Bung Karno dan Kontroversi Lagu Pop
Sejumlah lagu pop merefleksikan situasi politik sekitar tahun 1965, terutama tentang ketokohan Bung Karno. Akan tetapi, selepas 1965 tiba-tiba sunyi senyap tiada lagu tentang Bung Karno.
Sejumlah lagu pop merefleksikan situasi politik sekitar tahun 1965, terutama tentang ketokohan Bung Karno. Pada masa itu dunia politik di Indonesia begitu gemuruh dan gaungnya tercatat pada lagu, seperti ”Dirgayahyu Bung Karno” dan ”Bung Karno Jaya”. Akan tetapi, selepas 1965, tiba-tiba cep klakep, sunyi senyap tiada lagu tentang Bung Karno.
”Bung Karno jaya, Bung Karno jaya sentosa...,” begitu disebut dalam refrain lagu ”Bung Karno Jaya” ciptaan Mus K Wirya yang dipopulerkan oleh Onny Surjono, penyanyi kondang pada pertengahan 1960-an.
Pada lagu tersebut, disebut-sebut Bung Karno sebagai ”pembela negara”, ”penggali Pancasila”, dan ”pendekar Indonesia”. Lagu ini sering diputar di radio, yang pada masa itu hanya ada satu-satunya, yaitu Radio Republik Indonesia.
Lagu dimuat dalam album bertajuk Siapa dengan musik iringan Orkes Mus K Wirya, pimpinan Mus K Wirya, terbitan Remaco. Lagu ”Bung Karno Jaya” dikemas sebagai lagu pop, seperti halnya lagu-lagu lain dalam album Siapa.
Album ini juga memuat lagu-lagu yang terkenal, antara lain ”Burung Berkicau”, ”Kasih di Perjalanan”, ”Surat Kedua”, dan ”Akhirnya”, yang semuanya ciptaan Muslihat Kertadiwirya, nama lengkap Mus K Wirya (1934-2005).
Apakah lagu tersebut bisa dikatakan lagu politis? Hal ini sangat tergantung tafsir atas syair lagu. Bahwa liriknya bersangkut dengan tokoh politik, itu sudah sangat jelas.
Akan tetapi, menilik popularitas dalam masyarakat, ”Bung Karno Jaya” adalah lagu pop biasa, ditulis dengan kaidah-kaidah lagu pop yang mudah dicerna dan dihafal.
Di radio pun, lagu tersebut diperlakukan sebagai layaknya lagu pop yang boleh dipesan oleh para pendengar dalam acara Pilihan Pendengar.
Mus K Wirya juga penggubah lagu pop biasa. Dia adalah hit makers, pencetak lagu tenar pada era 1960-an. Tercatat, antara lain, ”Pertemuan” yang dibawakan Anna Mathovani, ”Sampai Menutup Mata” (Tanty Yosepha), ”Tiada Lagi” (Tuty Subardjo), dan ”Si Kumis” (Titiek Sandhora).
Para hit makers seperti Mus K Wirya, Wedhasmara, Soetedjo, dan penyanyi pop pada pertengahan era 1960-an tersebut berkontribusi dalam memopulerkan lagu yang syairnya bersangkut dengan situasi politik.
Baca juga: Cassette Reborn, Artefak Budaya Perekam Nyanyian Kehidupan
Paduka yang Mulia
Penyebutan nama Presiden Soekarno pada masa pemerintahannya lazim didahului dengan sejumlah predikat, antara lain Paduka yang Mulia. Sebutan tersebut juga disebut dalam judul lagu ciptaan Soetedjo yang dipopulerkan oleh Lilis Suryani, yaitu ”PJM Presiden Sukarno”. PJM adalah singkatan dalam ejaan lama dari Paduka Jang Mulia.
Lirik dimulai dengan kalimat, ”Laguku ini ingin kupersembahkan pada Paduka yang Agung serta Mulia”. Selanjutnya diungkapkan pula harapan, doa, dan pujian terhadap sang ”PJM”. Termuat pula istilah politik yang tercatat dalam sejarah, yaitu Manipol/USDEK.
