Menyoal Penataan Angkutan Umum dalam Upaya Melawan Pandemi
Ombudsman Jakarta Raya meminta Pemprov DKI segera melakukan evaluasi terhadap pengurangan frekuensi, waktu, dan cakupan wilayah pelayanan transjakarta, MRT, dan LRT.
Terkait penataan angkutan umum selama masa menghadapi pandemi Covid-19, pengamat sosiologi perkotaan Universitas Trisakti, Yayat Supriyatna, Senin (16/3/2020), mengatakan, kebijakan itu didorong disosialisasikan dengan sektor-sektor formal ataupun kegiatan lain di luar Pemprov DKI Jakarta, yaitu seperti pelaku-pelaku usaha, perkantoran, bisnis, pusat perbelanjaan, dan pelayanan publik yang tidak dikelola Pemprov DKI.
Kalau koordinasi dan sosialisasi itu berjalan, Yayat melanjutkan, Pemprov DKI akan memiliki pemetaan. Khususnya lagi yang terkait kebijakan bekerja dari rumah. Pemetaan akan membaca kantor-kantor atau sektor usaha atau pelayanan publik yang meliburkan karyawannya dan yang tidak. Karena itu akan menjadi bacaan supply dan demand bagi layanan angkutan umum.
Saat jam sibuk pagi hari, rute mana saja yang sangat padat atau memiliki permintaan layanan tinggi. Dengan demikian, saat ada perubahan pola layanan berupa pembatasan-pembatasan tersebut, transjakarta bisa mendetailkan koridor-koridor mana yang akan sangat terdampak sehingga transjakarta akan bisa menyesuaikan jumlah armada yang dioperasikan.
Ia mencontohkan rute koridor 13 yang ternyata menimbulkan penumpukan penumpang di halte Puri Beta. Artinya, permintaan dari pinggiran untuk ke tengah di jam sibuk pagi hari itu tinggi. Kemudian pola itu akan berubah pada sore hari. Karena saat sore, perjalanan pulang pekerja lebih fleksibel.
Untuk MRT Jakarta, Yayat juga menilai sama. MRT Jakarta seharusnya sudah memiliki pola perjalanan penumpang, stasiun mana yang paling padat. Dengan demikian, ketika ada pembatasan atau perubahan layanan, bisa diketahui perjalanan dari stasiun mana saja yang terdampak.
Analisis, kajian, serta masukan-masukan itu, lanjut Yayat, seharusnya diberikan lebih dahulu kepada Gubernur DKI sebelum memutuskan. Karena itu, akan menggambarkan implikasi hitung-hitungan secara management traffic tentang pola pelayanan publik yang berubah itu.
”Yang terjadi hari ini adalah kepanikan terhadap sistem yang belum mendukung,” kata Yayat.
Baca juga: Mencermati Kelompok Rentan Penyakit Covid-19
Yayat pun mempertanyakan dengan jam layanan yang dibatasi hingga petang saja, pukul 18.00, bagaimana masyarakat bisa kembali ke rumah karena layanan angkutan umum sudah dihentikan.
Terpisah, Ombudsman Jakarta Raya meminta Pemprov DKI segera melakukan evaluasi terhadap pengurangan frekuensi, waktu, dan cakupan wilayah pelayanan transjakarta, MRT dan LRT. ”Ombudsman menemukan antrean yang panjang di Stasiun MRT Lebak Bulus, dan beberapa halte transjakarta, seperti Ragunan, dan Puribeta 2 Ciledug,” kata Kepala Perwakilan Ombudsman Jakarta Raya Teguh P Nugroho.
Selain temuan langsung, informasi yang disampaikan masyarakat kepada Ombudsman Perwakilan Jakarta Raya juga menunjukan antrean yang panjang di banyak titik pelayan MRT dan transjakarta khususnya.
Ombudsman Perwakilan Jakarta Raya mengapreasi positif upaya-upaya yang selama ini dilakukan Pemprop DKI dalam pencegahan dan penanganan Covid-19. ”Ada banyak tindakan terukur yang sudah dilakukan oleh Pemprov DKI, mulai dari call centre 112, penyediaan anggaran yang memadai, Ingub penanganan Covid-19, modelling peta sebaran penderita Covid-19, penutupan tempat rekreasi, hingga instruksi belajar di rumah bagi para siswa,” kata Teguh.
Namun khusus untuk pengurangan frekuensi, waktu, dan cakupan wilayah pelayanan transjakarta, MRT, dan LRT, Ombudsman menilai kebutuhannya bertolak belakang dengan kebijakan tersebut.
Ombudsman Perwakilan Jakarta Raya telah melakukan melakukan sidak ke stasiun MRT, commuter line, rail link, LRT dan transjakarta, pada Kamis (12/3/2020) dan menemukan belum seluruh penyelenggara pelayaran transportasi publik menerapkan indikator pencegahan dan penanganan Covid- 19 yang baik.
Ombudsman mencatat ada delapan indikator penting pencegahan dan penanganan Covid-19 di layanan transportasi publik. Hal itu adalah pengukuran suhu tubuh, penyediaan hand sanitizer, ketersediaan fasilitas kesehatan, petugas fasilitas kesehatan, petunjuk arah yang jelas ke fasilitas kesehatan, media edukasi Covid -19, masker bagi para front liner layanan publik transportasi, dan SOP penanganan.
