Berdasarkan PP Nomor 26 Tahun 2008, sempadan sungai merupakan kawasan lindung nasional. Aturan itu tak diindahkan pemerintah dengan membeton sempadan Ciliwung di Condet, Jakarta Timur, yang bisa merusak area setempat.
Oleh
Aguido Adri
·5 menit baca
Kawasan hijau di bantaran Ciliwung, Codet, Jakarta Timur, semakin berkurang dan terancam rusak akibat proyek normalisasi sungai. Komunitas Ciliwung Codet mempertanyakan pelaksanaan proyek yang justru merusak lingkungan karena Condet merupakan kawasan yang dilindungi keasriannya dan tempat parkir air demi menghindari banjir.
Upaya sejumlah warga yang tinggal di bantaran Sungai Ciliwung, di Condet, Kelurahan Balekambang, Kecamatan Kramatjati, Jakarta Timur, mempertahankan keasrian wilayahnya terbentur kebijakan pemerintah terkait normalisasi Sungai Ciliwung sepanjang 33,69 kilometer (km) untuk menanggulangi banjir di Jakarta. Saat ini, pengerjaan proyek sudah sekitar 16 km.
Kekhawatitan kehilangan zona hijau nan asri begitu dirasakan hingga saat ini sejak pembangunan jalan inspeksi pada 2015 di bantaran sungai. Mereka khawatir, jika proyek itu dilanjutkan, semakin banyak vegetasi di sekitar sungai hilang karena ditebang.
”Jika dilanjutkan, artinya kawasan hijau di Codet semakin sedikit. Saat ini saja hanya tersisa sekitar 20 hektar. Kawasan hijau yang seharusnya dilindungi bersama justru akan kembali dirusak oleh proyek betonisasi (normalisasi),” kata Koordinator Komunitas Ciliwung Condet Abdul Kodir saat dikonfirmasi ulang, Selasa (28/7/2020).
Menurut Abdul Kodir, proyek betonisasi khususnya di wilayah Condet, Balekambang, tidak menjawab solusi banjir yang kerap menerjang Jakarta. Justru betonisasi akan semakin merusak alam dan ekologi serta berdampak pada sosial budaya masyarakat.
”Ada jejak sejarah dan kultural di Condet. Betonisasi ini merusak alam, artinya merusak jejak sejarah dan kultural. Ada kearifan lokal dan identitas kami (Betawi) yang perlahan terkikis hilang. Secara turun-menurun selalu diingatkan bahwa ada kehidupan di sungai, air memberi kehidupan, pohon-pohon harus dijaga. Pesan nenek moyang itu yang masih kami pertahankan,” tutur Kodir.
Saat ini di Condet, Balekambang, sudah dibangun jalan inspeksi sekitar 450 meter di sempadan Ciliwung sejak tahun 2015 dan berhenti pada 2017. Meski baru dibangun 450 meter, warga sekitar sudah merasakan dampak buruk dari pembangunan tersebut. Ketika hujan deras atau banjir kiriman datang dari hilir, air mengalir deras menghantam tebing sungai sehingga berpotensi terjadi abrasi lebih parah. Tidak hanya itu saja, kondisi jalan inspeksi saat ini sudah mulai retak.
Ada jejak sejarah dan budaya kearifan lokal Betawi yang hilang saat bantaran sungai dibeton, bukannya dibiarkan hijau dengan tegakan pohon rimbun.
Berdasarkan pemberitaan Kompas, 14 Januari 2020, proyek penataan sungai dan pengendalian banjir yang pada era Gubernur DKI Anies Baswedan ini disebut sebagai program naturalisasi terhenti karena masih terkendala pembebasan 118 bidang tanah di empat kelurahan, yaitu di Jakarta Selatan (Pejaten Timur dan Tanjung Barat) serta Jakarta Timur (Cililitan dan Balekambang). Pembebasan lahan tersebut memerlukan Rp 160 miliar. Dari kebutuhan 18.097 meter persegi, lahan yang dibebaskan untuk sodetan Ciliwung 5.967 meter persegi. Tersisa 12.130 meter persegi yang belum dibebaskan. Kini, pembangunan sodetan Ciliwung mencapai 50 persen dari total 1.200 meter.
