Dari ”Ibu Kita Kartini” hingga ”Hati yang Luka”
Obbie memberi lemari es kepada tetangga yang mengilhaminya menulis lagu ”Hati yang Luka”. Macam-macam lagu tentang wanita, mulai dari yang menggambarkan pesona fisik, ketangguhan, hingga nestapa yang dialaminya.
Ada sekitar 400 judul lagu pop Indonesia yang bertutur tentang wanita. Ismail Marzuki dalam ”Wanita” melukiskan perempuan sebagai seindah mawar, semerbak mewangi, bersinar, cemerlang, halus bagai sutra, dan senyumnya ”meruntuhkan mahkota”.
Dalam lagu lain, wanita disebut sebagai pejuang, tangguh, gigih, mulia. Akan tetapi, ada pula lagu yang bicara tentang perempuan yang tersakiti dan mengalami nestapa.
Hari-hari sekitar minggu ketiga bulan April, kita akan sering mendengar lagu ”Ibu Kita Kartini” karya Wage Rudolf Supratman. Lagu tersebut pertama kali diperdengarkan di depan khalayak pada Kongres Wanita Indonesia I di Yogyakarta pada 1928.
Pada larik-lariknya, disebut sosok ideal seorang pejuang Kartini. Dia adalah pendekar bangsa, putri yang mulia, putri jauhari atau pandai, putri yang suci, putri yang merdeka, penyuluh budi, penyuluh bangsa, dan bercita-cita besar bagi Indonesia. Semangat perjuangan pada masa pergerakan itu terasa sangat tebal menaungi lagu yang termasuk sebagai lagu wajib nasional ini.
Di luar lagu perjuangan, tepatnya di kancah lagu pop Indonesia setelah kemerdekaan, ada lebih 500 lagu yang berkait dengan perempuan. Ada berbagai tema yang diangkat dalam lagu-lagu tersebut.
Dari aspek kegigihan dan perjuangan tersebutlah lagu ”Peranan Wanita”, ”Pejuang Hak Wanita”, ”Jasa Seorang Wanita”, ”Srikandi Udara”, ”Pengabdian Seorang Wanita”, ”Wanita Sejati, dan ”Wanita Utama”.
Dari sisi keanggunan, lahirlah lagu ”Bunga dan Wanita”, ”Indahing Wanita”, ”Wanita Lembut Ayu”, ”Wanita Cantik”, ”Putri Solo”, ”Putri Mataram”, dan ”Mojang Priangan”. Akan tetapi, di kancah lagu pop Indonesia, wanita juga dilantunkan dari sisi yang amat berbeda, yaitu tentang drama kehidupan.
Ada ”Jerit Seorang Wanita”, ”Derita Seorang Wanita”, ”Pasrahnya Seorang Wanita”, ”Naluri Seorang Wanita”, ”Nasib Seorang Wanita”, ”Wanita dan Air Mata”. Bahkan, ada pula lagu yang memilih tema berupa sisi kelabu kehidupan.
Hati yang heboh
Sebuah lagu tentang nestapa perempuan pernah membikin heboh di negeri ini pada 1988. Itulah lagu ”Hati yang Luka” ciptaan Obbie Mesakh yang dipopulerkan Betharia Sonata. Lagu tersebut dicap sebagai lagu cengeng. Bahkan, seorang tokoh menilainya sebagai ”ratapan patah semangat berselera rendah”.
Polemik tentang lagu tersebut berujung pada pelarangan tayang ”Hati yang Luka” di TVRI. Baiklah kita ingat sepenggal liriknya. ”Lihatlah tanda merah di pipi bekas gambar tanganmu/ Sering kau lakukan bila kau marah menutupi salahmu/... Pulangkan saja aku pada ibuku atau ayahku...” Bagian tersebut dianggap sebagai salah satu penggambaraan sikap cengeng.
