Ancaman Wabah di Balik Kerusakan Daerah Aliran Sungai
Warga membutuhkan air bersih untuk menjaga kesehatan di tengah pandemi Covid-19. Sayangnya, bahan baku air bersih dari daerah aliran sungai tercemar berat.
Kerusakan lingkungan akibat kesalahan pengelolaan daerah aliran sungai bertubi-tubi dirasakan warga Bekasi, Jawa Barat. Selain banjir yang kini akrab melanda setiap musim hujan, ancaman wabah penyakit akibat tercemarnya daerah aliran sungai kian membahayakan kesehatan masyarakat.
Warga enam desa di Kecamatan Muara Gembong, Kabupaten Bekasi, yang terdampak banjir akibat luapan Sungai Citarum hilir pada 24 Februari 2020, baru meninggalkan pengungsian dan kembali ke rumah masing-masing di awal Maret 2020. Mereka terdampak banjir akibat pendangkalan muara sungai dari anak Citarum dan jebolnya tanggul penahan Sungai Citarum di beberapa titik.
Menurut Yusuf Maulana (38), salah satu warga Muara Gembong, banjir yang terjadi di daerahnya merupakan bencana kesekian kali yang bertubi-tubi dialami masyarakat Muara Gembong. Sejak tahun 2000-an, air Citarum juga tidak bisa lagi dimanfaatkan sebagai air minum karena Sungai Citarum tercemar.
”Sejak tahun 2000, air sungai itu rasanya enggak enak. Masyarakat kami terpaksa harus beli air minum,” katanya saat dihubungi dari Jakarta, Minggu (29/3/2020).
Di waktu-waktu tertentu, warga juga sering melihat kondisi air Sungai Citarum berwarna hitam dan berbau busuk akibat limbah cair. Dalam kurun waktu satu tahun, limbah itu bisa lima kali terlihat di Sungai Citarum.
Baca juga: Tanpa Tindakan Drastis, Separuh Penduduk Indonesia Berpotensi Terinfeksi Covid-19 Sebelum Lebaran
Secara keseluruhan, Bekasi dari kurun waktu Januari-Februari 2020 sedikitnya sudah tiga kali dilanda bencana banjir. Skala banjir dengan dampak cukup luas terjadi pada 24 Februari 2020. Dari data Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Bekasi, ada 22 dari 23 kecamatan di daerah itu yang terdampak banjir pada 24 Februari 2020. Banjir yang melanda kabupaten itu akibat meluapnya sejumlah sungai besar, seperti Citarum, Cikarang Bekasi Laut, dan Cilemahabang.
Jauh sebelum banjir melanda Kabupaten Bekasi, daerah itu juga menghadapi persoalan yang tak kalah pelik, yakni sampah yang memenuhi aliran sungai. Di awal Januari 2019, Kali Pisang Batu jadi sorotan media massa akibat sebagian besar aliran sungai itu dipenuhi berbagai jenis sampah plastik. Menjelang akhir Juli 2019, tumpukan sampah juga kembali memenuhi aliran Kali Busa dengan panjang tumpukan sampah sekitar 2 kilometer. Di sepanjang sempadan kali yang berada di wilayah Kelurahan Bahagia, Babelan, itu juga dipadati permukiman liar.
Persoalan sampah memenuhi aliran sungai tak berhenti di situ. Pada November 2019, sampah juga ditemukan memenuhi aliran Kali Jambe, di wilayah Tambun, sepanjang sekitar 300 meter.
Berdasarkan catatan Kompas, penyebab sungai-sungai di Bekasi masih menjadi ”tong sampah” bukan semata-mata karena minimnya kesadaran masyarakat. Sementara dari data Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Bekasi, setiap hari sampah yang dihasilkan daerah itu mencapai 2.400 ton. Dari angka itu, hanya sekitar 850 ton sampah yang dibawah ke tempat pembuangan akhir.
Menurut Kepala Bidang Sumber Daya Air Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Kabupaten Bekasi Nur Chaidir, ada banyak aliran sungai yang melintasi daerah itu yang digunakan untuk keperluan irigasi, bahan baku air minum, dan juga untuk keperluan pertanian. Upaya Dinas PUPR Kabupaten Bekasi menjaga agar aliran sungai tetap bersih dari sampah dan okupansi permukiman liar tidak mudah karena ada sungai yang kewenangan pengelolaannya merupakan tanggungjawab pemerintah pusat.
Baca juga: Kala Citarum Hilir Mengamuk di Kabupaten Bekasi
”Penanganannya harus bersinergi. Saat ini sudah ada rencana aksi untuk program penanggulangan banjir dari hulu sampai ke hilir,” katanya.
Sungai yang tercemar akibat limbah rumah tangga juga diakui Ketua Komunitas Peduli Sungai Cileungsi Cikeas Puarman. Ia mengatakan, salah satu aliran sungai yang tercemar limbah industri, yakni Sungai Cileungsi.
