Halau Covid-19 dengan Seimbangkan Optimisme dan Ketakutan
Optimisme yang sudah alamiah pada diri manusia dan rasa takut mesti seimbang agar masyarakat bisa didorong mengubah perilaku selama pandemi Covid-19 menjadi membiasakan diri dengan protokol kesehatan.
Oleh
Johanes Galuh Bimantara
·3 menit baca
Kompas/Wawan H Prabowo
Warga tidak menggunakan masker dan berkerumun saat melakukan aktivitas jual-beli barang bekas di atas trotoar Stasiun Kebayoran Lama, Jakarta, Sabtu (18/7/2020).
Secara psikologis, perubahan perilaku manusia mengantisipasi bahaya, termasuk ancaman penularan Covid-19, bakal terwujud jika tercipta keseimbangan antara optimisme dan ketakutan. Kunci menciptakan keseimbangan itu lagi-lagi adalah tentang komunikasi yang efektif pada masyarakat.
Pengajar di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia (UI), Roby Muhamad, menjelaskan, berdasarkan beragam riset dan fakta, manusia di mana pun umumnya punya sifat alamiah berupa optimisme yang sebenarnya bias. Manusia cenderung menganggap peluang sesuatu yang buruk terjadi padanya kecil.
”Mungkin pada orang lain terjadi, tetapi pada dirinya kecil. Itu sudah built-in dalam pikiran manusia,” ucapnya saat dihubungi pada Senin (20/7/2020).
Kondisi itu tecermin dari jamaknya pengabaian protokol kesehatan di tengah pandemi Covid-19, termasuk di DKI Jakarta. Masih banyak warga yang bepergian atau mengobrol di luar rumah tanpa mengenakan masker. Pembatasan jarak juga tidak dijalankan.
Kompas/Wawan H Prabowo
Para pedagang bekas menggelar dagangannya di atas trotoar Stasiun Kebayoran Lama, Jakarta, Sabtu (18/7/2020).
Meski demikian, Roby menyebutkan, ada mekanisme di otak yang bisa menjadi salah satu pemicu perubahan perilaku, yaitu ketakutan. Contohnya, ketakutan terhadap risiko kematian dari penularan Covid-19 membuat seseorang menjauhi kerumunan dan pertemuan serta rajin mengenakan masker.
Namun, kadar ketakutan itu mesti pas untuk mendorong terciptanya perubahan perilaku. Sebab, ada dua kemungkinan dari rasa takut berlebihan, yakni menimbulkan kepanikan atau malah membuat seseorang tidak berbuat apa-apa. ”Di Amerika Serikat, setiap ada bencana badai, ada orang yang tidak mau mengungsi, tidak mau meninggalkan rumahnya,” ujar Roby.
Karena itu, dalam konteks Covid-19, menciptakan keseimbangan antara bias optimisme dan ketakutan berlebihan jadi tantangan guna mendorong perubahan perilaku di masyarakat agar membiasakan diri dengan protokol kesehatan. Menurut Roby, kunci menciptakan keseimbangan itu adalah mengefektifkan lagi komunikasi, baik yang digencarkan pemerintah; nonpemerintah, seperti media massa; maupun komunikasi yang berjalan pada kehidupan sehari-hari warga.
Roby berpendapat, komunikasi terkait Covid-19 selama ini cenderung lebih banyak mengangkat soal apa yang sedang terjadi. ”Itu penting, tetapi yang kadang orang sudah lupa atau mungkin malas adalah mengomunikasikan apa yang harus dilakukan orang,” ucapnya.
Selain mengangkat soal apa yang sedang terjadi, penting mengomunikasikan apa yang harus dilakukan orang. (Roby)
Bagi Roby, tidak ada kata cukup terhadap sosialisasi protokol kesehatan untuk mencegah Covid-19. Ia menggambarkannya seperti ritual keagamaan harian dan mingguan yang terus diselenggarakan dan diikuti umat.
KOMPAS/JOHANES GALUH BIMANTARA
Sejumlah pengguna jalan di area Palmerah, Jakarta Barat, Senin (13/7/2020), tidak mengenakan masker.
Selain itu, Roby juga menyarankan sosialisasi disampaikan secara lebih rinci dan relevan dengan kehidupan sehari-hari masyarakat. Contohnya, imbauan menjaga jarak perlu diperjelas pada konteks yang berbeda-beda, misalnya cara menjaga jarak saat di angkutan umum, di kantor, dan di lingkungan permukiman.
Terkait strategi komunikasi Covid-19, sebelumnya sosiolog Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Rakhmat Hidayat, memandang, sejak awal pemerintah pusat dan Provinsi DKI Jakarta belum cukup mendayagunakan peran agen informal atau forum kekeluargaan untuk membantu meningkatkan kesadaran seluruh warga membiasakan diri dengan protokol kesehatan, seperti memakai masker dan menjaga jarak fisik. Pemerintah baru berkutat dengan hal-hal formal.
Contoh forum kekeluargaan yang bisa dioptimalkan, antara lain, kelompok pengajian, majelis taklim, dan karang taruna. ”Mungkin karena lebih dekat komunitasnya, lebih cair, itu bisa menjadi salah satu mekanismenya (untuk menggencarkan sosialisasi pencegahan Covid-19),” ucapnya saat dihubungi pada Sabtu (18/7/2020).
Pakar epidemiologi Universitas Indonesia (UI), Pandu Riono, juga menyarankan Pemprov DKI lebih aktif melibatkan tokoh masyarakat dan tokoh agama untuk menyebarluaskan pesan penggunaan masker. Pemakaian masker adalah kunci menekan pertambahan kasus Covid-19 sekaligus menjadi hal yang masih kerap diabaikan oleh banyak warga di Ibu Kota.
Pakar epidemiologi Universitas Indonesia (UI), Pandu Riono, juga menyarankan Pemprov DKI lebih aktif melibatkan tokoh masyarakat dan tokoh agama untuk menyebarluaskan pesan penggunaan masker.
Berdasarkan data per 19 Juli, Indonesia memiliki total 86.521 kasus positif Covid-19, naik 1.639 kasus dibanding sehari sebelumnya. Di Jakarta, pada tanggal yang sama, terdapat total 16.351 kasus positif, naik 313 kasus dibanding sehari sebelumnya.