pembangunan drainase vertikal adalah salah satu cara mencegah banjir dan genangan di musim hujan. Permasalahan Jakarta ialah gorong-gorong dan saluran airnya dibangun sejak masa pemerintahan kolonial Belanda. Pada masa itu masih banyak rawa dan lahan kosong untuk menampung air hujan.
Saat ini air hujan harus ditampung dan sisanya dialirkan. Penampungan memanfaatkan waduk dan embung, sedangkan pengalirannya dengan tali air dan drainase. Sejak Joko Widodo menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta, telah dibangun sejumlah sumur resapan. ”Hanya kini tidak diketahui apakah masih berfungsi dan terawat,” kata Yayat.
Ia menyetujui ide membangun drainase vertikal di berbagai titik Ibu Kota sebagai salah satu upaya mengatur aliran air. Akan tetapi, hal ini tidak bisa sepenuhnya diserahkan kepada kelurahan karena membangun sistem penampungan dan pengaliran air membutuhkan sinergi, setidaknya Dinas SDA, Dinas Bina Marga, Dinas Lingkungan Hidup, dan Dinas Kebersihan.
Yayat memaparkan, tidak semua daerah Jakarta bisa dibangun drainase vertikal. Wilayah Jakarta Utara, misalnya, memiliki struktur tanah jenuh air yang tidak akan bisa menyerap limpahan air hujan. Wilayah Jakarta Pusat dan Jakarta Selatan cocok dibuat drainase, tentunya dengan memikirkan struktur tanah, kepadatan penduduk, dan ketersediaan infrastruktur fisik.
”Besar dan kedalaman drainase vertikal tidak bisa seragam karena melihat karakteristik tanah di setiap lokasi. Bahkan, setiap wilayah mungkin membutuhkan sistem perawatan dan pengawasan yang berbeda karena keunikan geografisnya. Kelurahan tidak bisa bekerja sendirian. Pemprov DKI Jakarta harus mengulurkan tangan,” tuturnya.
Sedimentasi di Jakarta juga amat tinggi akibat endapan tanah, lumpur, dan sampah. Drainase reguler, seperti tali air dan kali, harus dikeruk berkala. Drainase vertikal tentunya juga membutuhkan perhatian lebih untuk memastikan tidak tersumbat.