Saat Protokol Kesehatan Diabaikan di Pasar Kebon Kembang Bogor
Warga memadati kawasan Pasar Kebon Kembang atau Pasar Anyar, Kota Bogor, meski masih dalam masa pandemi Covid-19.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
Suasana Pasar Kebon Kembang atau yang lebih dikenal dengan nama Pasar Anyar di Kota Bogor, Senin (18/5/2020), tampak dipadati oleh masyarakat yang hendak membeli keperluan Lebaran. Mereka pun mengabaikan aturan jaga jarak fisik dan protokol kesehatan untuk mencegah penyebaran Covid-19.
Lapak-lapak pedagang kaki lima (PKL), baik yang menjual kebutuhan pokok maupun nonpangan di Pasar Anyar, banyak diserbu masyarakat Kota Bogor. Lapak pedagang pakaian yang tak surut pembeli salah satunya milik Hadi (36). Siang itu, lebih dari sepuluh potong pakaian dagangan Hadi telah diborong pembeli.
Hadi mengaku tidak terlalu risau dengan pandemi Covid-19 yang telah menginfeksi 107 orang di Kota Bogor atau lebih dari 18.000 orang di seluruh Indonesia. Hadi menganggap penularan dapat dicegah jika ia senantiasa mengenakan masker dan menjaga kebersihan dengan mencuci tangan menggunakan sabun.
Selain itu, kondisi keuangan yang semakin terjepit juga menjadi alasan Hadi tetap berjualan di pasar. Menurut dia, bantuan sosial dari pemerintah berupa paket sembako dan uang tunai tidak dapat menanggung hidup keluarganya selama satu bulan. ”Sejak adanya Covid-19 pendapatan sudah anjlok tajam,” katanya.
Adanya pandemi Covid-19 yang dapat menginfeksi siapa pun juga tidak menyurutkan niat Ratna (32) membeli mukena baru dan sejumlah kue kering untuk keperluan Lebaran. Meski shalat Idul Fitri berjemaah di Kota Bogor ditiadakan, dia tetap membeli sejumlah kebutuhan agar tradisi dan suasana Lebaran tetap terjaga.
Sama halnya dengan masyarakat lainnya di pasar, Ratna juga tidak terlalu menghiraukan aturan jaga jarak fisik untuk mencegah penyebaran Covid-19. Bahkan, ia memandang Covid-19 tidak terlalu berbahaya dan menakutkan seperti narasi yang menyebar di media.
”Saya sudah sering keluar rumah atau mengunjungi tempat umum dan sampai saat ini tidak tertular. Yang terpenting saya tetap memakai masker dan membersihkan diri setelah keluar rumah,” ujarnya.
Saya sudah sering keluar rumah atau mengunjungi tempat umum dan sampai saat ini tidak tertular. Yang terpenting saya tetap memakai masker dan membersihkan diri setelah keluar rumah.
Banyaknya masyarakat yang memadati Pasar Anyar dengan mengabaikan protokol kesehatan membuat Pemerintah Kota Bogor melakukan peninjauan dan penindakan. Wali Kota Bogor Bima Arya yang turut meninjau langsung ke lokasi meminta masyarakat melaksanakan anjuran pemerintah dengan menjaga jarak fisik dan senantiasa menggunakan masker.
Bima juga meminta petugas satpol PP untuk menertibkan pedagang nonpangan yang masih tetap berjualan. Bogor juga akan mendirikan posko gabungan untuk memastikan tidak ada lagi lapak liar nonpangan yang menggelar dagangannya selama pembatasan sosial berskala besar (PSBB).
Selain itu, pedagang juga akan dijatuhi sanksi berupa denda dan pidana jika tetap nekat untuk berjualan atau melawan petugas. Bima menyatakan, semua upaya ketegasan ini dilakukan karena pasar merupakan salah satu lokasi dengan tingkat kerawanan tinggi penyebaran Covid-19.
Empat orang reaktif
Selain melakukan penertiban, Pemkot Bogor juga mengadakan tes cepat Covid-19 yang diikuti 131 pengunjung dan pedagang pasar secara acak. Kepala Dinas Kesehatan Kota Bogor Sri Nowo Retno menyampaikan, hasil tes menunjukkan empat orang reaktif yang terdiri dari dua pengunjung dan dua pedagang. Mereka kemudian akan menjalani tes usap tenggorokan untuk memastikan positif atau negatif Covid-19.
Pengamat perkotaan Universitas Trisakti, Yayat Supriatna, mengatakan, dari sejumlah studi menunjukkan, Covid-19 lebih berpotensi menular di pasar dengan tingkat pengelolaan yang buruk. Hal ini karena pengunjung di tempat tersebut sangat padat sehingga sulit diterapkan jaga jarak fisik. Potensi penularan semakin tinggi jika pasar tidak pernah dilakukan penyemprotan disinfektan.
”Pada pasar tradisional yang rendah pengelolaannya dan kebersihannya serta buruk sanitasinya, penularan lebih mudah terjadi. Pasar itu biasanya abai masalah kesehatan karena fokus membeli barang. Ini juga terlihat dari tidak adanya tempat cuci tangan di sejumlah lapak di pasar,” ujarnya.
Solusi meminimalkan terjadinya penularan ini, kata Yayat, dapat dimulai dengan menguatkan kelembagaan di pasar tersebut. Sebab, protokol kesehatan tidak dapat diterapkan secara optimal karena tidak adanya pihak yang mengurus dan mengawasi secara langsung aktivitas yang terjadi di pasar tradisional atau pasar rakyat.
Meski demikian, pasar tradisional yang saat ini masih memiliki unsur kelembagaan yang lemah dapat turut mencegah penyebaran Covid-19 dengan meningkatkan kepekaan berbasis komunitas. Asosiasi pedagang atau pasar hingga pengurus RW bisa membuat rambu-ramu peringatan penularan Covid-19.
”Baik di Pasar Anyar, Pasar Ciledug Tangerang, hingga Pasar Tanah Abang Jakarta itu minim rambu-rambu dan petunjuk protokol kesehatan. Jadi, orang yang ada di pasar itu dapat selalu diingatkan sehingga akan muncul kesadaran,” katanya.
Dari kacamata sosiologi, adanya keramaian di pasar selama PSBB, menurut sosiolog UI Imam Prasodjo, terjadi karena adanya pelanggaran aturan atau ketidakpatuhan yang dilakukan secara kolektif. Banyaknya orang yang melanggar protokol kesehatan tetapi tetap sehat menimbulkan anggapan bahwa melakukan aktivitas di ruang publik selama masa pandemi itu tidak membahayakan.
Di sisi lain, tambah Imam, tradisi berbelanja kebutuhan pangan dan nonpangan menjelang Lebaran juga memberikan andil terjadinya kerumunan di pasar. Masih adanya pedagang nonpangan yang menggelar dagangannya turut memfasilitasi tradisi berbelanja tersebut.
Penanganan Covid-19 memang membutuhkan dukungan dan komitmen semua pihak tak terkecuali masyarakat. Pandemi ini tidak akan pernah selesai jika tidak ada ketegasan dari pembuat kebijakan, sementara sebagian besar masyarakatnya masih memiliki sikap anomi.