Karantina atau Tidak, Warteg Akan Terus Ada untuk Warga Jakarta
Warteg akan selalu menjadi pilihan bagi kalangan kelas menengah ke bawah. Terlebih, banyak pekerja informal atau karyawan yang mengalami krisis ekonomi akibat Covid-19.
Oleh
fajar ramadhan
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Wabah Covid-19 memaksa pemilik warung tegal atau warteg di Ibu Kota bersiasat agar tetap bisa memenuhi kebutuhan pangan warga. Terlebih, para penikmat warteg yang kebanyakan dari kalangan menengah ke bawah menganggap warteg sebagai penyelamat bagi mereka di masa-masa sulit seperti sekarang.
Senin (30/3/2020) siang, bangku-bangku di Warteg Nurul di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, tampak lengang. Hanya tampak empat orang yang tengah menunggu gerimis mereda. Padahal, pada jam istirahat seperti siang itu, warteg selalu dipadati oleh pembeli dari kalangan karyawan.
Warto, pemilik Warteg Nurul, mengungkapkan, seiring dengan banyaknya karyawan kantoran yang bekerja dari rumah, pendapatannya juga menurun hingga 40 persen. Sekarang, Warteg Nurul hanya melayani orang-orang yang melintas, pekerja informal, dan warga sekitar.
”Penurunan memang terasa banget. Umpamanya sehari bisa dapat lebih dari Rp 1 juta, sekarang berkurang sampai 40 persen,” kata Warto.
Meski begitu, nasib Warteg Nurul masih lebih baik jika dibandingkan dengan warteg-warteg lain. Menurut Warto, tidak sedikit pemilik warteg yang mengalami penurunan pendapatan hingga 70 persen. Bahkan, ada pula yang terpaksa menutup usahanya dan memilih pulang ke kampung halaman.
Kebanyakan warteg yang tutup adalah warteg yang berlokasi di area-area perkantoran. Sementara warteg yang terletak di area permukiman warga sebagian besar masih bertahan. Misalnya, Warteg Putra Bahari milik Tohirin yang terletak di Kelurahan Tanjung Duren Selatan, Grogol Petamburan, Jakarta Barat.
Warteg milik Tohirin terletak di tengah-tengah perkampungan sehingga disinggahi oleh banyak warga yang sekadar ingin membeli lauk atau makan di tempat. Meski begitu, penurunan omzet tetap ia alami lantaran tak sedikit pelanggannya yang berasal dari kalangan karyawan.
”Mereka kebanyakan indekos di daerah sini. Jadi tetap saja menurun omzet saya. Pesanan dari ojek daring saja yang biasanya bisa sampai 15 sekarang hanya bisa dapat 2 pesanan,” katanya.
Meski terseak-seok akibat Covid-19, Warto dan Tohirin bertekad untuk tetap membuka warteg mereka sejauh yang mereka bisa. Jika nantinya pemerintah memberlakukan karantina wilayah untuk DKI Jakarta, keduanya bertekad untuk tetap menyediakan kebutuhan pangan warga.
Namun, Tohirin meminta kepada pemerintah untuk menjaga mobilitas bahan-bahan kebutuhan pokok yang masuk ke DKI Jakarta. Jika karantina wilayah nantinya berdampak pada sulitnya mengakses bahan kebutuhan pokok, tidak menutup kemungkinan eksistensi wartegnya juga turut terancam.
Warto yakin, warteg akan selalu menjadi pilihan bagi kalangan kelas menengah ke bawah. Terlebih, banyak pekerja informal atau karyawan yang mengalami krisis ekonomi akibat Covid-19. ”Dengan uang Rp 10.000 saja masih bisa makan di sini, di tempat makan lain mungkin sulit terjadi,” ujarnya.
Dengan uang Rp 10.000 saja masih bisa makan di sini, di tempat makan lain mungkin sulit terjadi.
Dodi Rahmadi, salah satu pengunjung di Warteg Nurul, mengatakan, warteg bisa menjadi penyelamat baginya di masa-masa kritis seperti saat ini. Pria yang bekerja sebagai pengendara ojek daring ini hampir selalu memilih warteg untuk mengisi perut di sela-sela mencari penumpang.
”Pesanan sekarang sepi banget. Ya, kita memang bisanya cuma makan di warteg. Enggak kebayang kalau warteg bakalan ikut tutup,” ujarnya.
Peran lembaga sosial
Koordinator Komunitas Warteg Nusantara (Kowantara) Mukroni mengayakan mendapat banyak keluhan dari para pemilik warteg akibat merebaknya wabah Covid-19. Dua hal utama yang dikeluhkan adalah berkurangnya pembeli dan melambungnya harga bahan-bahan kebutuhan pokok.
Salah satu cara yang ditempuh oleh Kowantara untuk mengatasi hal tersebut adalah bekerja sama dengan Lembaga Kemanusiaan Aksi Cepat Tanggap (ACT). Jika selama ini ACT cenderung turun langsung ke lapangan untuk memberikan bantuan, kini mereka melibatkan warteg.
Dengan kerja sama ini, ACT akan memberikan modal harian kepada pemilik warteg terpilih untuk menyediakan 100 makanan gratis bagi orang-orang yang terdampak Covid-19. Ditargetkan, akan ada 1.000 warteg yang turut serta dalam program yang sudah berlangsung sekitar satu pekan ini.
”Program ini tidak hanya bermanfaat bagi masyarakat prasejahtera, tapi juga menjaga eksistensi UMKM seperti warteg,” kata Direktur Global Humanity Response ACT Bambang Triyono.
Warteg milik Warto dan Tohirin menjadi dua dari lima warteg yang menjadi pelopor. Keduanya mengatakan mendapatkan modal sebanyak Rp 1,5 juta per hari untuk menyediakan 100 makanan gratis. Artinya, setiap satu porsi dihargai Rp 15.000.
Nasi gratis ini nantinya akan dibagikan kepada kelompok penerima manfaat, seperti pekerja informal yang tidak dapat mencari nafkah, karyawan yang dirumahkan tanpa upah oleh perusahaan, atau penduduk lansia. ”Di tempat kami banyak sekali orang yang kehilangan pekerjaan karena Covid-19,” kata Ketua RT 008 RW 006 Tanjung Duren Selatan.
Jimmy, misalnya, pengendara ojek daring ini menjadi salah satu penerima makanan gratis dari Warteg Nurul. Covid-19 berdampak signifikan bagi dirinya. Jika biasanya dalam sehari ia bisa mendapatkan 20 pesanan antar penumpang, kali ini ia hanya mendapatkan rata-rata 5 orang per hari.
Tohirin bersyukur, kerja sama ini dapat memberikan napas bagi para pemilik warteg yang pendapatannya nyaris lumpuh. Bahkan, tidak sedikit pemilik warteg yang mengurungkan niat untuk pulang kampung setelah mendengar program ini.
Menurut Mukroni, warteg ibarat dapur bagi warga menengah ke bawah. Pada saat lapar, mereka tinggal datang ke dapur tersebut. Untuk itu, agar eksistensinya terjaga, ia berharap semakin banyak lembaga kemanusiaan yang mau menggandeng warteg dalam kegiatan-kegiatan sosial.