Sontoloyo Merayakan Hari Musik
Ketika Hari Musik Nasional dirayakan pada 9 Maret, saya teringat akan Sontoloyo atau penggembala bebek. Dari merekalah lahir alat musik petik Bundengan.
Ketika Hari Musik Nasional dirayakan pada 9 Maret, saya teringat akan Sontoloyo atau penggembala bebek. Dari merekalah lahir alat musik petik Bundengan. Semula, Bundengan bukanlah instrumen musik, melainkan tudung yang lazim digunakan para penggembala bebek, terkhusus di Wonosobo, Jawa Tengah.
Alat musik sederhana dari desa itu semakin meriah hari ini. Dari semula dimainkan di ladang penggembalaan itik, Bundengan kemudian naik ke panggung hiburan, dan belakangan menjelajah media sosial.
”Alaa… bapak Sontoloyo, angon bebek ilang loro...”
Itulah syair pembuka tembang berjudul ”Sontoloyo”. Sebaris larik di atas secara komedik menuturkan nasib si Sontoloyo, atau penggembala bebek, yang kehilangan dua ekor itik saat menggembala bebek. Tembang ”Sontoloyo” berisi bukan hanya pantun jenaka, melainkan juga pesan-pesan kehidupan.
Dari semula dimainkan di ladang penggembalaan itik, Bundengan kemudian naik ke panggung hiburan dan belakangan menjelajah media sosial.
Memang yang populer adalah ”Sontoloyo” yang berisi candaan. Ada sindir menyindir secara jenaka, misalnya, ”Orek tempe nggo bumbu lodeh, ditampik kowe ra kurang akeh...”
Terjemahan bebasnya kira-kira, masakan orek tempe untuk bumbu sayur lodeh, tidak mengapa aku kau tampik atau kau tolak. Masih banyak yang lain kok.
Tembang yang merakyat itu sering diiringi dengan Bundengan yang juga merakyat, dan menjadi hiburan masyarakat dari kalangan petani, hingga priayi.
Agraris, tropis
”Sontoloyo” cukup populer di sejumlah daerah di Jawa Tengah, termasuk Wonosobo dan sekitarnya. Tembang tersebut kemudian menjadi bagian dari repertoar permainan Bundengan. Atau meminjam istilah jazz, ”Sontoloyo” sudah menjadi standard tune alias ”lagu wajib” pada setiap pentas Bundengan.
Namun, bukanlah kebetulan jika para sontoloyo atau penggembala itik mengubah tudung menjadi alat musik. Instrumen ini lahir dari kebutuhan manusiawi pengembala itik yang perlu menghibur diri di tengah pekerjaan menggembala.
Bundengan merupakan hiburan yang lahir dari kehidupan masyarakat agraris. Seperti disebut di atas, alat musik ini semula ”hanyalah” tudung penggembala itik. Beternak itik merupakan bagian dari penghidupan masyarakat agraris.
Baca juga: Alunan Sumpah Pemuda dari Tidore
Lahan penggembalaannya termasuk di sawah, sungai, atau lahan di alam terbuka dengan segala cuaca panas dan hujan. Itu mengapa tudung pelindung menjadi penting.
Tudung terbuat dari bahan utama berupa clumpring alias slumpring, atau pelepah yang melingkar pada ruas bambu. Tudung didesain sesuai dengan kebutuhan masyarakat agraris di negeri tropis dengan tingkat curah hujan cukup tinggi seperti Wonosobo.
Itu sebabnya tudung penggembala tersebut dirancang sedemikian rupa agar dapat melindungi sebagian badan penggunanya dari terpaan hujan dan terik matahari. Tudung atau disebut juga kowangan itu menjadi piranti penting sehari-hari bagi petani, termasuk para pangon atau penggembala bebek.
Saat mengaso di sela pekerjaan menggembala, para sontoloyo duduk-duduk dan berlindung di bawah tudung. Mereka mendirikan tudung tersebut dengan cara menahannya dengan tongkat gembala.
