Tangani Kasus, Penegak Hukum Diminta Tidak Mendiskriminasi Orientasi Seksual
Tersangka penyelenggara pesta seks sesama jenis di Kuningan, Jakarta Selatan, dijerat salah satunya dengan Undang-Undang Pornografi. UU itu kerap dijadikan dasar untuk menggerebek pesta sejenis lainnya.
Oleh
Johanes Galuh Bimantara
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Polisi menegaskan bahwa dalam menangani kasus pesta berbau seks sesama jenis di Kuningan, Jakarta Selatan, menggunakan pasal-pasal yang tidak terkait orientasi seksual. Semua orang dengan identitas jender apa pun bisa terjerat selama terbukti melakukan tindak pidana serupa. Meski demikian, ada kekhawatiran penegak hukum memanfaatkan pasal-pasal tersebut untuk mendiskriminasi kelompok minoritas seksual.
Kepolisian Daerah Metro Jaya menetapkan sembilan dari total 56 laki-laki yang hadir dalam pesta seks pada 28-29 Agustus itu sebagai tersangka karena diyakini berperan sebagai penyelenggara. Salah satu pasal yang dipersangkakan adalah Pasal 296 Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
Bunyi pasal itu, barang siapa dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan perbuatan cabul oleh orang lain dengan orang lain, dan menjadikannya sebagai pencarian atau kebiasaan, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak Rp 15.000.
Sri Wiyanti Eddyono, pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, mengatakan, penyidikan bisa dilakukan jika memang ada bukti permulaan yang cukup untuk melanjutkan kasus ke ranah hukum sesuai isi dari aturan pidana yang ada, khususnya Pasal 296 KUHP.
”Hanya saja, penegak hukum perlu memperhatikan prinsip nondiskriminasi, tidak melakukan proses hukum karena ada stereotip terhadap kelompok gay dan lesbian,” ucapnya saat dihubungi lewat pesan singkat, Kamis (3/9/2020).
Wiyanti menekankan, ketentuan dalam Pasal 296 tidak hanya tentang ada perbuatan yang memfasilitasi perbuatan cabul, tetapi perbuatan tersebut sebagai kebiasaan atau sebagai mata pencarian. Kebiasaan berarti tidak hanya sekali ini dilakukan. Sementara perbuatan cabul ialah perbuatan yang mengarah pada melanggar kehormatan atau kesusilaan, termasuk perbuatan yang keji dalam lingkungan nafsu berahi kelamin (Soesilo, 1983).
Dalam konferensi pers hari Rabu (2/9/2020), Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Yusri Yunus menyebutkan, sejak koordinator pesta berinisial TRF membentuk komunitas Februari 2018, mereka sudah menghelat total enam kegiatan serupa di sejumlah tempat. Meski sudah lebih dari sekali, Wiyanti belum bisa menyatakan polisi punya dasar kuat untuk memproses para tersangka bermodal pasal 296 KUHP.
”Sekali lagi, dasar yang kuat itu didasarkan pada bukti permulaan yang cukup; dua alat bukti yang mengarah pada unsur-unsur pidana yang ada di dalam pasal yang dituju,” ujar Wiyanti.
Pasal lain yang digunakan polisi berasal dari Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, yaitu Pasal 33 juncto Pasal 7 dan/atau Pasal 36 juncto Pasal 10.
Pengacara publik Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta dengan fokus peradilan yang adil (fair trial), minoritas, dan kelompok rentan, Shaleh Al Ghifari atau Gifar, ragu UU No 44/2008 sesuai untuk menjerat kesembilan tersangka. Sebab, mereka menggelar aktivitas di ruang tertutup. Sementara, pornografi berdasar UU No 44/2008 disampaikan melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum.
Gifar khawatir UU itu hanya dimanfaatkan untuk mendiskriminasi kelompok minoritas seksual karena kerap digunakan polisi untuk menetapkan tersangka dari sejumlah aktivitas seksual komunitas gay. Pada 2017, misalnya, UU No 44/2008 dipakai untuk menjerat tersangka dalam pesta gay di Surabaya, Jawa Timur, dan Kelapa Gading, Jakarta Utara.
Gifar juga menyayangkan perdebatan terkait pro dan kontra atas keberadaan kelompok lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) mencuat di media sosial pascapengungkapan penggerebekan di Kuningan. Ia meminta publik fokus pada dugaan tindak pidana yang sedang berupaya dibuktikan oleh polisi. ”Yang dihukum perbuatannya, bukan identitasnya,” ujar dia.
Sementara itu, Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya mengadakan rekonstruksi pesta seks pada Kamis siang. Wakil Direktur Reskrimum Polda Metro Jaya Ajun Komisaris Besar Jean Calvijn Simanjuntak mengatakan, terdapat 26 adegan yang diperagakan dan terbagi dalam tiga tahap, yaitu perencanaan, persiapan, dan pelaksanaan.
”Dalam rekonstruksi ini, penyidik ingin menyinkronkan apa yang didapat dari BAP (berita acara pemeriksaan) tersangka dengan fakta di lokasi kejadian,” ucap Calvijn. Pihaknya juga ingin melihat ada-tidaknya fakta yang belum terungkap.