Kisah Ketua RT dan RW yang Ketiban ”Pusing” Membagi Bansos
Sebagian warga memupuk kebersamaan dengan sikap saling berbagi di tengah Pandemi Covid-19. Mereka meyakini, dengan bersama-sama, masa sulit ini bisa dilalui dengan mudah.
Oleh
ADITYA DIVERANTA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pandemi Covid-19 terus-menerus menyulitkan warga dalam berbagai hal. Tidak hanya persoalan kesehatan, warga juga dihadapkan pada permasalahan bantuan sosial yang kerap berjumlah terbatas.
Di tengah persoalan tersebut, sebagian warga saling sepakat untuk mengatur distribusi bantuan agar lebih merata. Hal ini dilakukan dengan memprioritaskan kalangan warga yang rentan miskin meski sebagian dari mereka ada yang belum terdata oleh dinas terkait.
Persoalan ”bansos" itu kerap terjadi di RT 003 RW 010 Menteng Dalam, Tebet, Jakarta Selatan. Rohmani, ketua RT setempat, tengah memutar otak agar puluhan kotak bantuan kebutuhan pokok dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta cukup untuk kalangan yang membutuhkan. Di wilayahnya, ada sekitar 77 warga yang rentan miskin.
Rohmani kemudian membuka sekitar 24 kotak bantuan untuk didistribusi ulang. Dalam satu kotak, yang semestinya berisi dua karung beras seberat 5 kilogram, setiap karungnya diberikan kepada satu keluarga. Begitu pula empat kaleng sarden dalam satu kotak, setiap dua kaleng diberikan kepada satu keluarga.
Sementara sebagian bahan pokok lainnya dibagikan kepada warga yang dianggap paling membutuhkan. Bahan pokok berupa satu kaleng biskuit, misalnya, diberikan kepada keluarga yang memiliki anak cukup banyak. Bahan pokok lainnya juga diprioritaskan kepada keluarga yang sehari-hari masih memasak.
Keterbatasan tersebut sebegitu sulit sehingga satu kotak bahan pokok yang semestinya untuk satu keluarga harus dibagi untuk beberapa keluarga. Meski begitu, Udin (62), warga setempat, tetap bersyukur menerima bantuan bahan pokok yang ada.
”Ya, dapatnya segini. Disyukuri saja daripada enggak dapat apa-apa,” ucap Udin. Keluarganya siang itu mendapat beras, sarden, dan minyak goreng.
Kadang kita dari pengurus warga berusaha ”nambahin” kalau memungkinkan. Tetapi yang paling sulit adalah memberi pengertian kepada mereka soal skala prioritas. Ada orang-orang yang didahulukan karena kondisinya sangat kritis.
Rohmani menuturkan, kondisi saling berbagi seperti itu terpaksa dilakukan warga di tengah terbatasnya bantuan yang ada. Entah apa yang menjadi masalah, tetapi ada sebagian warga rentan miskin yang tidak kunjung terdata oleh pemerintah. Padahal, sebagian dari orang-orang itu sangat membutuhkan bantuan sosial karena impitan situasi ekonomi.
Situasi serupa juga terjadi di wilayah RT tetangga. Toni, Ketua RT 002 RW 010 Menteng Dalam, berpikir keras agar setiap bantuan yang ada terdistribusi merata kepada warga rentan miskin. Tidak jarang dirinya ikut menambahkan ketersediaan bantuan bagi kalangan yang membutuhkan.
”Kadang kami, dari pengurus warga, berusaha nambahin kalau memungkinkan. Tetapi yang paling sulit adalah memberi pengertian kepada mereka soal skala prioritas. Ada orang-orang yang didahulukan karena kondisinya sangat kritis,” ujar Toni.
Di wilayah lain, RW 001 Kelurahan Cikini, Menteng, Jakarta Pusat, juga mengalami kondisi serupa. Hanafi, Ketua RW 001 Cikini, mengatakan, bantuan yang masuk kerap tidak sepadan dengan jumlah warga rentan miskin setempat. ”Alhasil, ya, pengurus warga yang harus pintar-pintar mendahulukan siapa yang lebih perlu,” ujarnya.
Alhasil, ya, pengurus warga yang harus pintar-pintar mendahulukan siapa yang lebih perlu.
Guru Besar Sosiologi Universitas Indonesia Paulus Wirutomo mengatakan, situasi saling berbagi di kalangan warga adalah manifestasi sikap gotong royong yang dimiliki warga Indonesia sejak dulu. Sikap gotong royong ini ternyata banyak membantu warga di masa sulit.
Walakin, kondisi keterbatasan itu juga semestinya menjadi kritik bagi pemerintah sebagai penyelenggara negara. ”Bagaimana pula warga yang rentan miskin bisa luput dari pendataan pemerintah, semestinya hal ini menjadi kritik keras untuk pemerintah,” tuturnya.
Ombudsman RI juga menghimpun 1.346 laporan terkait masalah bantuan sosial sejak 29 April 2020 hingga 31 Juli 2020. Ketua Ombudsman RI Amzulian Rifai mengatakan, permasalahan tersebut terjadi karena adanya ketidaklengkapan data. ”Jika punya data yang baik, tidak akan terjadi permasalahan itu,” ungkapnya.
Ada pelapor yang menyatakan tidak dapat menerima bantuan di tempat tinggalnya karena dia memegang KTP pendatang. Koordinasi pemberi bantuan juga masih kurang sehingga menyebabkan penerimaan bantuan berulang. Selain itu, ada pula laporan bahwa jumlah bantuan yang diterima tidak sesuai dengan jumlah bantuan yang ditentukan.
Berbagai permasalahan itu harus segera diselesaikan. Warga rentan miskin tentu tidak bisa terus-menerus berbagi di tengah kesulitan. Kondisi mereka akan semakin kritis jika menunggu terlalu lama.