Memilih Gubernur DKI, Antara 1977 dan 2017
Awal tahun 1977. Suhu politik di Jakarta menghangat. Ali Sadikin memasuki bulan-bulan terakhir kekuasaannya sebagai Gubernur DKI Jakarta. Pemilihan umum untuk menentukan presiden juga akan berlangsung di tahun yang sama. Bang Ali, yang di tahun itu genap berusia setengah abad tetap semangat bekerja memimpin ibu kota seperti rutinitasnya selama 11 tahun terakhir. Tegas, ceplas-ceplos, dan terus menelurkan kebijakan untuk membenahi kota yang tepat berusia 450 tahun pada 22 Juni 1977.
Kepemimpinan Ali melewati masa pemerintahan Presiden Soekarno dan Soeharto. Sifat dan sikap Ali muda menarik perhatian Soekarno. Presiden pertama Republik Indonesia tersebut di menjelang masa jabatannya berakhir, menyatakan Jakarta butuh pemimpin seperti Ali. Dalam sebuah tulisan tentang Ali dan ulang tahun Jakarta, Kompas, Rabu 22 Juni 1977, ada cuplikan komentar Soekarno saat melantik marinir TNI AL berpangkat letnan jenderal tersebut menjadi Gubernur DKI Jakarta pada 28 April 1966 :
Dari salah satu Tajuk Rencana Kompas di awal tahun 1977, ada yang menarik menyoal pemimpin Jakarta :
Ketegasan sekaligus kecerdasan Ali dalam memimpin bisa jadi dibutuhkan tidak hanya karena area metropolitan ini begitu luas dan penduduknya beragam, juga karena kedudukan pentingnya sebagai ibu kota negara. Situasi Indonesia saat itu, termasuk Jakarta, belum lagi pulih paska peristiwa Gerakan 30 September. Negara sedang kacau, krisis kepemimpinan dan peristiwa tragis terjadi di seluruh penjuru Nusantara. Ibu kota republik yang terkendali, aman, dan pembangunan bergulir amat mungkin diyakini bisa kembali membawa perjalanan negeri ini ke arah yang benar.
Saat Soeharto akhirnya menjadi presiden pada 12 Maret 1967, Ali tetap dipercaya mengelola DKI dan terus melenggang hingga satu dekade kemudian.
Bang Ali tancap gas membangun Jakarta. Dalam salah satu testimoninya yang dimuat koran ini pada Kamis, 10 Maret 1977, ia mengatakan bahwa pembangunan yang dilaksanakan selama 11 tahun kepemimpinannya di Jakarta hanyalah upaya mengejar ketertinggalan 40 tahun.
Gubernur yang saat pertama dilantik baru berusia 39 tahun itu lalu melebarkan jalan-jalan ibu kota, menata dan merenovasi gedung perkantoran milik DKI serta memperbaiki pelayanan publik, dan yang paling tersohor adalah program Muhammad Husni Thamrin (MHT) atau perbaikan kampung. Pendapatan DKI yang pada tahun 1966 hanya Rp 22 juta, pada 1976 melonjak hingga Rp 73 miliar.
Tokoh ini sangat kontroversial. Menyimak pemberitaan terkait Ali sepanjang masa kepemimpinannya hingga setelah 1977, diketahui bahwa ia dikenal suka menggusur hunian yang dinilai liar. Ia juga pernah menetapkan Jakarta sebagai “kota tertutup”. Yang datang ke Jakarta tanpa memiliki jaminan pekerjaan layak, tanpa surat-surat administrasi kependudukan resmi, harus siap diusir kembali ke kampung halamannya. Ia ingin memberi lokasi khusus bagi pekerja seks komersial dan perjudian, juga memerhatikan kaum transgender. Ali juga dikenal amat membuka diri bagi pemodal besar yang hendak berinvestasi di ibu kota.