Di keteduhan tudung yang cukup besar itu, mereka menghibur diri dengan menembang. Dari sanalah kemudian lahir ide untuk menjadikan tudung itu sebagai alat musik pengiring tembang.
Tudung ini terbuat dari kerangka bambu. Kerangka membentuk lengkungan menyerupai tangkupan perahu. Tangkupan itu menciptakan ruang lengkung atau rongga yang dalam bahasa Jawa disebut kowangan.
Baca juga: Empat Nada Jopie Item, Gitar, dan Kejayaan Band Pengiring
Pada kerangka lengkungan tersebut dipasang clumpring atau pelepah ruas bambu yang membentuk bidang atau dinding pelapis, penahan panas, dan hujan. Clumpring dipasang pada kerangka bambu menggunakan tali ijuk, sehingga membentuk bidang atau dinding yang cukup aman untuk menahan panas matahari atau terpaan hujan. Belakangan digunakan tali plastik yang lebih mudah didapat.
Secara teknis, bentuk kowangan menjadi ruang resonansi. Muncul ide untuk menggunakan rongga atau kowangan itu sebagai ruang resonansi. Maka di antara dinding dalam rongga tadi dipasang empat atau enam dawai dari senar.
Dulu, dawai terbuat dari tali ijuk. Dari dawai yang dipetik ini tercipta bunyi yang bisa dikatakan menyerupai suara gamelan. Bunyi atau gaung yang ditimbulkan dari petikan senar itulah yang membuat kowangan tadi disebut bundengan.
Dalam perkembangannya, muncul ide memasang tiga bilah sayatan tipis bilah bambu pada satu sisi dinding kowangan. Dalam permainan bundengan, bilah bambu ini berfungsi sebagai pengatur dinamika rhythm.
Getaran bilah-bilah ini terdengar sangat perkusif yang difungsikan seperti kendang. Adapun dawai-dawai berfungsi menjadi bagian struktural yang mengeluarkan bunyi layaknya perangkat gamelan, seperti kempul, kethuk, kenong, dan gong.
Dengan kemampuan ini, Bundengan tidak hanya berfungsi sebagai instrumen pengiring tembang, tetapi sekaligus juga sebagai pengiring tari, termasuk Lengger yang berkembang di sekitar Wonosobo.
Pelipur lara
Bundengan hadir sesuai dengan kebutuhan masyarakat Wonosobo dengan segala bentuk kesenian rakyat, seperti karawitan, tembang, sampai tari. Bundengan menjadi instrumen pengiring tembang dengan segala karakter isi tembang. Ada yang berupa pantun jenaka, nasihat, ajaran tentang budi pekerti, etika, kearifan, dan nilai-nilai kehidupan pada umumnya.
Tembang ”Sontoloyo” kebanyakan berisi pantun jenaka. Misalnya candaan berikut, ”Angon wedhus nang kuburan/ Durung adus wis pupuran. (Menggembala kambing di kuburan, belum mandi sudah bedakan.)
Atau yang agak-agak “nakal” seperti “Abang biru ono ijone, ojo diganggu ono bojone...” ( Merah biru ada hijaunya, jangan diganggu ada suami/istrinya.)
Ada pula pantun bermuatan pesan tentang program Keluarga Berencana, seperti ”Kayu jambe nggo cagak talang. Melu KB anake arang”. (Kayu Jambe untuk penyangga talang, ikut KB- Keluarga Berencana-anaknya jarang.)
Di antara pantun jenaka juga terselip ajakan untuk berpartisipasi dalam pembangunan, seperti ”tuku timun segarane, ayo bangun negarane”.
Ada pula tembang ”Gones” yang berisi pitutur atau nasihat tentang kehidupan, budi pekerti, kearifan hidup, tata krama, dan sopan santun. Ada juga tembang ”serius” berupa semacam lamentasi, atau ratapan, dan penguatan.