Dampak buruk berupa abrasi itulah yang menjadi salah satu pertanyaan Sudirman Asun dari Ciliwung Institute. Tidak hanya itu saja, kata Asun, belajar dari sejumlah peristiwa banjir terbaru pada Januari silam di Jakarta, betonisasi di Sungai Ciliwung justru memperparah kondisi.
”Pernyataan bahwa banjir di Jakarta kemarin karena belum selesainya naturalisasi dan curah hujan deras tidak bisa dibenarkan sepenuhnya. Lihat akibat betonisasi di wilayah Kampung Pulo, Bidara Cina, contohnya, air hujan yang jatuh ke daratan tidak bisa mengalir ke sungai karena terhalang beton. Akhirnya, dengan hujan intensitas tinggi, air menggenang di darat. Ini satu permasalahan besar yang luput jadi perhatian. Kita justru mengandalkan pompa air untuk membuang air di darat ke sungai,” kata Asun.
Permasalahan lain, lanjutnya, jika proyek betonisasi dilanjutkan di Condet yang mencakup wilayah Kelurahan Rawajati, Kelurahan Pejaten Timur, Kelurahan Cililitan, Kelurahan Balekambang, Kelurahan Pejaten Timur, Kelurahan Tanjung Barat, dan Kelurahan Gedong, kerusakan alam sekitar sungai akan semakin parah. Hal itu akan berdampak pada wilayah hilir di Jakarta bagian utara karena tidak ada lagi penahan banjir.
Tidak hanya itu saja, kata Asun, dampak betonisasi adalah ketika banjir terjadi pendangkalan akut di sungai oleh sedimentasi. Betonisasi akan membuat daya dorong sedimentasi lemah.
Berdasarkan penelitian Ciliwung Institute bersama peneliti Zack Smith dari National University of Singapore pada 2015, pendangkalan Sungai Ciliwung segmen hilir Jakarta oleh sedimentasi sangat besar, rata-rata 10 sentimeter per bulan. Pengamatan dan pengukuran dilakukan di empat lokasi selama dua tahun, meliputi 12 pengukuran setiap dua bulan sekali.
”Amal ibadah warga Condet di kawasan hulu untuk mengurangi banjir di wilayah hilir Jakarta. Wilayah hulu Condet merupakan zona hijau, ini bisa membantu memperlambat laju arus aliran sungai. Jika bagian hulu Condet dibeton, otomatis air akan langsung cepat menuju utara Jakarta. Normalisasi ini untuk apa dan siapa?” kata Asun.
Koordinator Tim Pengendali Banjir Komunitas Ciliwung Sahroel Polontalo mengatakan, Sungai Ciliwung di Condet merupakan dataran banjir atau tempat parkir air saat hujan deras dan banjir kiriman datang dari hulu Bogor. Jika zona hijau di Condet dirusak dengan betonisasi, hal itu akan memperparah banjir di hilir Jakarta dan tentu juga berdampak pada warga sekitar bantaran Sungai Ciliwung di Condet.
Sahroel melanjutkan, betonisasi berupa pembangunan jalan inspeksi di bantaran Sungai Ciliwung di Condet, Balekambang, saja sudah menyalahi aturan tata ruang. Jalan inspeksi justru dibangun di sempadan sungai. Seharusnya jalan inspeksi dibangun 15 meter dari sempadan sungai.
”Berdasarkan PP (Peraturan Pemerintah) Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional Pasal 51 dan 52, sempadan sungai merupakan kawasan lindung nasional. Ini sebuah ironi dan kekeliruan, pemerintah justru melanggar aturannya sendiri. Jangan membangun jalan inspeksi di sempadan sungai dan hentikan atau bongkar jalan inspeksi yang saat ini sudah dibangun di Condet, Balekambang, karena melanggar aturan. Zona hijau 15 meter di sempadan sungai harus dipertahankan,” tuturnya.
Ia melanjutkan, berdasarkan PP Nomor 38 Tahun 2011 tentang Sungai, ada esensi yang harus diperhatikan untuk kelestarian sungai di Jakarta, utamamya di Indonesia. Dalam Pasal 3 Ayat (2) PP tersebut tertulis, fungsi sungai sebagai penyalur banjir serta pembangkit utama ekosistem flora dan fauna perlu dijaga.
”Sudah ada aturannya yang dibuat pemerintah. Itu menjadi dasar dan esensi kita menjaga sungai dengan tidak merusak, seperti dengan proyek betonisasi oleh pemerintah,” pungkas Sahroel.