Pada era 1980-an itu Obbie Meskah, sebagai penulis lagu, belum mampu membela diri, dan lagunya telanjur dicap sebagai lagu cengeng. Lebih lima belas tahun kemudian, Obbie Mesakh baru angkat bicara. Menurut dia, kisah dalam lagu tersebut didasari peristiwa nyata, yang di kemudian hari dikenal sebagai KDRT alias kekerasan dalam rumah tangga.
Obbie mengatakan bahwa ia melihat sendiri seorang ibu rumah tangga ditampar oleh suami. Ia tidak tega, lalu berempati dan bersimpati yang kemudian diwujudkan dalam penulisan lagu ”Hati yang Luka”.
Baca juga: Bung Karno dan Kontroversi Lagu Pop
Akan tetapi, muncul penafsiran bahwa lagu tersebut melecehklan perempuan. Lepas dari pro dan kontra, ”Hati yang Luka” ngetop di radio, dan kasetnya laku keras. Artinya, lagu tersebut digemari pendengar.
Mengapa ”Hati yang Luka” digemari pendengar? Dalam belantika musik pop dikenal apa yang disebut ”hook”, atau bagian dari lagu yang begitu nyantol di telinga, atau ”meracuni” kuping untuk mendengar dan mendengar lagu.
Salah satu unsur yang bisa menjadi hook adalah lirik yang berkenan. Lagu berjenis balada ini menuturkan nestapa seorang yang mendapat perlakuan kasar sehingga ada ”tanda merah di pipi bekas gambar tangan...”
Begitu pula Obbie, memberi lemari es kepada sang tetangga yang mengilhaminya untuk menulis lagu ’Hati yang Luka’.
Narasi kenestapaan dibangun sejak larik-larik awal lagu. Pendengar digiring untuk menyimak kisah sedih seorang perempuan. Dan populerlah si ”Hati yang Luka”.
Namun, reaksi bermunculan. Selain disebut cengeng, lagu ini juga dianggap terlalu merengek-rengek. Ada yang mengusulkan diganti ”Hati yang Baja”. Ada yang bersimpati karena dianggap mengingatkan akan masalah kekerasan kepada perempuan yang sebenarnya banyak terjadi di masyarakat. Sementara orang berpolemik, kaset lagu tersebut semakin laku di pasar.
Tolok ukur sukses secara bisnis, si pencipta lagu mendapat bonus mobil. Begitu pula Obbie, memberi lemari es kepada sang tetangga yang mengilhaminya untuk menulis lagu ”Hati yang Luka”.
Baca juga: Cassette Reborn, Artefak Budaya Perekam Nyanyian Kehidupan
Pada saat lagu tersebut heboh, isu KDRT memang belum ramai menjadi pembicaraan publik. Dan ketika isu kekerasan domestik ramai menjadi pembicaraan, ”Hati yang Luka” sudah dilupakan orang.
Dan sebenarnya, lagu tentang perempuan tersakiti itu cukup banyak dalam lagu pop. Misalnya saja, ”Pasrah Hati Seorang Wanita” dari Deddy Dores, dan ”Hati Seorang Wanita” karya Pompy yang dibawakan Betharia Sonata, dan lainnya.
Ada pula yang sangat terkenal, yakni ”Jangan Sakiti Hatinya” karya Rinto Harahap yang dibawakan Iis Sugianto pada paruh kedua 1970-an. Seperti halnya ”Hati yang Luka”, lagu Rinto itu juga sempat disebut-sebut sebagai lagu ”cengeng”.
Rinto membela diri dan mengatakan bahwa lagu tersebut tidak cengeng. Bagi Rinto, seorang perempuan yang dilecehkan itu teramat sakit rasanya. ”Dia memang mengeluarkan air mata, tapi bukan karena cengeng, melainkan karena teramat sakit,” kata Rinto dalam sebuah wawancara.
