Ganjar versus Politik ”Post-Truth” di Media
Politik “post-truth” yang ditampilkan di media daring dan media sosial menjadi lawan Ganjar Pranowo yang sesungguhnya. Berkaitan dengan itulah, Litbang "Kompas" mencoba menganalisis soal Ganjar di media dalam sepekan.
Terlepas dari fakta maju atau tidaknya Ganjar Pranowo dalam Pemilu 2024, sosoknya termasuk yang terbanyak dipilih publik berdasarkan Survei Kepemimpinan Nasional per Januari 2022. Namun, dia terpapar fenomena ”post-truth”.
Hasil Survei Kepemimpinan Nasional yang dilakukan Litbang Kompas pada 17-30 Januari 2022 menunjukkan bahwa nama Ganjar Pranowo bertengger di posisi kedua tertinggi untuk pilihan calon presiden pada Pemilu 2024.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Sosok Ganjar dipilih oleh 19,3 persen responden, sedangkan di posisi pertama dihuni oleh Prabowo Subianto dengan total 24,2 persen responden. Tokoh ketiga yang juga difavoritkan publik ialah Anies Baswedan yang memperoleh suara 13,9 persen responden.
Survei Kompas juga menangkap akseptasi atau penerimaan dan resistensi atau penolakan publik terhadap setiap tokoh jika mencalonkan diri sebagai capres. Dari segi akseptasi, Ganjar dan Prabowo berada di level yang sama, yakni mendapat penerimaan dari 13,9 persen responden. Namun, dari segi resistensi, Prabowo lebih banyak mendapat penolakan dari responden (4,6 persen) dibandingkan Ganjar (0,5 persen).
Meski begitu, hasil berbeda didapat dalam pantauan media daring. Melalui aplikasi Talkwalker, Litbang Kompas coba menangkap fenomena di media massa daring dan media sosial mengenai sosok Ganjar. Pantauan dilakukan dengan melihat konten, percakapan, atau interaksi pengguna media sosial dan pemberitaan media daring selama tujuh hari (9-15 Februari 2022).
Hasilnya, terdapat 96.300 perbincangan warganet dari berbagai platform media daring terkait ”Ganjar”. Perbincangan tersebut menghasilkan 450.000 interaksi di antara para pengguna media sosial. Lainnya, kata ”Ganjar” dalam tujuh hari memiliki potensi jangkauan kepada jutaan pengguna dari sebaran konten dari sesama pengguna dan konten di media massa daring.
Ketika dibuat perbandingan dengan kata ”Prabowo” dan ”Anies” dalam periode waktu yang sama, kata ”Ganjar” lebih banyak mendapat sentimen negatif dari warganet. Ganjar mendapat sentimen negatif sebesar 37 persen. Jumlah itu terpaut cukup jauh dibandingkan Anies yang mendapat sentimen negatif 19,1 persen dan Prabowo sebesar 9,6 persen.
Perbandingan sentimen positif, netral, dan negatif ini dihitung secara persentase berdasarkan jumlah kata yang ditemukan dalam media massa daring dan media sosial. Di balik perhitungan di atas, Ganjar memang lebih banyak dibahas dan populer di media daring dan sosial, tetapi juga lebih banyak memiliki sentimen negatif.
Kembali ke soal Ganjar, ditemukan dua kali puncak percakapan warganet seputar dirinya. Puncak pertama ditemukan pada 9 Februari 2022 antara pukul 14.00 dan pukul 15.00 WIB dengan total 2.800 perbincangan antar-pengguna media sosial. Penyebab terjadinya kenaikan percakapan pada saat itu ialah pembahasan warganet terkait isu konflik di Desa Wadas yang terjadi sehari sebelumnya. Selanjutnya, puncak kedua terjadi pada 15 Februari 2022 pada rentang pukul 12.00-13.00 WIB.
Perlu dipahami, sentimen negatif yang besar masih dipicu oleh isu konflik di Desa Wadas, terutama terkait konflik warga dengan aparat. Sentimen negatif di media sosial ini nyatanya dengan cepat ditangkap para simpatisan Ganjar, terutama Sahabat Ganjar dan Gantari.
Keduanya terlihat semakin aktif di media sosial dengan mengunggah konten (teks atau visual) terkait hasil kinerja Ganjar selama ini sebagai Gubernur Jawa Tengah, aktivitas Ganjar di lapangan, atau kampanye dukungan lainnya. Hal ini terbukti dari dua tagar terbanyak yang ditemukan, #SahabatGanjar dan #GantariUntukGanjar.
Maju capres?
Temuan menarik lainnya yang dapat dilihat ialah persoalan sentimen atau citra negatif di media yang dikaitkan dengan elektabilitas Ganjar untuk maju dalam Pemilu Presiden 2024. Persoalan konflik di Desa Wadas dan Pemilu 2024 menjadi top isu yang diangkat di media sosial. Hal ini terlihat dari lima percakapan teratas soal Ganjar yang membahas mengenai Ganjar di Pemilu 2024 dan isu Wadas.
Percakapan teratas dipersembahkan oleh konten Tirto.id yang menganalisis bahwa konflik agraria tidak akan menghalangi Ganjar untuk maju di Pemilu 2024 dengan melihat elektabilitas Ganjar dari sejumlah survei lembaga, konflik di Pegunungan Kendeng pada 2011, serta perolehan suara Ganjar di Pilkada 2018.
Konten yang ditulis oleh Felix Nathaniel tersebut rupanya juga menjadikan dirinya sebagai pemengaruh (influencer) terpopuler terkait Ganjar. Di urutan kedua top influencer ada Rocky Gerung dengan konten video di Youtube yang diputar lebih dari 298.000 kali.