Warga di bantaran sungai itu kini paling terdampak karena sering kebanjiran saat musim hujan. Sementara itu di musim kemarau, mereka juga harus tiap saat menghirup aroma busuk limbah industri berwarna hitam pekat di aliran Kali Cileungsi. Air Kali Cileungsi selama ini juga digunakan sebagai bahan baku produksi air minum oleh perusahaan daerah air minum di Kota Bekasi dan Kabupaten Bekasi.
Wabah mengintai
Berbagai persoalan tercemarnya aliran sungai merupakan ancaman serius bagi kesehatan masyarakat. Salah satu ancaman yang kian nyata yakni penyebaran virus korona tipe baru (SARS-CoV-2) penyebab Covid-19.
Baca juga: Target Perbaikan Kualitas Sungai Citarum Meningkat pada Tahun Ini
Sejumlah hasil penelitian menunjukkan penularan virus korona dapat terjadi melalui kotoran manusia. Bukti ilmiah penularan melalui kotoran manusia itu dilaporkan Xiao F, Tang, M, Zheng X, Liu Y, Shan H dari Sun Yat-sen Univesity di Zhuhai, Guangdong, China, dalam Journal pada 27 Februari 2020.
Bukti ilmiah itu juga disampaikan peneliti dari Chinese University di Hong Kong melalui penelitian pada 14 tinja pasien positif Covid-19. Beberapa hasil penelitian itu menunjukkan ada jalur baru penularan, yaitu dari kotoran ke mulut, (Kompas.id, 18/3/2020).
Ketua Bidang Globalisasi Bidang Kesehatan dan Perubahan Iklim Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia Budi Haryanto, mengatakan, penularan virus korona baru yang sudah terkonfirmasi sejauh ini hanya melalui mukosa mulut, hidung, dan mata. Dengan demikian, potensi penularan Covid-19 melalui kotoran manusia belum bisa dikonfirmasi kebenarannya.
”WHO sendiri tidak pernah menyebut itu. Jadi, patokannya WHO saja,” katanya.
Baca juga: Penularan Covid-19 Dapat Melalui Kotoran Manusia
Budi menambahkan, secara umum sejumlah aliran sungai di Citarum dan Ciliwung sudah dalam kondisi tercemar berat. Hal itu tidak terlepas dari berbagai jenis industri tekstil, industri cat, dan industri elektronik yang menghasilkan limbah kimia logam berat.
”Itu semuanya sebagian besar menyebabkan kanker kalau itu terus-menerus masuk di tubuh. Tetapi sebelum jadi kanker, senyawa-senyawa kimia yang dilepas ke air dapat menyebabkan gangguan penyakit pada ginjal, sistem saraf pusat yang menyebabkan tingkat kecerdasan turun, dan bisa menyebabkan anemia,” katanya.
Pencemaran akibat limbah kimia juga dipengaruhi oleh pemanfaatan sungai untuk kebutuhan irigasi pertanian dan perkebunan. Para petani menggunakan pestisida untuk membunuh hama tanaman atau merangsang pertumbuhan tanaman. Penggunaan pestisida dan insektisida tanpa pengawasan ketat berpotensi mencemari daerah aliran sungai.
Berbagai jenis senyawa kimia yang dilepas ke air sungai memiliki potensi untuk masuk ke tubuh manusia dengan berbagai cara. Sebab, senyawa kimia itu berpotensi dimakan oleh plankton dan dimakan lagi oleh ikan, kerang, dan udang.
”Jadi, di muara itu banyak kerang, udang, dan ikan muara. Dari banyak penelitian, kandungan logam berat di kerang-kerang itu tinggi dan ketika dikonsumsi manusia berpotensi menimbulkan berbagai jenis penyakit,” kata Budi.
Baca juga: Penyediaan Air Minum dan Sanitasi untuk Perluas Akses Air Bersih di Sidoarjo
Guru Besar Kesehatan Lingkungan di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia itu menjelaskan berbagai peraturan untuk melindungi sungai dari pencemaran sudah banyak dikeluarkan pemerintah, baik itu pemerintah pusat maupun daerah. Namun, sampai saat ini masih banyak sungai yang tercemar. Situasi ini tidak terlepas dari masih banyaknya industri yang membuang secara langsung limbahnya ke sungai karena minimnya pengawasan pemerintah.
”Dari sisi sumber pencemarannya masih lolos dan selalu ada. Masyarakat kita juga masih membutuhkan sumber air yang ada,” kata Budi.
Berbagai persoalan pencemaran sungai, mulai dari limbah kimia dan limbah biologis termasuk bakteri E coli, menunjukkan kalau sebagian warga negara hidup di tengah ancaman wabah. Jika pemerintah tidak mampu menjaga daerah aliran sungai, seharusnya ada solusi lain untuk menyediakan air bersih agar bisa digunakan warga.