Di tengah pandemi dan menurunnya kegiatan publik, pencemaran udara di Jakarta dan sekitarnya tidak menyusut. Biaya penanggulangan penyakit akibat pencemaran udara mencapai Rp 5,1 triliun.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
DKI Jakarta yang memiliki bentuk geografis berupa cekungan mengakibatkan dampak pencemaran udara semakin parah. Kondisi arah angin beserta berbagai polutan yang dihasilkan oleh kendaraan bermotor, pabrik, serta pembangkit listrik dalam radius 100 kilometer membuat kualitas udara di Ibu Kota jauh dari ideal, walaupun di masa pembatasan sosial jarak jauh ada pengurangan kendaraan bermotor.
”Jakarta Selatan merupakan wilayah dengan risiko tertinggi karena angin laut dari Teluk Jakarta kecepatan penetrasinya kini maksimal hanya 40 kilometer. Tidak bisa mencapai Bogor. Polutan dari wilayah lain di Jakarta kemungkinan besar menumpuk di selatan,” kata Kepala Subbidang Informasi Pencemaran Udara Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Suradi dalam diskusi virtual sekaligus peluncuran ”Laporan Pencemaran Udara Lintas Perbatasan” di Jakarta, Selasa (11/8/2020).
Ia menjelaskan, polutan yang paling berbahaya adalah konsentrasi partikulat (PM) 2,5. Besarnya hanya seperduapuluh diameter rambut manusia dan bisa menumpuk di paru-paru sehingga mengakibatkan risiko penyakit, bahkan kematian. Di Jakarta, angka PM 2,5 masih sukar untuk diukur karena hanya ada 15 titik pengamatan udara dan mayoritas kemampuan pengukurannya baru sampai PM 10. Idealnya Ibu Kota memiliki 25 titik pemantau dengan sensitivitas lebih tinggi.
”Hujan juga merupakan masalah karena partikel aerosol polutan menumpuk di awan dan turun kembali ke Bumi bersama hujan,” tutur Suradi.
Terkepung
Isabella Suarez, peneliti Center for Research on Energy and Clean Air (CREA), dalam pemaparannya, menjelaskan letak Jakarta yang rentan karena dikepung oleh industri dan pembangkit listrik yang menggunakan batubara di wilayah Jawa Barat dan Banten. Selain PM 2,5, juga ada polutan sekunder berupa belerang oksida (SO2) dan nitrogen oksida (NO2) yang menempel di permukaan tanah.
Pada tahun 2019, Jakarta tercatat sebagai kota nomor lima dengan pencemaran udara terburuk di dunia melebihi Beijing, China. Bahkan, dalam radius 100 kilometer, Jakarta memiliki 74 pembangkit listrik tenaga batubara. Jumlah ini rencananya akan ditambah oleh pemerintah pusat dan daerah karena menargetkan kapasitas menghasilkan listrik sebesar 31.200 megawatt. Hal ini yang membuat walaupun selama PSBB kendaraan bermotor di Jakarta berkurang, langit tetap kotor.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) membatasi jumlah rata-rata PM 2,5 per tahun adalah 10 mikrogram per meter kubik. CREA mengamati selama empat tahun terakhir konsentrat di Jakarta jauh di atas standar WHO. Tahun 2017 kadar PM 2,5 Jakarta adalah 29 mikrogram per meter kubik, tahun 2018 kadarnya 34 mikrogram per meter kubik, tahun 2109 di angka 40 mikrogram per meter kubik, dan di tahun 2020 walaupun ada PSBB jumlahnya 42 mikrogram per meter kubik.
”Pada musim hujan, angin berembus dari pembangkit listrik di Suralaya menuju Jakarta membawa PM 2,5, SO2, dan NO2,” kata Suarez.
CREA turut menghitung perkiraan biaya yang harus dikeluarkan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, Banten, dan Jawa Barat untuk menanggulangi penyakit akibat pencemaran udara, seperti asma, infeksi saluran pernapasan akut, dan risiko kelahiran prematur. Totalnya adalah Rp 5,1 triliun.
Biaya penanggulangan penyakit akibat pencemaran udara mencapai Rp 5,1 triliun.
Menurut dia, risiko ini bisa dicegah dengan memastikan pengendalian emisi di semua industri dan pembangkit listrik, Hal ini dicapai dengan komitmen pemerintah ketiga provinsi.
Terkait gagasan itu, Kepala Divisi Pengendalian Polisi International Centre for Environmental Law Fajri Fadhillah mengungkapkan, dalam 20 tahun ini, tidak tampak kesadaran apalagi kemauan dari ketiga provinsi tersebut untuk membenahi masalah pencemaran udara. Tidak ada transparansi jumlah emisi yang dikeluarkan oleh pabrik, kendaraan bermotor, dan pembangkit listrik. Oleh sebab itu, tidak ada pula kejelasan mengenai sanksi yang diberikan kepada lembaga ataupun individu yang melanggar batas emisi.
”Sebelum ada kerja sama, setiap provinsi harus punya strategi masing-masing mencegah polusi berbagai elemen. Ini langkah minimal untuk melindungi warga yang tinggal di sekitar industri dan pembangkit listrik,” tuturnya.
Listrik lokal
Direktur Eksekutif Yayasan Indonesia Cerah Adhityani Putri mengatakan, salah satu langkah yang bisa diambil pemerintah ialah lokalisasi listrik. Selama ini, konsep pembangunan pembangkit listrik ialah sebesar mungkin agar bisa menghasilkan daya listrik sangat besar. Daya ini rencananya akan dikirim ke wilayah lain, padahal sukar dilakukan karena faktor geografis Indonesia.
Salah satu contohnya ialah Jawa Timur yang mengalami kelebihan listrik karena pembangkit listriknya menghasilkan daya jauh di atas jumlah yang dimanfaatkan masyarakat. Pemerintah provinsi itu hendak mengirim daya ke Jawa Barat, tetapi terhalang faktor geografis dan vegetasi. Akibatnya, listrik itu kini menumpuk di Jawa Timur.
”Pembangkit listrik besar terus menghasilkan polutan besar. Patut dipikirkan bahwa suplai listrik harus bersifat lokal agar sesuai dengan jumlah yang dibutuhkan masyarakat sekitar. Ukuran pembangkitnya juga lebih terkendali sehingga pencemarannya bisa diturunkan,” ujarnya.