Agar Bansos Tepat Sasaran, Diusulkan Ada Program Keluarga Harapan Skala Lokal DKI Jakarta
Juru Bicara KPK untuk Bidang Pencegahan Ipi Maryati Kuding mengatakan, rincian syarat adalah bentuk keterbukaan dan pertanggungjawaban kepada warga mengenai cara seleksi para penerima bantuan sosial.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Meningkatnya jumlah keluarga miskin akibat pandemi Covid-19 belum sepenuhnya masuk ke dalam jangkauan perlindungan dan jaminan sosial pemerintah pusat dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Oleh karena itu, patut dipertimbangkan untuk membuat program perlindungan sosial yang terintegrasi tanpa ada syarat tambahan.
Hal tersebut diajukan oleh Koalisi Pemantau Bantuan Sosial (Bansos) ketika melakukan pertemuan dengan Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza ”Ariza” Patria pada Selasa (28/7/2020) di Balai Kota Jakarta. Koalisi ini terdiri dari organisasi Serikat Perjuangan Rakyat Indonesia (SPRI), Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra), Perkumpulan Inisiatif, Kota Kita, dan International Budget Partnership.
Dika Moehammad dari SPRI menjelaskan, pada April-Mei 2020, koalisi menyurvei 3.958 keluarga miskin di 35 kelurahan di Ibu Kota. Terungkap bahwa 73 persen dari mereka masuk kategori layak masuk Program Keluarga Harapan (PKH), tetapi tidak mendapatkannya. Adapun sisa 27 persen merupakan keluarga miskin, tetapi jika dikaji dari persyaratan PKH, mereka tidak termasuk layak.
”Kategori layak menerima PKH selain miskin ialah memiliki setidaknya anggota keluarga yang merupakan perempuan hamil, anak balita, anak berusia sekolah, warga lansia, atau penyandang disabilitas. Apabila keluarga tersebut miskin tetapi tidak memiliki anggota keluarga dengan persyaratan itu, mereka dinyatakan tidak layak menerima bantuan PKH,” tuturnya.
SPRI menggunakan dua jenis perhitungan. Pertama, dengan memakai Garis Kemiskinan Nasional, yaitu pengeluaran per kapita sebesar Rp 440.538 setiap bulan. Sebelum pandemi Covid-19, SPRI mendampingi 1.437 keluarga sangat miskin di Jakarta. Setelah pandemi bertambah menjadi 2.491 keluarga.
Perhitungan kedua memakai Garis Kemiskinan DKI Jakarta, yakni pengeluaran per kapita Rp 663.355 setiap bulan. Jumlahnya dari 2.310 keluarga sebelum pandemi menjadi 3.194 keluarga akibat adanya Covid-19.
Menurut Dika, keluarga miskin yang tidak layak menerima PKH umumnya diarahkan untuk mengikuti program bantuan pangan nontunai (BPNT) yang juga berasal dari pemerintah pusat seperti PKH. Permasalahannya, dari keluarga-keluarga miskin yang didampingi SPRI setidaknya tercatat ada 461 keluarga yang saldo BPNT nol. Akibatnya, mereka tidak menerima hak Rp 200.000 per bulan yang bisa ditukarkan dengan makanan dan minuman dari warung-warung terdekat.
Dari keluarga-keluarga miskin yang didampingi SPRI setidaknya tercatat ada 461 keluarga yang saldo BPNT nol. Akibatnya, mereka tidak menerima hak Rp 200.000 per bulan yang bisa ditukarkan dengan makanan dan minuman dari warung-warung terdekat.
Warga beserta sukarelawan SPRI telah mengadu kepada para pekerja sosial di lapangan. Hingga saat ini belum ada tanggapan baik dari Kementerian Sosial maupun Dinas Sosial DKI Jakarta sehingga warga miskin terpaksa mencari nafkah selama pembatasan sosial berskala besar yang meningkatkan risiko penyebaran Covid-19.
PKH lokal
Dika menerangkan, PKH dan BPNT dari pemerintah pusat memiliki kuota terbatas. Oleh sebab itu, penting bagi pemerintah daerah, yaitu Pemprov DKI Jakarta, untuk turun tangan melindungi warga miskin. Jakarta sudah memiliki program untuk membantu warga dengan kondisi khusus, misalnya Kartu Jakarta Lansia. Namun, dana dari bantuan ini hanya diperuntukkan bagi individu lansia tersebut, bukan untuk keluarganya walau miskin.
”Koalisi mengusulkan agar Pemprov DKI Jakarta membuat skema program perlindungan sosial terintegrasi, seperti semacam PKH, tapi dari pemprov untuk warga Jakarta saja yang mencakup semua keluarga miskin tanpa perlu syarat ada anggota keluarga berkebutuhan khusus,” ujarnya.
Jenis bantuannya ada dua, yaitu reguler dan komponen. Bantuan reguler merupakan bantuan mendasar yang diberikan kepada setiap keluarga miskin. Bentuknya bisa berupa sembilan bahan kebutuhan pokok (sembako) ataupun transfer dana. Bantuan komponen adalah bantuan tambahan selain reguler yang diperuntukkan bagi anggota keluarga berkebutuhan khusus. Contohnya, jika keluarga itu memiliki anak balita, selain bantuan reguler juga diberikan susu formula dan popok.
Sumber dana bantuan terintegrasi itu diusulkan dari penurunan belanja daerah dan piutang. Meskipun begitu, Koalisi Pemantau Bansos harus melakukan penghitungan ulang anggaran Pemprov Jakarta, mengingat ada pengurangan 53 persen akibat pandemi Covid-19.
Ariza seusai pertemuan mengatakan, Pemprov DKI Jakarta terbuka pada usulan tersebut dan mempersilakan koalisi untuk membantu menghitung kembali anggaran pemerintah saat ini. Pemprov DKI Jakarta telah mengalokasikan Rp 5,3 triliun untuk membantu warga miskin yang dibagi ke dalam tiga bentuk, yakni bansos, pengobatan, dan stimulus fiskal.
”Pastinya kami senang masyarakat mau membantu memperbaiki pendataan dan mengawasi penyaluran bantuan,” katanya.
Pastinya kami senang masyarakat mau membantu memperbaiki pendataan dan mengawasi penyaluran bantuan. (Wagub DKI Ariza)
Pendataan penerima bansos setiap hari diperbaiki dan menurut Ariza jumlah keluhan kian berkurang sehingga dianggap sebagai pertanda baik. Bentuk bantuan yang diberikan masih berupa bahan pokok karena mengikuti arahan pemerintah pusat. Menurut rencana, akan terus demikian hingga Desember 2020.
”Ada tambahan dana Rp 1,6 miliar dari denda pelanggaran PSBB. Bisa juga dipakai untuk bansos kalau nanti sudah dikaji,” ucapnya.
Pada awal Juli, Komisi Pemberantasan Korupsi telah bertemu dengan Gubernur Jakarta Anies Baswedan. Mereka mengemukakan bahwa syarat penerima bantuan sosial untuk pandemi Covid-19 terlalu umum. Masyarakat membutuhkan keterangan yang lebih terperinci untuk menganalisis jika keluarganya layak mengajukan diri sebagai penerima.
Juru Bicara KPK untuk Bidang Pencegahan Ipi Maryati Kuding mengatakan, rincian syarat adalah bentuk keterbukaan dan pertanggungjawaban kepada warga mengenai cara seleksi para penerima bansos.