Gelar Pesta Seks Sesama Jenis di Apartemen, 9 Penyelenggara Ditangkap
Para tersangka disangka memudahkan perbuatan cabul dan menyediakan jasa pornografi. Meski demikian, polisi belum menemukan adanya motif ekonomi dari penyelenggaraan pesta seks sesama jenis tersebut.
Oleh
Johanes Galuh Bimantara
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS—Personel Kepolisian Daerah Metro Jaya menangkap sembilan penyelenggara pesta seks sesama jenis yang menghadirkan puluhan laki-laki di salah satu unit apartemen di Kuningan, Jakarta Selatan. Namun, pasal terkait tindak pidana memudahkan perbuatan cabul serta pasal pornografi yang dikenakan pada mereka dinilai tidak tepat.
Kepala Bidang Humas Kepolisian Daerah Metro Jaya Komisaris Besar Yusri Yunus menuturkan, penangkapan itu tindak lanjut tim Subdirektorat IV/Kejahatan dan Kekerasan Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya. Petugas mendapat informasi, pesta seks akan dihelat hari Jumat (28/8/2020) malam hingga Sabtu (29/8/2020) dini hari.
Tim pun menggerebek unit apartemen tempat mereka berpesta pada Sabtu pukul 00.30. “Petugas menemukan 56 orang di dalamnya. Sembilan adalah penyelenggara dan 47 adalah peserta,” ucap Yusri dalam konferensi pers hari Rabu (2/9/2020).
Sebanyak sembilan penyelenggara ditetapkan sebagai tersangka, sedangkan 47 peserta sejauh ini berstatus saksi dan tidak ditahan. Meski demikian, lanjut Yusri, polisi terus mendalami kemungkinan ada yang berperan lebih dari sekadar sebagai peserta di antara 47 saksi tadi.
Yusri menjelaskan, sembilan tersangka berinisial TRF, BA, A, NM, RP, HW, NA, KG, dan SP. Tersangka TRF berperan sebagai koordinator acara. Ia menyewa unit apartemen, menerima transfer uang dari para peserta, serta menyediakan makanan atau kudapan bagi peserta.
Tersangka BA dan A terlibat sebagai seksi konsumsi. NM, RP, dan HW berperan menjemput peserta di lobi apartemen. NA sebagai bagian keamanan, memeriksa peserta saat masuk guna memastikan tidak ada yang membawa senjata atau narkoba. KG menjaga barang-barang peserta selama pesta. Adapun SP memegang buku registrasi, mencocokan identitas yang datang dengan yang sudah mentransfer uang keikutsertaan.
“TRF yang membuat undangan melalui media sosial. Dia menyiapkan kurang lebih satu bulan,” ujar Yusri. Penyelenggara menjalin komunikasi dengan komunitas penyuka sesama lewat grup Whatsapp yang beranggotakan 150-an orang dan akun Instagram yang diikuti sekitar 80 pengguna.
Untuk agenda tanggal 28-29 Agustus, panitia menamainya “Koempoel-koempoel Pemoeda”. Pesta dikemas dalam bentuk permainan-permainan yang diwarnai hubungan seksual di antara para peserta. Untuk bisa ikut, masing-masing membayar Rp 150.000. Jika membayar untuk tiga orang, ada potongan Rp 100.000 sehingga hanya membayar Rp 350.000.
Meski demikian, polisi belum menemukan motif ekonomi dari penyelenggaraan pesta seks itu. “Jadi memang mereka bukan untuk mencari keuntungan tetapi mencari suatu kesenangan dengan komunitas mereka,” kata Yusri.
Yusri menambahkan, TRF membentuk komunitas khusus gay tersebut sejak Februari 2018. Mereka mengaku sudah menghelat total enam kali pesta. Permainan-permainan yang diadakan terinspirasi dari pesta serupa di Thailand.
Pasal yang dipersangkakan kepada para tersangka, yaitu Pasal 296 Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan/atau Pasal 33 juncto Pasal 7 dan/atau Pasal 36 juncto pasal 10 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi. Ancaman hukuman berdasarkan Pasal 296 KUHP penjara maksimal satu tahun empat bulan, dan Pasal 33 UU 44/2008 penjara 2-15 tahun.
Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Genoveva AK Sheila Maya, menilai pasal-pasal itu tidak tepat untuk menjerat kesembilan orang yang ditetapkan sebagai tersangka. Pasal 296 KUHP, misalnya, menyasar mereka yang dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan perbuatan cabul oleh orang lain dengan orang lain, dan menjadikannya sebagai pencarian atau kebiasaan.
Menurut Genoveva, pihak yang disebut dalam pasal itu konteksnya adalah sebagai mucikari yang menghubungkan konsumen dengan pekerja seks komersial. Sementara itu, sesuai pernyataan Yusri, para penyelenggara tidak punya motif mencari keuntungan dan tidak ada yang dibayar sebagai penyedia jasa seks.
Selain itu, terkait penggunaan pasal-pasal dalam UU 44/2008, salah satu syarat untuk menjerat seseorang dengan tindak pidana pornografi adalah terdapat pertunjukan di muka umum. Genoveva berpendapat, TRF dan kawan-kawan menggelar pesta seks di tempat privat yang tertutup. “Jadi, agak membingungkan,” ujarnya.
Genoveva menduga penegak hukum bakal menggunakan unsur pelanggaran norma kesusilaan dalam masyarakat guna menjerat para tersangka menggunakan UU 44/2008. Namun, ia mengingatkan, saat ini belum ada standar objektif di masyarakat terkait norma kesusilaan.
Sebelumnya, pada Mei 2017, tim Kepolisian Resor Metropolitan Jakarta Utara menggerebek pertunjukan tari striptis untuk komunitas gay di salah satu unit rumah toko di Kelapa Gading, Jakarta Utara. Polisi menetapkan 10 tersangka dengan dugaan melakukan pornoaksi.
”Tersangka 4 penari striptis, 4 dari manajemen, dan 2 tamu yang ikut striptis,” kata Kepala Polres Metro Jakarta Utara saat itu, Komisaris Besar Dwiyono. Kesepuluh tersangka adalah bagian dari 141 laki-laki yang dibawa dari ruko tadi dan diperiksa. (Kompas, 23/5/2017)