Namun, apakah Jakarta menjadi sedemikian berubah, semua masalah terselesaikan di masa Ali? Jelas tidak. Banjir adalah masalah yang nyaris tak tersentuh oleh mantan marinir itu. Transportasi publik pun baru mulai pembenahan bus. Program MHT yang dibanggakan ternyata menuai masalah bahkan tak berala lama setelah digulirkan. Dalam artikel Kompas, Rabu 22 Juli 1997, ada penjelasan tentang Jakarta dan Ali Sadikin sebagai berikut :
Namun, harian ini berpendapat, dengan semua plus minusnya hasil kerja Ali Sadikin, laki-laki itu pantas mendapat pujian atas segala jerih payahnya. Ada perubahan-perubahan besar dan mendasar menuju kondisi lebih baik bagi Jakarta saat ia berkuasa. Tidak heran jika di awal 1977 itu, secara umum tersirat ada kekhawatiran tentang pengganti Ali. Padahal, lengsernya Ali adalah keniscayaan.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tepatnya di pasal 17 dijelaskan bahwa seorang kepala daerah maksimal hanya bisa dua kali berturut-turut dipilih dan melaksanakan jabatannya. Setelah itu, kepala daerah yang bersangkutan tidak bisa dipilih kembali untuk ketiga kalinya. Dengan sifat dan sikapnya serta kinerjanya yang oleh banyak kalangan dinilai luar biasa di luar sejumlah kekurangannya, bisakah pengganti Ali meneruskan kinerja baik itu? Analisa yang tepat dilontarkan Tajuk Rencana Kompas kala itu terkait bagaimana seharusnya pembangunan di Jakarta harus dilanjutkan, yaitu :
Jakarta kini
Di awal 2017, ketegangan, kekhawatiran yang berat dirasakan empat dekade silam rasanya kembali menjalari warga Jakarta. Pemilihan kepala daerah secara langsung akan berlangsung pada Rabu, 15 Februari, minggu depan. Banyak pengamat menyebutkan, pilkada DKI ini adalah pilkada rasa pemilihan presiden. Di antara para calon gubernur ada yang dikabarkan kelak akan melaju di pilpres 2019. Partai politik juga para tokoh besar pendukung tiap pasangan calon gubernur-wakil gubernur pun juga menyimpan ambisis besar untuk pilpres 2019.
Di luar gonjang-ganjing politik tersebut, Batavia di era modern ini masih saja berkutat dengan problema yang tak jauh beda dengan yang disebutkan di tajuk rencana Kompas tahun 1977 di kutipan di atas. Namun, diakui dalam empat tahun terakhir sejak duet Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama merebut kursi pimpinan DKI, ada harapan besar akan ada kemajuan signifikan di kota ini.
Benar saja, beberapa program seperti penataan kampung padat dan di bantaran sungai yang nyaris berhenti paska masa Ali kembali bergulir dengan format berbeda. Pengadaan taman-taman kota makin cepat pertumbuhannya. Yang paling terasa adalah pelayanan publik, yaitu di tingkat kelurahan hingga kota yang cepat dan “bersih”. Rumah sakit diperbanyak dengan meningkatkan kualitas dan kuantitas, antara lain, meningkatkan status puskesmas tingkat kecamatan menjadi RSUD tipe D. Kinerja birokrat terukur dan ada target khusus diiringi peningkatan pendapatan bagi PNS yang dinilai bakal setimpal dengan beban kerjanya.
Program penanggulangan banjir, kerjasama DKI dan pemerintah pusat, dipercepat dengan “normalisasi” sungai yang diterjemahkan dengan melebarkan, mengeruk, dan membeton sisi-sisi kali. Sebagian kampung padat yang mengokupasi bantaran kali dan waduk digusur. Warga terdampak penertiban yang memiliki KTP DKI mendapat jatah unit rumah susun sederhana sewa. Yang ber-KTP luar daerah dipulangkan ke kampung halamannya atau pindah ke tempat lain di DKI dengan biaya sendiri.
Penataan angkutan publik cukup radikal dilakukan. Penambahan armada angkutan massal berbasis bus, Transjakarta, terus dilakukan. Jaringan bus yang sebagian besar berjalur khusus ini pun diperluas jangkauannya dengan adanya bus-bus pengumpan. Dengan Rp 3.500 per orang, bisa keliling Jakarta dengan bus berpendingin ruangan lagi bersih serta bebas dari perilaku kasar sopir maupun kenek angkutan reguler pada umumnya.
Jika mau merinci, ada sejumlah hal lain yang bisa diklaim sebagai hasil kinerja Jokowi-Basuki. Akan tetapi, bagaimana dengan sisi negatifnya?
