Penjaja Kuliner Cemas Penghasilan Berkurang Saat Pembatasan
Baru berjalan hari pertama, penjaja kuliner mengkhawatirkan dampak pembatasan sosial berskala besar. Mereka khawatir pendapatannya berkurang selama pengetatan pembatasan.
Oleh
ADITYA DIVERANTA/ERIKA KURNIA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Makin ketatnya pembatasan sosial berskala besar atau PSBB di Jakarta, Senin (14/9/2020), membuat para penjaja kuliner cemas. Mereka khawatir penjualan dagangan mereka berkurang karena sepi pembeli.
Sejumlah penjaja kuliner di bilangan Pasar Minggu, Jakarta Selatan, pada Senin pagi mulai terdampak PSBB. Mereka yang sebelumnya masih melayani makan di tempat, kini sepenuhnya harus melayani pesanan dibungkus karena permintaan pengelola pasar. Di depan kedai makanan juga tertempel kertas bertuliskan ”Tidak boleh makan di tempat, hanya dibungkus”.
Salim (29), pedagang bakso di pasar, mengeluh karena minimnya kunjungan orang akibat regulasi itu. Ia hanya mendapat satu pesanan hingga menjelang pukul 11.00. Padahal, biasanya orang ramai makan di tempat sejak pukul 09.00.
”Ini sudah siang, tapi baru dapat satu pesanan. Hampir jam 12 juga masih sepi begini. Gimana kalau tiap hari begini terus? Bisa-bisa enggak nyetor uang ke bos,” jelas Salim.
Salim merinci, biasanya dia menjual sekitar 50 porsi bakso dalam sehari. Dia cemas kalau setiap hari tidak bisa menjual sebanyak itu, bosnya memilih tutup kedai.
Kegelisahan serupa datang dari Mulia Adin (43), pemilik bakul kedai soto ayam di pasar. Dia yang biasa menjual sekitar 50 porsi juga sepi pesanan hingga siang. Apabila selama tiga hari PSBB ketat tidak mendapat banyak pesanan, dia lebih memilih berjualan keliling saja.
Olla (46), warga Pejaten Barat, Pasar Minggu, yang biasa makan di kedai sekitar pasar jadi urung singgah. ”Saya bungkus saja, ikuti peraturan di pasar karena situasi memang lagi mengkhawatirkan,” katanya.
Selain pedagang di pasar, penjaja kuliner di stasiun juga turut terdampak. Bagus (24), pekerja di kedai roti daging dekat stasiun kereta, mengeluhkan pendapatan yang makin berkurang selama PSBB. Dalam satu sif kerja, yakni pukul 09.00-17.00, penjualan berkisar Rp 300.000. Kondisi itu berbeda dengan situasi saat sebelum PSBB, yang mencapai Rp 3 juta untuk setiap sif.
Pendapatan yang sangat berkurang membuat pemilik kedai mengurangi jumlah pekerja dalam tiap sif. Bagus yang sebelum PSBB bekerja bertiga dalam satu sif, kini justru bekerja sendirian. ”Sudah pengaturan dari bos begitu. Ini pun sepertinya bos sudah menalangi kekurangan pemasukan setiap bulan,” kata Bagus.
Pengusaha khawatir
Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) DKI Jakarta Diana Dewi mengatakan, banyak pengusaha kini khawatir saat pemerintah provinsi memperketat PSBB lagi. Dia melihat hal ini sebagai pilihan berat, tetapi harus dilakukan karena kondisi sektor kesehatan yang makin kritis.
”PSBB ini bukan lagi pilihan, melainkan harus dilakukan. Sejumlah pengusaha anggota Kadin paham betul bahwa tanpa ada kesehatan, ekonomi pun tidak akan berjalan baik. Kami pun menanamkan itu pula kepada kalangan karyawan usaha,” ucapnya.
Dia berharap para pengusaha lainnya juga bisa bertahan di tengah masa PSBB. Kalau pembatasan sosial berlangsung efektif, ekonomi akan bergerak lagi setelah PSBB. ”Kita harapkan kedisiplinan dari seluruh warga dan pengusaha,” jelasnya lagi.
Terkait itu, Kadin DKI berharap pemerintah juga mengawasi PSBB secara serius. Terutama dalam soal pelanggar protokol kesehatan yang masih bisa bepergian secara bebas.
Pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahardiansyah, memandang kalau situasi PSBB saat ini perlu ketegasan dari Pemprov DKI Jakarta. Pemprov juga harus belajar dari kekurangan saat PSBB sebelumnya, sehingga kesalahan yang sama tidak terulang.
”Pemerintah Provinsi DKI Jakarta harus lebih serius menegur warga yang melanggar regulasi. Intinya harus jelas tersampaikan bahwa saat PSBB sedang berlaku ketat. Jangan sampai warga merasa situasi saat ini tidak ada beda dengan yang sebelumnya,” katanya.
Trubus memandang pengabaian protokol kesehatan menjadi cerminan bahwa masih ada warga yang tidak mengerti risiko dari pandemi Covid-19. Penyebaran informasi terkait risiko Covid-19 semestinya terus dilakukan hingga publik mengerti. Selain itu, pengawasan juga harus tetap berjalan dengan setegas mungkin.