Kita kutip sepotong liriknya, ”Jangan jangan kau sakiti hatinya/ Jangan lagi sayang/ Jangan jangan kau hancurkan cintanya…”
Ternyata, pembelaan Rinto Harahap itu didukung oleh lagu A Riyanto ”Bagi Kaum Pria” yang dibawakan Tetty Kadi pada 1970-an. Lagu ”Bagi Kaum Pria” seperti membenarkan pernyataan Rinto tentang wanita yang tersakiti: ”Kasihan dia kaum wanita. Kalaulah sampai luka hatinya…”
Baca juga: Sontoloyo Merayakan Hari Musik
Putri Solo dan Mojang Priangan
Kita lupakan nestapa, dan kita ingat sejumlah lagu yang menuturkan keanggunan perempuan. Sengaja dipilih lagu berbahasa daerah, yaitu Jawa dan Sunda, untuk menunjukkan bahwa tema kemolekan dan pesona raga itu sifatnya universal.
Tersebutlah lagu yang mendeskripsikan keindahan perempuan Solo dalam ”Putri Solo” yang ditulis dalam bahasa Jawa. Lagu ini kemudian mendapat ”saingan” oleh lagu ”Putri Mataram” dari Yogyakarta yang dimitoskan sebagai ”rival” Solo.
”Putri Solo” dalam beberapa album menerakan penciptanya sebagai NN alias no name, atau belum tercatat nama pengarang lagu. Sementara ”Putri Mataram” diciptakan oleh Dharmanto. Kedua lagu itu memang hampir senada dalam hal penggambaran sosok fisik, termasuk pada aspek fashion dan aksesori.
Kemudian ditarik ke gerak tubuh, gesture, cara berjalan, sikap, pembawaan, plus efek dari penampilan para putri tersebut. Mereka sama-sama luwes, pandai bersolek, dan fashionable alias pintar berdandan, memadumadankan pakaian. Tampilan wajah digambarkan manis dalam senyum dan indah dipandang.
Para putri itu sama-sama mengenakan selendang batik motif pelangi, dan mengenakan hiasan bunga melati atau cundhuk di sanggul. Mereka juga memakai perhiasan yang sama-sama cetar membahana.
Dalam ”Putri Solo”, perhiasan berupa berlian itu digambarkan ”pating kerlip” atau gemerlap. Sementara ”Putri Mataram” mengenakan gelang dan kalung emas yang gumebyar cahyane alias berkilau-kilau.
Yang menarik adalah deskripsi cara berjalan yang menggunakan metafora flora dan fauna, yang intinya untuk menggambarkan gemulainya para putri tersebut saat melangkah. Putri Solo berjalan bagaikan macan luwe atau harimau lapar. Sedangkan putri Mataram berjalan dengan gerakan tangan seperti blarak sempal, atau daun kelapa yang sempal atau lepas dari pokoknya.
Hampir serupa adalah penggambaran sosok wanita dalam lagu berbahasa Sunda, yaitu ”Mojang Priangan” dan ”Panon Hideung”. Dalam ”Mojang Priangan” digambarkan gadis berkain kebaya, berdandan sederhana, berjalan santai, lemah gemulai, menebar senyum manis di wajah cerah.
Dalam ”Panon Hideung” ditambahkan deskripsi fisik, mata hitam, hidung mancung, pipi kuning. Para putri itu dikatakan akan bisa membuat rindu mereka yang melihatnya, bahkan akan terbawa dalam mimpi.
”Mojang Priangan” diciptakan Iyar Wiyarsih, sedangkan ”Panon Hideung” dari sejumlah sumber terulis sebagai gubahan Ismail Marzuki. Akan tetapi, lagu tersebut juga dikenal luas sebagai lagu dari Rusia berjudul ”Ochi Chernye” yang berarti Si Mata Hitam. Lirik yang ditulis penyair Ukraina, Yevhen Hrebinka, menuturkan keindahan mata perempuan yang bikin orang kasmaran.