Kalau mau membandingkan dan menimbang dengan era Ali Sadikin, apa yang terjadi sepanjang 4 tahun terakhir sebenarnya baru sekedar membenahi program yang sudah lebih dulu ada dan mengejar banyak ketertinggalan selama beberapa dekade terakhir. Lihat saja program normalisasi kali besutan pusat-DKI yang sudah digadang-gadang sejak masa kepemimpinan Gubernur Fauzi Bowo. Program itu pun sebenarnya sudah digagas sejak bertahun-tahun sebelumnya.
Penataan angkutan umum, khususnya bus, sudah dicanangkan sejak masa Ali. Juga masalah ruang terbuka hijau dan pelayanan publik. Ketersediaan luas jalan saat ini masih jauh di bawah kebutuhan, apalagi pertumbuhan kendaraan bermotor begitu tinggi. Sekali lagi, setelah 40 tahun berlalu dan Ali sudah kembali ke pelukan-Nya, Jakarta masih saja harus mengejar ketertinggalan.
Di sisi lain, cap kinerja buruk masih menghinggapi Jokowi pun Basuki. Terlebih saat tampuk kursi gubernur jatuh ke Basuki setelah Jokowi menjadi presiden RI. Masalah reklamasi yang terus berbelit tidak jelas duduk soalnya. Proyek di Teluk Jakarta ini disinyalir terus berlangsung, mencoba bersiasat dengan aturan-aturan yang berlaku. Padahal, gugatan warga masih berjalan bahkan perintah penghentian sebagian proyek pun telah dititahkan pengadilan dan pemerintah pusat.
Penggusuran atas nama penertiban kota ternyata tidak semulus yang dijanjikan. Pengerahan aparat serta minimnya dialog, memicu perlawanan cukup masif di beberapa kawasan. Pernyataan Basuki bahwa ia melakukan semua itu demi kesejahteraan rakyat, khususnya rakyat kecil dipertanyakan. Kasus hukum bergulir, termasuk gugatan warga melawan kebijakan pemerintah terkait penataan Ciliwung, juga masih berjalan. Basuki pun dinilai terlalu dekat dengan pengembang besar.
Semua masalah itu berkelindan menjerat Gubernur non aktif Basuki dan makin menjadi ketika pemimpin yang biasa marah-marah, ceplas-ceplos, dan disebut banyak mengambil keputusan penuh kontroversi ini menjadi terdakwa dalam kasus penodaan agama. Eskalasi semua masalah itu memang naik menjelang pilkada digelar. Ditambah munculnya serangkaian isu baik hoax maupun riil mulai dari pengungkapan kasus korupsi hingga skandal berbagai tokoh nasional lain nan berpengaruh di negeri ini. “Suhu” hangat itu kini meningkat kian memanas.
Sebagian warga berharap Basuki yang dianggap mirip Ali bisa terpilih kembali dan meneruskan semua program kerjanya yang dinilai baik. Akan tetapi, sebagian orang lain bertekad mengakhiri sepak terjang Basuki yang dinilai bermasalah dengan menempatkan gubernur terpilih baru.
Kekhawatiran muncul di kedua kubu, perang antar pihak yang berlawanan di media sosial sudah jadi hal jamak. Saling menjelekkan dengan mengumbar berbagai kabar buruk masing-masing calon pemimpin jadi makanan sehari-hari di pelbagai media massa dan media sosial. Pertemanan di dunia nyata banyak putus karena pertikaian di dunia maya yang berlanjut ke kehidupan sehari-hari. Mau tidak mau, seluruh lapisan masyarakat terdampak. Warga kota metropolitan ini, bahkan negeri ini merasakan ada ketidaknyamanan. Perekonomian masyarakat yang masih naik turun, harga kebutuhan pokok tinggi, turut memperkeruh suasana.
Imbauan Ali
Kisruh politik, penuh permainan yang mengorbankan rakyat bukan hal baru di Indonesia. Hampir dalam setiap pesta demokrasi, baik pemilihan presiden, wakil rakyat, hingga kepala daerah pun sejak empat dekade silam selalu ramai. Di tahun 1977 itu, rupanya kegalauan dirasakan jua oleh Bang Ali. Ia melotot marah ketika ada pihak-pihak mempertanyakan petisi dari dua pemuda yang menginginkannya mencalonkan diri menjadi presiden. Bagi Ali, petisi dari dua pemuda, salah satu diantaranya adalah Dipo Alam, adalah perwujudan negara demokrasi. Tidak selayaknya mengemukan pendapat dengan cara yang baik seperti itu dipermasalahkan, dipolitisir.
