Pelaksanaan pergub tentang kewajiban penggunaan kantong belanja ramah lingkungan di DKI Jakarta dinilai mulai berjalan. Namun, ada wacana memasukkan kantong berbahan tanaman sebagai alternatif, padahal itu bukan solusi.
Oleh
Helena F Nababan
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penerapaan kantong belanja ramah lingkungan di DKI Jakarta sudah berlangsung dua bulan. Namun, dalam pelaksanaan ada wacana tentang kantong berbahan dasar tanaman pangan sekali pakai sebagai kantong belanja. Greenpeace Indonesia menilai kantong berbahan dasar tanaman pangan itu bukan solusi karena dikhawatirkan menambah sampah plastik.
Demikian mengemuka dalam konferensi pers virtual yang digelar Greenpeace Indonesia, Walhi DKI Jakarta, dan ICEL, Senin (31/8/2020).
Muharram Atha Rasyadi, Juru Kampanye Urban Greenpeace Indonesia, menyebutkan, kantong berbahan dasar tanaman pangan atau yang disebut bioplastik berpeluang mengancam ketahanan pangan dan mendorong pembukaan lahan. Kantong jenis itu juga meningkatkan emisi gas rumah kaca dari sektor pertanian.
Saat ini, tren produksi kantong bioplastik terus naik. Berdasarkan data European Bioplastics, kapasitas produksi global bioplastik sudah mencapai 2 juta ton pada 2017, dan angkanya terus meningkat.
Meski terbuat dari bahan tanaman, lanjut Atha, bukan berarti kantong jenis itu bisa terurai dengan mudah. Menurut UNEP, meskipun disebut biodegradable, proses terurainya bioplastik membutuhkan tingkat kelembaban dan panas tertentu sehingga memungkinkan bagi mikroorganisme untuk mengurainya.
Fajri Fadhillah, Kepala Divisi Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan ICEL, menjelaskan, sesuai definisi kantong belanja ramah lingkungan, setidaknya yang dipahami adalah kantong itu bersifat guna ulang atau bisa digunakan berulang kali. Kemudian dari bahannya, kantong belanja ramah laingkungan itu harus bisa membawa belanjaan. Adapun terkait pengurangan sampah, kantong belanja ramah lingkungan itu bisa didaur ulang.
Di lapangan, kantong berbahan tanaman atau bioplastik menjadi kantong sekali pakai. Hal itu berpotensi menambah jumlah sampah plastik di wilayah Jakarta. Dijelaskan dalam keterangan tertulis Greenpeace Indonesia, pemakaian bioplastik menjadi semacam solusi palsu.
Pemakaian bioplastik menjadi semacam solusi palsu.
Padahal, saat ini pemerintah, termasuk DKI Jakarta, tengah mendorong pengurangan sampah plastik. Ditambah fakta, tempat pemrosesan akhir (TPA) saat ini sudah melebihi kapasitasnya.
Tubagus Soleh Ahmadi, Direktur Eksekutif Daerah Walhi DKI Jakarta, dalam konferensi pers tersebut menyebutkan, Peraturan Gubernur (Pergub) DKI Jakarta Nomor 142 Tahun 2019 tentang Kewajiban Penggunaan Kantong Belanja Ramah Lingkungan di Pusat Perbelanjaan, Toko Swalayan, dan Pasar Rakyat adalah satu kemajuan. Di tengah Jakarta yang sedang menghadapi masalah sampah, regulasi itu menjadi salah satu pendorong bagi perubahan gaya hidup masyarakat ke arah minim sampah.
Di sejumlah tempat, pemakaian kantong belanja ramah lingkungan itu mulai ramai. Namun, pemakaian kantong plastik sekali pakai juga masih ditemukan. Oleh sebab itu, penerapan aturan ini harus dikawal betul. Jangan sampai ada upaya pendekatan lain untuk mengubah atau memperlunak kebijakan, termasuk lobi untuk memasukkan kantong plastik berbahan tanaman sebagai kantong ramah lingkungan.
Peraturan lain yang juga harus dikawal adalah Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 75 Tahun 2019 tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen. Lewat peraturan ini, produsen dituntut bertanggung jawab terhadap sampah kemasannya.
”Tanggung jawab produsen ini sering kali luput untuk dituntut. Padahal, produsen adalah kunci penting dalam menyelesaikan timbulan sampah plastik yang jumlahnya terus meningkat,” kata Fajri Fadhillah dalam keterangan tertulis Greenpeace Indonesia.
Untuk itu, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta lebih baik fokus pada pengurangan sampah plastik di Ibu Kota, tidak melonggarkan aturan yang memungkinkan mencantumkan bioplastik masuk dalam regulasi, lebih serius melakukan pengawasan, serta meningkatkan upaya untuk menekan pemakaian plastik jenis lain, seperti kemasan kosmetik dan stirofoam. Selain itu, perlu ada upaya pemilahan sampah di DKI Jakarta yang dilakukan sejak dari rumah tangga supaya sampah tidak berakhir di TPA atau menambah sampah di sungai.