Ombudsman menilai saat ini beberapa penyedia pelayanan tersebut telah memperbaiki layanannya, tetapi tetap ada kebutuhan untuk perbaikan pelayanan. ”MRT, misalnya, sewaktu kami sidak masih ada beberapa stasiun yang tidak terlalu ketat melakukan pengukuran suhu tubuh, kadang dilakukan kadang tidak,” kata Teguh lagi.
Senin kemarin, dengan pengurangan frekuensi dan waktu pelayanan di MRT, lanjut Teguh, warga menumpuk di satu tempat dan satu waktu pada saat pengetatan pemeriksaan suhu tubuh dilakukan. Yang terjadi kemudian antrean penumpang menjadi lebih panjang. Penumpukan penumpang tersebut malah meningkatkan risiko penularan Covid-19 di tempat umum, tidak seperti mitigasi kebencanaan seperti yang diharapkan Pemprov DKI.
Menurut Ombudsman, kebutuhan penambahan jumlah armada, frekuensi, dan cakupan wilayah justru lebih besar lagi di transjakarta. ”Berdasarkan temuan kami sewaktu sidak hari Kamis lalu, transjakarta bersama rail link (kereta bandara) yang paling tidak siap dengan pengelolaan penyebaran virus Covid-19 di fasilitas mereka,” kata Teguh.
Ombudsman meminta Pemprov DKI memberikan bantuan kepada transjakarta, baik dari sisi anggaran maupun personel, agar mereka bisa memiliki alat pengukur suhu tubuh di setiap halte berikut petugasnya, fasilitas kesehatan, dan SOP penangananan Covid 19.
”Saat ini hanya transjakarta yang belum melakukan pengukuran suhu tubuh sejak sidak terakhir kami. Rail link sudah langsung melakukan perbaikan standar penanganan, begitu juga commuter line telah melakukan pengukuran suhu tubuh di 12 stasiun mereka,” kata Teguh.
Jadi jika transjakarta ingin memperbaiki standar pencegahan mereka, termasuk pengukuran suhu tubuh, bukan pengurangan frekuensi, waktu, dan cakupan yang dibutuhkan, tetapi justru penambahan frekuensi, waktu, dan cakupan layanan transjakarta.
”Jika dikurangi yang terjadi penumpukan, bukan penguraian karena akan ada penambahan kebutuhan waktu bagi Trans Jakarta untuk melakukan pengukuran suhu tubuh bagi para penumpang,” lanjut Teguh lagi.
Baca juga: Satu Warga Tangsel Positif Covid-19 Meninggal
Untuk itu Ombudsman Perwakilan Jakarta Raya meminta Pemprov DKI segera melakukan evaluasi atas kebijakan pengurangan frekuensi, waktu, dan cakupan wilayah pelayanan transjakarta, MRT, dan LRT tersebut agar penumpukan penumpang yang memperbesar risiko penularan Covid- 19 tidak terjadi.
”Pengurangan mungkin bisa dilakukan secara bertahap nanti setelah imbauan Presiden terkait bekerja, belajar, dan beribadah di rumah telah dilaksanakan oleh banyak instansi, dan karena imbauan itu disampaikan hari libur kemungkinan besar mereka baru bisa memutuskannya di hari kerja,” kata Teguh.
Muhamad Kamaluddin Kepala Divisi Sekretaris Perusahaan PT MRT Jakarta menjelaskan, pembatasan operasional MRT Jakarta itu sejalan dengan koordinasi dengan pemerintah sebelumnya untuk membatasi pergerakan di perkotaan.
Pemerintah sebelumnya telah mengimbau warga agar bekerja di rumah, belajar di rumah, dan beribadah di rumah. Oleh karena itu, MRT Jakarta sebagaimana arahan pemerintah untuk angkutan umum di Jakarta sebetulnya difokuskan hanya khusus untuk pekerja yang masih perlu menangani penanganan Covid-19, seperti pekerja medis dan pelayanan publik, yang memang tidak bisa dikerjakan dari rumah.
”Layanan angkutan umum pada hari ini bukan ditujukan untuk mobilitas pekerja normal ke kantor, yang sudah diimbau untuk bekerja dari rumah,” jelasnya.
Untuk itu MRT Jakarta tengah mengevaluasi antrean calon penumpang memasuki 4 stasiun MRT pada Senin pagi hari kemarin, yaitu di stasiun Lebak Bulus, stasiun Fatmawati, stasiun Cipete Raya dan stasiun Dukuh Atas BNI. Sementara ini antrean di 9 stasiun MRT lainnya masih normal.
Adapun social distancing di dalam stasiun dan di dalam kereta juga sudah berjalan. ”Hasil evaluasi tersebut akan kami review bersama pemerintah dalam waktu dekat,” kata Kamaluddin.
Adapun Nadia Diposanjoyo, Kepala Divisi Sekretaris Korporasi dan Humas PT Transportasi Jakarta, menyatakan, dengan perubahan pola layanan di mana transjakarta dalam dua pekan ini hanya akan melayani 13 koridor BRT saja dari sebelummya melayani total 248 rute yang didalamnya ada rute BRT dan nonBRT, ada 290 unit bus yang dioperasikan
Nadia meminta pengertian masyarakat akan pembatasan operasional yang bertujuan menangkal dan mencegah persebaran virus korona.
Yayat melanjutkan, apabila Pemprov DKI membatasi layanan dalam rangka mengatur jarak sosial, maka harus dipastikan penumpang pengguna angkutan umum sudah memenuhi syarat perlindungan, misalnya mengenakan masker dan sarung tangan saat di angkutan publik.
Baca juga: Sejak Senin, Wali Kota Bogor Berstatus ODP Covid-19