Dua kata itu merangkum satu konsep pemikiran yang dalam lagu disebut sebagai ”karya paduka yang agung serta mulia”. Manipol/ USDEK merupakan akronim dari Manifesto Politik/Undang-Undang Dasar 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia.
Pujian, harapan, dan konsep-konsep politik itu dikemas sebagai lirik lagu berdurasi 2 menit 23 detik. Dan hebatnya lagi, lagu ini termasuk populer pada zamannya. Lagu tersebut dimuat dalam album Ia Tetap di Atas keluaran perusahaan rekaman Irama, dengan iringan Orkes Baju pimpinan F Parera.
Lilis Suryani (1948-2007) sejak awal 1963 memang termasuk bintang pop Indonesia yang nge-top dengan ”Gang Kelinci”, ”Jali-Jali”, ”Ulang Tahun”, dan belasan lagu lainnya. Popularitas lagu ”PJM Presiden Sukarno” memang terdongkrak oleh kekuatan suara dan ketokohan Lilis Suryani di jagat musik pop pada masa tersebut.
Lilis termasuk penyanyi Istana di masa Presiden Soekarno, bersama Titiek Puspa, Nien Lesmana, dan lainnya. Pada masa itu ia masih berumur 14-an tahun dan termasuk penyanyi termuda.
Baca juga: Sontoloyo Merayakan Hari Musik
”Setiap 6 Juni”
Bukan hanya penyanyi terkenal, pendatang baru pun mendapat sambutan seru kala membawakan lagu yang terkait dengan nama Bung Karno. Contohnya, penyanyi Rossy yang mulai dikenal jelang 1965.
Rossy membawakan lagu ”Dirgahayu Bung Karno” ciptaan Wedhasmara. Lagu dimuat di album bertajuk Rossy iringan Kwintet Mus Mustafa, keluaran Remaco.
Lagu diawali dengan lirik ”Setiap 6 Juni kudatang padanya”. Tanggal 6 Juni merupakan hari kelahiran Bung Karno. Jelas sudah bahwa ini lagu tentang ulang tahun. Seperti lazimnya ucapan ulang tahun, syair berisi doa, harapan, dan rasa kasih kepada sosok yang berhari jadi.
Yang cukup unik, album Rossy juga memuat lagu dengan judul-judul yang mengingatkan orang pada langkah-langkah politik Bung Karno. Lagu tersebut adalah ”Capailah Bintang-bintang di Langit” dan ”Lima Azimatku”. Keduanya karya Wedhasmara.
Dalam sejarah tercatat ”Tjapailah Bintang-bintang di langit/Tahun Berdikari” merupakan judul Pidato Presiden Soekarno 17 Agustus 1965.Sementara lima azimat atau disebut juga sebagai Panca Azimat revolusi adalah pesan-pesan Presiden Soekarno.
Yang disebut sebagai lima azimat adalah Nasakom, Pancasila, Manipol/Usdek, Trisakti dan Berdikari. Instruksi Presiden/Pemimpin Besar Revolusi/Pemimpin Tertinggi.
Lagu ”Lima Azimatku” bisa dikatakan hanya ”meminjam” judul pidato Presiden dan tidak terkait langsung dengan isi pidato. Akan tetapi, esensi pesan pidato kurang lebih sama, yaitu berupa motivasi untuk berusaha meraih cita-cita. Untuk konsumsi lagu pop, pernik-pernik yang berbau politik agak disamarkan.
Sementara lagu ”Lima Azimatku” cukup terasa unsur politisnya. Akan tetapi, penulis lagu cukup luwes memasukkan pesan-pesan politis dalam lagu pop. Ada jargon-jargon politik yang disisipkan dalam lirik, seperti tentang nekolim atau neo kolonialisme-imperialisme.