Salah satunya adalah tembang ”Gondang Keli” yang berisi pandangan tentang kematian; tentang keniscayaan akhir kehidupan manusia di dunia yang tidak dapat dihindari. Pada salah satu larik tembangnya disebut, ”Kuncenono, gedhongono wong mati mongso wurungo...” (Dikunci atau dikafani, orang mati tidak akan kembali.)
Orisinal
Sejauh sumber yang terlacak, Bundengan sudah dikenal sejak tahun 1920-an, dengan adanya arsip foto-foto. Bahkan, konon, alat musik itu sudah disebut-sebut jauh sebelum abad ke-19.
Yang menarik, saat ini Bundengan secara organologis atau teknis konstruksi dan bahan instrumen, tidak mengalami perubahan mendasar. Ia tetap berupa kowangan atau tudung, plus perangkat sebagai alat musik. Untuk bahannya, tetap digunakan bilah bambu, termasuk pelepah ruas bambu (clumpring).
Perubahan ada pada dawai dari yang semula menggunakan tali ijuk, kini memakai senar pancing, atau juga senar gitar. Begitu pula tali pengencang anyaman bilah bambu yang kini banyak menggunakan tali plastik.
Memang ada kesan eksotis, tetapi justru itulah ”kelebihan” Bundengan. Ia tetap sederhana dari sisi bahan dan bentuk. Dari sisi bahan, Bundengan mencerminkan asalnya yang dari daerah agraris. Fungsinya sebagai tudung penggembala semakin menegaskan bahwa Bundengan milik masyarakat petani.
Bisa disebut, Bundengan merupakan kesenian rakyat yang memang dibutuhkan oleh masyarakat yang melahirkan dan mendukungnya. Wonosobo menjadikan Bundengan sebagai salah satu ikon budaya. Bahkan ”memproklamasikan” Bundengan sebagai kesenian asli asli daerah tersebut.
Setidaknya, dalam tembang ”Sulasih” terdengar lantunan lirik. Monggo sami angleluri kesenian budaya Jawi. Seni Bundengan Wonosobo asli kang satuhu edi peni. Mari kita merawat kesenian budaya Jawa, Seni Bundengan asli Wonosobo yang sungguh indah.
Anak kandung musik Nusantara
Dalam hal bahan dan bentuk, Bundengan mengingatkan kita pada alat musik petik Sasando di Nusa Tenggara Timur yang terbuat dari bahan utama bambu dan daun lontar. Para pemain Sasando juga lazim mengenakan topi ti'ilangga yang juga terbuat dari daun lontar. Ada pula alat gesek Arababu dari Maluku Utara.
Alat musik gesek yang menyerupai rebab ini terbuat dari bahan batok kelapa, dan kulit usus kambing sebagai resonator. Digunakan pula bambu sebagai leher atau neck. Adapun dawainya dulu dibuat dari serat kulit kayu, tetapi kini menggunakan senar gitar.
Berbicara tentang bahan instrumen Bundengan, Sasando, dan Arababu, berarti bicara tentang riwayat dan hikayat asal mereka, berikut masyarakat pendukungnya.
Dari alunan alat musik dan lantunan lagu yang menyertai setiap instrumen itu, terdengar sejarah panjang tentang Nusantara, keragaman suku, bahasa, pengaruh budaya, dan warna budaya masing-masing.
Bundengan, seperti halnya Sasando, Arababu, dan berbagai alat musik lain dari sejumlah daerah, bisa dikatakan merupakan anak kandung kesenian Nusantara.
Di Hari Musik Nasional ini, baik kiranya kita nikmati alunan musik dari pelosok-pelosok negeri. Meminjam ucapan Butet Kartaredjasa di berbagai pentas, ”Jangan kapok menjadi Indonesia”. Jangan pula kapok mendengar dan memperdengarkan Indonesia….
Frans Sartono, Wartawan di Kompas Gramedia, 1989-2019