DKI Kaji Ulang Pemberlakuan Kembali Ganjil Genap
Kebijakan ganjil genap belum resmi diterapkan kembali. Pemprov DKI Jakarta memilih untuk berhati-hati sembari melihat perkembangan di lapangan selama pekan pertama PSBB transisi.
JAKARTA, KOMPAS — Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Syafrin Liputo, Sabtu (6/6/2020), menerangkan, peniadaan sistem ganjil genap di jalanan Ibu Kota tetap berlaku sejak 5 Juni 2020 hingga sepekan mendatang. Kebijakan ganjil genap tercantum kembali dalam Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 51 Tahun 2020. Tidak hanya kendaraan roda empat, kebijakan ganjil genap kali ini juga ditujukan untuk kendaraan roda dua.
”Kebijakan ganjil genap belum berlaku. Kami akan lihat situasi dan kondisi traffic di masa PSBB transisi pekan pertama seperti apa. Hasil evaluasi itu akan menentukan minggu berikutnya apakah sudah bisa ganjil genap,” kata Syafrin.
Apabila hasil evaluasi menunjukkan kebijakan ganjil genap perlu diterapkan, nantinya akan diatur dalam keputusan gubernur tersendiri. Syafrin menjelaskan, ada dua indikator yang dilihat untuk menentukan pemberlakuan ganjil genap.
Pertama, Dinas Perhubungan DKI Jakarta melihat volume lalu lintas saat pekan pertama PSBB transisi. Kedua, kapasitas angkutan umum juga akan dinilai, apakah cukup efektif menampung pergerakan orang atau tidak.
”Penilaiannya tentu komprehensif. Tidak hanya dari satu aspek. Dari sisi layanan, angkutan umum seperti apa, bagaimana supply dan demand yang terbentuk pada masa transisi. Lalu, bagaimana arus kendaraannya,” tutur Syafrin.
Baca juga : Cemas Memulai Masa PSBB Transisi di Perkantoran
Karena banyak pertimbangan sebelum memutuskan pemberlakuan kembali kebijakan ganjil genap, pedoman teknis kebijakan itu juga belum selesai disusun. Semuanya sangat bergantung pada kondisi dan situasi di lapangan saat pekan pertama PSBB transisi. Nantinya, jika evaluasi telah tuntas, dinas perhubungan akan menyerahkan hasil kajian kepada Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan.
”Pak Gubernur yang nanti memutuskan apakah jadi ada ganjil genap atau tidak,” ucapnya.
Direktur Lalu Lintas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Sambodo Purnomo Yogo juga mengatakan belum ada rencana konkret terkait penerapan kebijakan ganjil genap. Namun, apabila diterapkan, kepolisian siap mendukung implementasi kebijakan tersebut.
Sebelumnya, Gubernur Anies menegaskan, penyelenggaraan kembali kebijakan ganjil genap secara bertahap pada masa transisi bukan bertujuan untuk mengatasi kemacetan, melainkan lebih kepada membatasi pergerakan orang keluar rumah.
Penyelenggaraan kembali kebijakan ganjil genap secara bertahap pada masa transisi bukan bertujuan untuk mengatasi kemacetan, melainkan lebih kepada membatasi pergerakan orang keluar rumah.
Ia menekankan, masa transisi bukan berarti masa pelonggaran, melainkan masa krusial menuju pembiasaan diri ke kehidupan normal baru. Masyarakat, lanjutnya, harus tetap patuh dan disiplin menerapkan protokol kesehatan karena PSBB masih tetap berjalan.
Minta ditunda
Rencana pemberlakuan kembali kebijakan ganjil genap menuai reaksi dari Ombudsman RI Perwakilan Jakarta Raya. Kepala Ombudsman RI Perwakilan Jakarta Raya Teguh Nugroho meminta Pemprov DKI untuk menunda kebijakan ganjil genap.
Alasannya, jika kebijakan itu diberlakukan kembali, dikhawatirkan masyarakat akan berbondong-bondong beralih ke kereta rangkaian listrik (KRL) dan Transjakarta. Dalam situasi seperti itu, kerumunan penumpang akan sulit dihindari.
”Kalau sudah begitu, angkutan umum berpotensi menjadi sarana penyebaran Covid-19,” kata Teguh, dihubungi secara terpisah.
Baca juga : Masa Transisi, Masa Kian Waspada
Menurut Teguh, penundaan kebijakan ganjil genap akan membuat warga punya pilihan moda transportasi lain dalam bepergian. Dalam masa PSBB transisi ini, sejumlah kantor dan tempat usaha di luar 11 sektor yang dikecualikan sudah diperbolehkan beroperasi secara terbatas.
Hal serupa diutarakan pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti, Jakarta, Trubus Rahardiansyah. Dengan menunda kebijakan ganjil genap, dinas perhubungan memiliki waktu lebih lama untuk memantau situasi dan kondisi di lapangan. Selain itu, apabila langsung diterapkan saat masa transisi, akan timbul resistensi dari masyarakat.