Harga diri
Selain cantik, indah, memesona, perempuan dalam lagu juga digambarkan sebagai sosok yang gigih dan sangat menjaga harga diri. Di antara mereka adalah para wanita dari pelosok, tinggal di lereng gunung yang bekerja keras di sawah ladang untuk kehidupan orang lain.
Setidaknya seperti ditulis dalam lagu ”Wanita Sejati” dan ”Wanita Gunong” yang dinyanyikan oleh penyanyi Ribut Rawit. Dia adalah penyanyi, bintang panggung sandiwara, dan aktris film era 1950-an.
Ribut Rawit muncul dalam film Bakti Bahagia produksi Persari, 1951. Dalam film tersebut, ia menyanyikan lagu ”Wanita Sejati” dan ”Wanita Utama”. Sayang sekali, dalam piringan hitam tidak diterakan data pencipta lagu.
”Wanita Sejati” menuturkan tentang perempuan pemberani yang mempunyai harga diri. Seperti tertulis dalam lirik, mereka dicirikan sebagai sosok yang tidak sombong, tidak pernah bohong, tidak pernah omong kosong, dan benci laku serong.
Digambarkan pula, wanita sejati ditandai sebagai orang yang baik budi pekerti, menepati janji. Dia juga berani melawan penggoda yang bersikap merendahkan harkat martabat perempuan.
Dalam lirik ditulis, ”Brani mengangkat sang dada/ Bila jumpa penggoda/ Tidak mudah dirinya mandang dibikin sebagai benda”. Dengan sikap dan keberanian tersebut, pada akhir lagu disimpulkan bahwa seperti itulah ”wanita sejati”. Dia akan menjaga harga diri, dan dengan demikian dia dihormati sebagai putri sejati.
Nasihat serupa ditulis Titiek Puspa dalam lagu ”Hai Gadis” yang popular pada paruh kedua 1970-an. Intinya kurang lebih sama, yaitu tentang harga diri, yang merupakan harga mati. ”Yang penting hormati dirimu/ Agar pria lebih hormat padamu...”
Pada lagu ”Wanita Gunong” disebutkan sosok perempuan sederhana, berjiwa suci, tidak curang, dan tidak suka menghina. Dalam lirik, ia disebut sebagai petani yang terampil, gesit, tangkas, bekerja di sawah, memotong padi. Mereka mengabdi Ibu Pertiwi, dan turut berjasa kepada masyarakat.
Kegigihan perempuan desa di lereng gunung juga ditulis Titiek Puspa dalam lagu ”Minah Gadis Dusun”. Kebetulan pula, lagu tersebut muncul di film berjudul sama, Minah Gadis Dusun (1966) yang dibintangi Titiek Puspa dan Rachmat Kartolo.
Dalam lagu dituturkan Minah gadis dari dusun di pegunungan. Ia terpukau, pada indahnya kota, tetapi ia tidak silau pada kehidupan kota. Dia tetap kembali ke desa untuk bekerja sebagai petani. ”Tunggu saja kiriman hasil sawah (panenku) / Daku orang dusun pandai bertani”.
Utang budi
Lagu tentang perempuan ditulis orang sepanjang masa, di belahan bumi mana saja. Termasuk oleh John Lennon, yang jelang akhir hidupnya pada awal 1980-an sempat menulis lagu yang berisi rasa syukur, terima kasih kepada perempuan.
Lennon bahkan menyampaikan pengakuan akan utang budinya kepada perempuan yang tak akan terbayarkan. Dan itulah lagu ”Woman” yang dengan lembut dilantunkan Lennon sendiri, ”After all, I’m forever in your debt…”
Ya, sepanjang masa kaum pria akan berutang kepada perempuan. Kepada ibu yang hanya memberi dan tak harap kembali. Seperti dicatat Mochtar Embut dalam ”Kasih Ibu” yang mengibaratkan kasih ibu sebagai sang surya yang menerangi dunia....