Kolaborasi Antardaerah Dibutuhkan untuk Selesaikan Kemacetan Jakarta
Kemacetan di Jakarta tidak semata-mata karena faktor di wilayah Ibu Kota saja. Namun, persoalan ini juga menyangkut arus lalu lintas yang ada di wilayah penyangga.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO/AYU PRATIWI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penyelesaian kemacetan di Jakarta membutuhkan dukungan kebijakan dari pemerintah daerah lain, seperti Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Pemerintah DKI juga harus mempercepat penerapan kebijakan-kebijakan yang bisa menekan jumlah kendaraan pribadi yang memadati jalan-jalan di Ibu Kota.
Kepala Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) Polana B Pramesti memandang daerah penyangga turut menyumbang pergerakan masyarakat di Ibu Kota. Dalam satu hari, BPTJ mencatat ada 88 juta pergerakan masyarakat di kawasan Jabodetabek. Angka ini meningkat sangat signifikan dibandingkan pada 2015 yang hanya 47,5 juta pergerakan masyarakat.
”Jadi, jangan hanya terpaku penyelesaian kemacetan di Jakarta saja, tetapi juga wilayah aglomerasi di sekitarnya. Wilayah penyangga itu harus sama-sama berupaya untuk mengurangi kemacetan dengan mengurangi penggunaan kendaraan pribadi,” ujar Polana di Jakarta, Jumat (31/1/2020).
Pada Juli 2018, melalui Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2018 tentang Rencana Induk Transportasi Jabodetabek (RITJ), sebenarnya kolaborasi penanganan transportasi perkotaan di wilayah Jabodetabek telah dimulai.
Ada delapan pemerintah kota/kabupaten dan tiga pemerintah provinsi yang turut menyusun RITJ. Pemerintah kota/kabupaten itu meliputi Kota Bekasi, Kabupaten Bekasi, Kota Tangerang, Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang Selatan, Kota Depok, Kota Bogor, dan Kabupaten Bogor. Sementara pemerintah provinsi meliputi DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten.
Rekomendasi
Polana menyampaikan, saat itu, BPTJ telah merekomendasikan sejumlah kebijakan yang melibatkan pemerintah kawasan Jabodetabek. Salah satunya, penerapan sistem ganjil genap di jalan tol yang menuju Jakarta, seperti Jalan Tol Jagorawi (Jakarta-Bogor-Ciawi) dan Jalan Tol Lingkar Luar Jakarta. Namun, kebijakan itu belum terimplementasi hingga sekarang.
”Padahal, itu bisa sangat signifikan mengurangi kendaraan pribadi. Tetapi, satu yang kami sarankan, di pintu-pintu tol harus didukung dengan integrasi bus-bus massal yang (kelas) premium. Sebab, pengguna tol, kan, rata-rata pengguna kendaraan pribadi yang memang mau bayar lebih untuk bisa sampai ke tempat tujuan,” tutur Polana.
Selain masalah kendaraan pribadi, menurut Polana, pembangunan infrastruktur transportasi massal juga harus dipercepat. Hal itu juga harus dibarengi dengan pengintegrasian antarmoda dan sistem pembayaran. Dengan begitu, masyarakat pengguna kendaraan pribadi di Jabodetabek mau beralih ke kendaraan umum.
Pemerintah DKI, lanjut Polana, juga harus mempercepat penerapan kebijakan-kebijakan yang bisa menekan jumlah kendaraan pribadi yang memadati jalan-jalan di Ibu Kota. Misalnya, penerapan sistem jalan berbayar (electronic road pricing/ERP) serta peningkatan tarif pajak kendaraan dan parkir. ”Jadi, nanti policy yang disarankan oleh BPTJ itu nanti ada push policy. Itu diharapkan bisa membatasi penggunaan kendaraan pribadi,” ujarnya.
Masalah kemacetan di Jakarta ini muncul lagi setelah TomTom Traffic Index 2019 menempatkan Jakarta di posisi ke-10 kota termacet di dunia. Jakarta naik tiga peringkat dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Kenaikan bukan didasari penguraian kemacetan, tetapi adanya penambahan kota yang disurvei TomTom.
Pelanggaran
Di Jalan RS Fatmawati Raya, Jakarta Selatan, tingkat kepatuhan masyarakat terhadap penerapan sistem ganjil genap masih kurang. Seorang petugas dari Direktorat Lalu Lintas Polda Metro Jaya di lapangan mengungkapkan, rata-rata jumlah kendaraan yang ditilang karena tidak mematuhi aturan ganjil genap masih saja mencapai puluhan sehari.
”Alasannya macam-macam. Biasanya lupa tanggal. Kendaraan dengan pelat nomor Jakarta rata-rata sudah tahu ada ganjil genap di sini. Yang pelat nomor daerah biasanya yang kurang tahu,” tutur petugas itu.
Dari pantauan Kompas di sepanjang Jalan Fatmawati pada Jumat pukul 17.00, lalu lintas kendaraan relatif lancar dan kecepatannya bisa lebih dari 40 kilometer per jam. Meskipun demikian, jalan tetap macet ketika berada di sekitar persimpangan.
Kemacetan paling panjang terpantau di sekitar perempatan Jalan Fatmawati-Jalan TB Simatupang, Jalan Fatmawati-Jalan Cipete Raya, serta Jalan Fatmawati-Jalan Haji Nawi Raya. Panjang kemacetan itu kurang dari 1 kilometer.
Parkir ganjil genap
Sementara itu, Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Syafrin Liputo menuturkan, pihaknya telah mengevaluasi penerapan ganjil genap yang mulai berlaku 9 September 2019. Dari hasil evaluasi, didapati terjadi penumpukan kendaraan di kawasan Jalan Gajah Mada dan Jalan Hayam Wuruk, Jakarta Barat.
”Begitu evaluasi, ternyata ada pelanggaran dan ada penumpukan kendaraan di dua jalan itu. Untuk membuat semuanya smooth, maka akan ditata sehingga tak terjadi lagi pelanggaran yang menyebabkan bottle-neck di kawasan Gajah Mada dan Hayam Wuruk,” kata Syafrin.
Yang dimaksud penataan di sini, lanjut Syafrin, adalah Pemprov DKI juga mulai menerapkan sistem ganjil genap di lokasi parkir on street di sepanjang Jalan Gajah Mada dan Jalan Hayam Wuruk.
Berdasarkan catatan Dinas Perhubungan DKI, di sepanjang Jalan Gajah Mada ada enam lokasi parkir, sedangkan di Jalan Hayam Wuruk ada empat lokasi parkir. ”Karena parkirnya di jam ganjil genap, otomatis yang boleh parkir di situ hanya kendaraan sesuai tanggal ganjil genap,” ucap Syafrin.
Adapun sanksi bagi pelanggar diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009. Jenis sanksi beragam, mulai dari hukuman pidana kurungan maksimal 2 bulan hingga denda maksimal Rp 500.000.
Dinas Perhubungan DKI akan menderek kendaraan bermotor yang parkir tidak sesuai tanggal ganjil genap di kedua jalur tersebut. Kendaraan akan didenda Rp 500.000 per hari untuk roda empat. ”Kalau melanggar, dinas perhubungan pastikan kendaraan itu akan diderek,” ujar Syafrin.