Di sana, ia berbincang dengan Hersubeno Arief soal isu di Desa Wadas dan kritik terhadap Ganjar yang kental nuansa politisnya. Rocky Gerung selama ini berdiri di pihak oposisi Ganjar, terlihat dari postingan di berbagai kanal media sosial. Lantas, bagaimana antara Ganjar dan PDI-P?
Uniknya, selama tujuh hari pantauan tersebut, dari 60 kata kunci terkait Ganjar, tidak ada satu pun kata ”PDIP”, ”PDI-P”, atau ”Puan”. Namun, dalam kategori 100 tagar terpopuler, ada tiga tagar terkait PDI-P yang ditemukan, yakni #PDI-Perjuangan, #PuanMaharani, dan #SaatnyaBenamkanPDIP.
Bisa jadi, ada benarnya analisis yang dituliskan Felix Nathaniel soal konflik agraria di Jawa Tengah yang kecil memengaruhi elektabilitas Ganjar. Akan tetapi, kebenaran tersebut juga masih bergantung pada keputusan PDI-P dan Ganjar untuk menghadapi Pemilu 2024. Saat ini, kubu PDI-P tentu masih memiliki waktu untuk menimbang dari hasil survei ataupun pantauan media massa dan media sosial terkait sosok yang memiliki peluang besar dipilih oleh masyarakat.
Politik ”post-truth”
Bicara soal Pemilu 2024, tidak dapat dimungkiri bahwa rivalitas antartokoh politik mulai memanas pada 2022. Berbagai analisis dari pakar dan media massa turut menjadi ”kayu bakar” untuk selalu menghangatkan isu, belum lagi serangan dari bot dan para pendengung di media sosial.
Meski begitu, politik post- truth masih menjadi persoalan pelik dalam iklim demokrasi yang akan dihadapi pada Pemilu 2024. Singkatnya, politik post-truth kerap diidentikkan dengan era tersebarnya berita palsu, provokasi, propaganda, hoaks, dan sebagainya yang kebenarannya belum dapat dipertanggungjawabkan.
Situasi inilah yang dapat dilihat terkait Ganjar di media massa daring dan media sosial. Sentimen negatif terhadap Ganjar sebelum isu Wadas biasanya diisi oleh kubu oposisi dengan membahas soal pencitraan yang ia lakukan dalam menjalankan tugas sebagai Gubernur Jateng. Ketika isu konflik Desa Wadas ini muncul, dengan segera kubu oposisi Ganjar menjadikan ini sebagai bahan empuk untuk menyerang Ganjar di media sosial.
Layaknya perseteruan politik, kubu simpatisan Ganjar justru terpancing untuk makin aktif mengangkat citra Ganjar. Para simpatisan ini bahkan tidak segan-segan untuk mendeklarasikan dukungan kepada Ganjar agar maju dalam Pemilu Presiden 2024.
Perlu diakui, Ganjar adalah salah satu tokoh politik yang menampilkan citra baik di media sosial sebelum munculnya isu Wadas. Namun, karena era politik post-truth inilah, citra baik pun dapat dipoles menjadi konten kebencian. Terkait hal ini, dua kali kunjungan Ganjar ke Desa Wadas dalam satu pekan dapat dijadikan contoh konkret.
Kunjungan Ganjar ke Desa Wadas yang pertama terjadi pada Rabu, 9 Februari 2022, untuk menemui warga seusai konflik dengan aparat sehari sebelumnya. Empat hari sesudahnya, Ganjar kembali datang ke Desa Wadas seorang diri tanpa pengawalan untuk menemui warga yang tak setuju penambangan, lalu menginap di sana.
Bagi simpatisannya, Ganjar adalah sosok yang begitu humanis dan berani. Namun, bagi pihak oposisi, hal itu hanyalah pencitraan karena yang diperlukan ialah Ganjar mencabut izin tambang. Dalam politik post-truth semacam ini, satu fenomena yang disorot oleh media dapat ditafsirkan, dikemas ulang, dan dinarasikan secara berbeda oleh setiap individu.
Persoalan politik post-truth tidak hanya dimiliki Indonesia, tetapi juga sedang terjadi di banyak negara yang menganut demokrasi. Sebab, sistem demokrasi lebih menjunjung kebebasan berpendapat dibandingkan persoalan kebenaran. Merujuk pada tulisan Hannah Arendt berjudul ”Truth and Politics” (1967), disebutkan bahwa kebenaran itu tidak demokratis, artinya kebenaran tidak dapat ditentukan dari paling banyaknya suara atau pemilih.
Baca juga: Isu Wadas, dari Bendungan sampai Ganjar Pranowo
Akhirnya, sistem demokrasi kini meragukan antara apa yang disebut sebagai kebenaran (truth) dan pasca-kebenaran (post-truth) karena ini bukanlah ranah demokrasi. Akan tetapi, berdasarkan nilai kebaikan bersama, sistem demokrasi dapat menjadi alat warga negara untuk memperjuangkan kebenaran. Di Indonesia, nilai-nilai yang dilihat sebagai kebenaran bersama sejatinya sudah tertuang dalam Pancasila.
Bagi para tokoh politik dan tim suksesnya, politik post-truth tentu berpeluang menguntungkan kubunya dengan memainkan isu, menaikkan elektabilitas, bahkan menjatuhkan rival. Namun, bagi masyarakat atau konstituen, kondisi ini lebih banyak merugikan daripada menguntungkan. Selamat memulai pemanasan menghadapi Pemilu 2024! (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Ini Dia Tiga Besar Capres Versi Survei Litbang Kompas