Di saat umat Islam bersukacita merayakan malam takbiran dan Lebaran, tenaga medis masih berjibaku merawat pasien Covid-19. Jauh dari kegembiraan bersama keluarga, mereka habiskan waktu menjaga kesehatan para pasien.
Oleh
INSAN ALFAJRI/STEFANUS ATO
·4 menit baca
Sabtu (23/5/2020), semalam suntuk Futri Dewi Sari (33) memastikan kebutuhan puluhan pasien tetap terpenuhi. Sukarelawan tenaga kesehatan di Wisma Atlet, Jakarta, ini berharap, momentum Lebaran ini dapat menggugah kesadaran publik agar bersama-sama memutus rantai penularan virus korona baru.
Ketika matahari terbit di hari pertama Idul Fitri 1441 Hijriyah, Futri baru selesai dinas. Belum sempat tidur sepicing pun, perawat ini langsung mengikuti shalat Id bersama tenaga kesehatan lainnya.
Seusai shalat Id, dia menghubungi keluarganya yang berada di Makassar, Sulawesi Selatan. ”Tak bisa bicara lama-lama, belum apa-apa sudah berkaca-kaca. Sedih,” ujar Futri, ketika dihubungi dari Jakarta, Minggu (24/5/2020) sore.
Setelah itu, ia terlelap karena lelah menyergap. Sekitar pukul 12.00, Futri bangun tidur. Perutnya keroncongan. Di lantai dasar tower tempatnya menginap, ada pembagian makanan. Berhubung suasana Lebaran, ia mengira akan ada semacam open house atau jatah makanan khas Lebaran.
”Ternyata menunya masih sama seperti kemarin, nasi kotak, ha-ha-ha,” ucapnya seraya tertawa.
Sudah dua bulan, Futri bertugas di Rumah Sakit Darurat Covid-19 Wisma Atlet, Jakarta. Mengusir rasa jenuh menjadi tantangan tersendiri baginya. Ketika sedang tidak menjaga pasien, dia hanya menghabiskan waktu di kamar. ”Sesekali main tenis meja. Itu pun baru bisa main kalau orang tidak ramai,” jelasnya.
Semalam, ia berbincang dengan seorang pasien yang baru sehari di Wisma Atlet. Pasien yang bekerja sebagai teknisi pesawat itu hendak berangkat ke Malaysia. Untuk itu, ia harus melakukan tes cepat (rapid test). Hasilnya reaktif. ”Dan dia harus menjalani Lebaran di sini. Kasihan,” katanya.
Sedikitnya ada 20 pasien berstatus pasien dalam pengawasan yang dirawat Futri setiap bertugas. Ketika pertama kali menjadi sukarelawan di RS Wisma Atlet, dia pernah menangani 60 pasien setiap hari.
Kegiatan yang dia lakukan antara lain memeriksa tekanan darah pasien dan memeriksa kondisi jantung pasien yang mengonsumsi obat. Tenaga kesehatan dan pasien berkoordinasi melalui grup Whatsapp. ”Bagi pasien yang tidak memiliki gawai, kami lakukan pemantauan langsung. Takutnya nanti kenapa-napa,” jelasnya.
Merawat pasien Covid-19, menurut dia, melelahkan. Tenaga kesehatan harus mengenakan alat pelindung diri (APD) lengkap yang membuat gerak badan menjadi terbatas. Penggunaan masker bedah yang dilapis dengan masker N95 membuat sulit bernapas. Itu semua harus dijalani selama 8-12 jam.
”Dan, masih ada juga masyarakat kita yang menyepelekan virus ini. Andai saja mereka bisa menyaksikan langsung bagaimana kami di sini, tentu mereka bisa memahami. Tolong patuh pada protokol kesehatan,” dia memohon.
Dan, masih ada juga masyarakat kita yang menyepelekan virus ini. Andai saja mereka bisa menyaksikan langsung bagaimana kami di sini, tentu mereka bisa memahami. Tolong patuh pada protokol kesehatan.
Saling mendukung
Di Rumah Sakit Penyakit Infeksi (RSPI) Sulianti Saroso, Jakarta, perawat Anitha Supriono (40) baru bebas tugas sehari menjelang Lebaran. Seharian dibungkus APD membuatnya tak memiliki kesempatan menyiapkan hari kemenangan.
Perempuan asal Sorowako, Luwu Timur, Sulawesi Selatan, itu, langsung kembali ke rumahnya dan beristirahat. ”Di rumah sakit, kami selalu memberikan semangat kepada pasien, mengingatkan bahwa mereka tidak sendiri. Ada kami yang menemani, ada keluarga yang mendukung dan mendoakan,” ucapnya.
Pengalaman merayakan Idul Fitri kali ini pun terasa sangat berbeda. Untuk pertama kali, Anitha merayakan Lebaran tanpa mudik. Ia sempat membayangkan suasana Lebaran di kampung: bersama orangtua menyiapkan hidangan opor ayam, lontong, dan rendang.
”Saya tadi malam sampai rumah, hanya ucapkan Idul Fitri ke keluarga melalui panggilan video. Setelah itu, istirahat karena merawat pasien Covid-19 lebih lelah dari biasanya. Sehari dibungkus APD ditambah tekanan psikologis takut salah kenakan APD dan tertular, lebih capai dari merawat pasien biasa,” ucapnya.
Seusai shalat Id, Anitha kembali ke rumah sakit. Tak banyak waktu tersisa sebab kehadirannya ditunggu pasien. Situasi ini sudah ia alami sejak akhir Februari 2020 saat tengah merawat pasien Covid-19 yang kemudian diumumkan pemerintah sebagai kasus awal Covid-19 di Indonesia. Selama tiga bulan terakhir, waktunya tersedot di rumah sakit.
Bertugas di ruang unit perawatan intensif (ICU), keselamatan pasien menjadi perhatian utama. Jika lengah sedikit saja, nyawa pasien terancam. Pengalaman itu ia alami selama puasa kemarin.
”Ketika datang waktu berbuka puasa, kami terpaksa harus bertahan dulu sampai selesai tugas perawatan. Jadi, mau minum, buang air, atau lapar pun harus tahan,” ujarnya.
Butuh waktu paling sedikit empat jam untuk melakukan tindakan medis kepada pasien di ICU. Anitha pun sering pusing dan lemas karena kekurangan oksigen. Ini disebabkan oleh APD yang dikenakan.
Futri dan Anitha mewakili suara ribuan orang yang berjibaku dalam menangani pandemi Covid-19. Hargai kerja keras mereka dengan memutus rantai penularan virus korona.