”Masa transisi ini gunakan saja dulu untuk sosialisasi, sekaligus mematangkan kebijakan ganjil genap,” ucap Trubus.
Sebagai gantinya, Teguh menyarankan, kebijakan ganjil genap bisa diganti dengan sejumlah opsi. Opsi itu antara lain kebijakan merekayasa lalu lintas dengan tahapan uji coba dan sosialisasi memadai, melakukan analisis beban dan sinkronisasi antarmoda transportasi agar dapat mengurangi kepadatan jalan raya, serta mengedepankan upaya penegakan hukum simpatik dalam meningkatkan kesadaran hukum masyarakat dalam berlalu lintas.
Epidemiolog Universitas Indonesia, Pandu Riono, mengemukakan, pemberlakuan kebijakan ganjil genap bisa dilakukan dengan catatan transportasi umum mesti dipastikan menjalankan protokol kesehatan agar tidak menimbulkan kluster penyebaran baru.
Pemberlakuan kebijakan ganjil genap bisa dilakukan dengan catatan transportasi umum mesti dipastikan menjalankan protokol kesehatan agar tidak menimbulkan kluster penyebaran baru.
Pandu memandang kebijakan ganjil genap juga penting untuk diterapkan. Sebab, tanpa itu, kemacetan akan terjadi dan membuat lingkungan kembali tidak sehat karena polusi. Untuk mencari penyelesaiannya, pemerintah bisa merumuskan kebijakan yang membuat masyarakat tersebar.
”Misalnya seperti di Korea Selatan itu karyawan yang masuk juga dibagi ganjil genap berdasarkan tanggal ulang tahun. Atau, bisa juga ganjil genap diberlakukan sekaligus dengan pembagian jam masuk kerja. Jadi, pekerja tidak masuk atau pulang kerja dalam satu waktu bersamaan,” ujar Pandu.
Operasionalisasi penuh
Direktur Institut Studi Transportasi (Instran) Darmaningtyas berpendapat, kebijakan ganjil genap mesti diimbangi dengan operasionalisasi angkutan umum secara penuh.
Selama PSBB berlangsung, angkutan umum di DKI Jakarta beroperasi secara terbatas. Transjakarta, misalnya, hanya mengoperasikan 13 koridor utama. Sementara bus besar, sedang, dan mikrotrans tidak dioperasikan karena minim pergerakan saat PSBB.
”Kalau pergerakan meningkat, secara otomatis perlu diimbangi dengan operasional angkutan umum secara penuh,” ujarnya.
Baca juga : Menengok Wajah Baru Stasiun Tanah Abang Saat Normal Baru
Darmaningtyas memprediksi, pergerakan orang belum akan kembali pulih 100 persen saat masa transisi. Pergerakan akan kembali seperti semula setelah data Covid-19 menunjukkan angka nol atau tidak ada penularan sama sekali.
Lebih lanjut, ia menambahkan, penerapan kembali kebijakan ganjil genap juga perlu didukung dengan kampanye yang makin masif untuk menggunakan sepeda sebagai moda transportasi sehari-hari. Dalam seminggu terakhir, Darmaningtyas melihat makin banyak orang menggunakan sepeda. Namun, kenaikannya tidak signifikan.
Dukungan kebijakan agar masyarakat menggunakan moda transportasi sepeda terlihat dalam Surat Keputusan (SK) Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Nomor 105 Tahun 2020. Dalam SK tersebut diatur ketentuan untuk mendorong masyarakat kembali menggunakan sepeda sebagai transportasi alternatif.
Kawasan perkantoran dan pusat perbelanjaan diwajibkan menyediakan fasilitas parkir khusus sepeda sebesar 10 persen dari kapasitas parkir yang tersedia. Selain itu, fasilitas parkir sepeda di halte bus, stasiun, dan bandar udara menyesuaikan dengan ketersediaan ruang pada prasarana masing-masing.
Penerapan kembali kebijakan ganjil genap juga perlu didukung dengan kampanye yang makin masif untuk menggunakan sepeda sebagai moda transportasi sehari-hari.
Baca juga : Belajar dari Kasus George Floyd
SK tersebut juga mengatur perihal jam operasional angkutan umum. Transjakarta dan angkutan umum reguler beroperasi pada pukul 05.00-22.00. Sementara moda raya terpadu (MRT) dan lintas raya terpadu (LRT) pukul 05.00-21.00.
Selain itu, SK juga mengatur kewajiban bagi pengemudi angkutan roda dua seperti ojek daring dan ojek pangkalan untuk menggunakan alat pelindung diri sekurang-kurangnya masker dan menyediakan cairan pembersih tangan. Ojek daring dan pangkalan dilarang beroperasi pada wilayah yang ditetapkan sebagai wilayah pengendalian ketat berskala besar. Ketentuan itu mulai berlaku sejak 8 Juni 2020.
Pelanggaran terhadap ketentuan tersebut akan dikenai denda administratif paling sedikit Rp 100.000 dan paling banyak Rp 500.000. Selain itu, ada sanksi kerja sosial membersihkan fasilitas umum dan penderekan kendaraan.