Wedhasmara cukup cermat mempertimbangkan bahwa lagu tersebut lagu pop yang akan dikonsumsi khalayak banyak dari berbagai kalangan usia. Meski ada pesan politis, ia mencoba menyampaikan secara tipis-tipis, tidak verbal.
Wedhasmara memang penulis lagu yang piawai dalam menyusun dan memadu lirik dengan melodi. Dia melahirkan lagu kondang, seperti ”Senja di Batas Kota” dan ”Kau Selalu di Hatiku” yang dipopulerkan Ernie Djohan. Juga ”Berpisah di Teras St Carolus” yang terkenal lewat suara Retno, dan belakangan juga dibawakan Nia Daniaty.
Anti-neokolonialisme-imperialisme
Sikap-sikap politik Bung Karno memang berdampak pada budaya massa, termasuk lagu pop. Sikap anti-neokolonialisme-imperialisme terwujud pada pelarangan musik yang disebut Bung Karno sebagai ngak-ngik-ngok. Bung Karno menyebut musik rock sebagai bagian dari imperialisme kebudayaan.
Akibatnya, musik rock n roll dilarang diperdengarkan di radio maupun dalam pertunjukan musik. Sikap tersebut dinyatakan Bung Karno dalam pidato Bung Karno pada 17 Agustus 1959 di Istana Merdeka yang bertajuk ”Penemuan Kembali Revolusi Kita”. Baiklah kita kutipkan potongan pidatonya.
”Dan engkau, hai pemuda-pemuda dan pemudi-pemudi, engkau yang tentunya antiimperialisme ekonomi dan menentang imperialisme ekonomi, engkau yang menentang imperialisme politik... Kenapa di antara engkau banyak yang tidak menentang imperialisme kebudayaan? Kenapa di kalangan engkau banyak yang masih rock n’roll—rock n’roll-an, dansa-dansian ala cha-cha-cha, musik-musikan ala ngak-ngik-ngok, gila-gilaan, dan lain sebagainya lagi....”
Dampaknya ke dunia musik Indonesia pada masa itu adalah naiknya lagu-lagu berbahasa daerah. Dalam tari pergaulan, tari lenso dari Maluku menjadi populer. Naiknya lenso tercatat dalam lagu ”Mari Berlenso” ciptaan Mus Mualim dan Mochtar Embut yang dipopulerkan Lilis Suryani.
Bagian lirik lagu tersebut merupakan penafsiran dari apa yang disampaikan Bung Karno dalam pidato. Dalam lagu disebut, ”Inilah irama tarian lenso saingan twist dan shake, gila-gilaan….” Coba kita bandingkan perkataan Bung Karno yang ”dansa-dansian ala cha-cha-cha, musik-musikan ala ngak-ngik-ngok, gila-gilaan”.
Lagu digarap dengan iringan musik yang menonjolkan unsur perkusi. Dalam syair lagu memang disebut bahwa tarian lenso diiringi gendang tifa yang penuh gairah. Disebut juga bahwa lenso tidak menggunakan ”gaya berlebihan”, dan tetap ”asli dalam kepribadian”.
Bisa dikatakan, lagu ini merupakan kepanjangan, atau setidaknya pengaruh dari pemikiran-pemikiran Bung Karno tentang antiimperialisme kebudayaan.
Budaya pop tampaknya memang menjadi kawan bagi tokoh-tokoh politik. Bung Karno sendiri bersentuhan langsung dengan musik pop. Setidaknya, nama Bung Karno tercatat sebagai songwriter pada lagu ”Bersuka Ria” di album Bersuka Ria produksi Irama, 1965.
Lagu ”Bersuka Ria” dibawakan oleh sejumlah penyanyi, yaitu Rita Zaharah, Nien Lesmana, Titiek Puspa, dan Bing Slamet. Album diiringi Orkes Irama, pimpinan Jack Lesmana. Ada sisipan pantun politik pada lagu ini. ”Tukang sayur nama si Salim, menjualnya ke Jalan Lembang, Indonesia antinekolim, para seniman turut berjuang”.