Meskipun kemajuan teknologi belum seperti sekarang, Ali mencium peran media massa yang jika tidak bisa mempertahankan keobyektifannya dan mengingkari diri sebagai penyambung lidah rakyat, bisa memperkeruh situasi. Jadi ia naik pitam, berang ketika media massa di masa itu memperkeruh situasi dengan berita-berita bombastis pemicu keresahan publik. Tanpa tedeng aling-aling, Ali menghardik media massa penyebar “racun”. Secara terbuka, Ali mengkritik insan pers yang antara lain tertuang dalam laporan jurnalistik Kompas pada awal 1977. Ia pun berjanji mewujudkan pemilihan umum yang aman dan damai di Jakarta pada pertengahan tahun 1977. Muncullah istilah “wasit adil”, sebutan yang ditujukan bagi Ali.
Ali pun pedas mengkritik partai politik yang turut bermain membuat publik makin tak tenang dengan pernyataan-pernyataan yang tak pantas. Ketegasan dan dasar yang benar dari sikapnya membuat Ali disegani oleh pihak-pihak yang dikritiknya. Mereka pun menerima kritik dan saran tersebut dengan lapang dada.
Pemilu di 1977 pada akhirnya berlangsung lancar di Jakarta sesuai janji Ali. Presiden Soeharto terpilih kembali. Setelah meneruskan memimpin Jakarta sebagai “care taker” hingga pertengahan 1977 selepas merayakan HUT Jakarta ke 450 yang meriah, Ali legowo melepas kursi gubernur yang lalu jatuh ke Letjen Tjokropranolo. Ali melepaskan energi dan hasratnya membenahi hal yang dinilainya tak baik di PSSI.
Menjelang melepas jabatannya, Ali yakin bahwa penerusnya tak kalah cakap dan bahkan mungkin lebih baik dari dirinya. Ia dengan percaya diri menyatakan bahwa 11 tahun berkiprah di Jakarta telah banyak melakukan hal baik khususnya pembenahan internal di pemerintahan DKI. Penerusnya seharusnya bisa lebih banyak berbuat untuk eksternal, yaitu soal banjir, permukiman, juga penyerapan tenaga kerja.
Dalam salah satu artikel Kompas pada tahun 1977, ada penilaian dari beberapa ahli terkait Ali. Simak juga petikan sikap Ali terhadap para stafnya yang patut dicontoh calon pemimpin masa kini.
Bagi pemimpin Jakarta juga para calon penerusnya, ada ringkasan ringan namun mengena tentang ibu kota yang diramu koran ini pada tahun 1977 menjelang Ali lengser dan masih cukup mengena sampai sekarang :
Ali Sadikin membuktikan bahwa pemimpin muda dengan visi, misi, dan program kerja yang jelas arah dan tujuannya bisa berhasil. Segala kekurangan adalah manusiawi, menjadi catatan kritis untuk selanjutnya diperbaiki. Bermain-main di tengah kekacauan yang sengaja diciptakan agar target politik licik nan korup tercapai, bukan hal yang dicontohkan Ali.
Sepanjang sepekan ke depan, kampanye tiga pasangan calon pemimpin Jakarta dipastikan akan makin gencar. Jika masa kampanye resmi diakhiri Komisi Pemilihan Umum DKI Jakarta per Sabtu, 11 Februari nanti, tetapi perang yang juga meneruskan “jualan” menjaring sebanyak mungkin simpatisan yang diharapkan jadi pemilih dan mengantarkan mereka menjadi “pemenang” dipastikan akan terus berlangsung di media sosial.
Ada baiknya tak ikut arus keramaian dan dengan kepala dingin menyimak. Memelajari rantai panjang perjalanan Jakarta yang telah berusia nyaris lima abad, sebelum mencoblos pada 15 Februari 2017, akan menambah kecukupan bekal untuk menentukan pilihan.
Mengingkari apa kata hati akan berbuntut penyesalan. Terlebih jika ingkar itu dikarenakan salah menyimak informasi. Sekali lagi, mengutip apa yang pernah ditegaskan koran ini, “Semua masalah dan tantangan itu memperkuat kesimpulan bahwa yang menjadi persoalan bukanlah gubernur dari mana, partai atau bukan, melainkan gubernur yang bagaimana!”
(NELI TRIANA)