Album ”Bersuka Ria” bisa dikatakan istimewa karena disertai tulisan tangan Bung Karno yang menyatakan persetujuan atas beredarnya album tersebut. Tulisan disertai bubuhan tanda tangan cetak Presiden Soekarno bertanggal 14/4/65 atau 14 April 1965.
Samar-samar
Selepas tahun 1965, lagu-lagu tentang Bung Karno seperti lenyap dari udara. Baru pada 1981 secara lamat-lamat sosok Soekarno membayang pada lagu ”Hatta” dari Iwan Fals di album Sarjana Muda, produksi Musica, 1981. Lagu ini ditulis Iwan Fals untuk melepas kepergian Bung Hatta. Disebut samar-samar karena nama Bung Karno tidak terucap dalam lagu, pun tidak tertulis langsung dalam lirik.
Sosok Bung Karno seperti tersembunyi di celah-celah kalimat: ”Hujan air mata dari pelosok negeri/ Saat melepas engkau pergi/ Berjuta kepala tertunduk haru/ Terlintas nama seorang sahabat/ Yang tak lepas dari namamu...” Lirik ini mengingatkan pada teks Proklamasi yang diakhiri dengan penyebutan dua nama yang mengatasnamakan bangsa Indonesia, yaitu ”Soekarno-Hatta”.
Sebelum Iwan Fals, secara tersamar pula sosok Bung Karno membayang dalam lagu ”Perikemanusiaan” karya Guruh Soekarno. Lagu ini pernah dibawakan Ahmad Albar dalam konser Pergelaran Karya Guruh Soekarno Putra di Balai Sidang Senayan, Jakarta pada 1979. Kemudian, ditampilkan juga oleh Reza Artamevia dalam ”Pergelaran Memperingati Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia” di Jakarta Convention Center, Jakarta, 2001.
Secara teks, nama Soekarno tidak tertulis, tetapi dalam wawancara, Guruh menyebut lagu tersebut bertutur tentang Bung Karno. Berikut beberapa bait ”Oh bagai raja-diraja/ Di kala seseorang sedang mengalami jaya/ Semua orang menyanjung-nyanjung dan memuja/ Semua orang mengelu-elu dan memuji/ Tapi bila telah tak terpakai/ Dia dihina, dicaci/ Dinista, dimaki/ Seakan tak pernah dia berjasa/ Seakan dia makhluk tak berguna.
Nama Bung Karno mulai disebut dengan jelas, bahkan digunakan sebagai judul oleh Kelompok Kampungan dalam lagu ”Bung Karno” di album Mencari Tuhan, produksi Akurama, 1980. Lagu ciptaan Bram Makahekum ini bahkan menyertakan petikan rekaman pidato Bung Karno yang teatrikal itu.
Suara Bung Karno menjadi bagian dari dramatika lagu, bukan sebagai pernyataan politik. Kutipan pidato itu menyebutkan, antara lain, bahwa negara besar lahir dari perjuangan, tempaan, atau gemblengan pengalaman hidup.
Bram Makahekum sebagai penulis lirik dan penyanyi lagu ini mencoba melihat sosok Soekarno secara obyektif. Pada lagu ini, ”Bung Karno” ditempatkan sebagai manusia biasa dengan, ”Segala kekurangan dan kelebihannya.”
Bram mencatat jasa perjuangan Soekarno, antara lain sebagai pejuang pahlawan kemerdekaan, dan penggali Pancasila. Disebutkan pula, Bung Karno sebagai manusia Indonesia yang pernah lahir dan dicatat oleh sejarah, ”Sejarah merah putih/ Sejarah dunia/ Sejarah seorang manusia.”
Kelompok Kampungan yang tumbuh di dalam Komunitas Bengkel Teater pimpinan Rendra itu mengolah lagu ini dengan gaya ”teatrikal” pula. Penggarapan musik memadukan gamelan dan alat musik biola, flute, bas elektrik, sampai bunyian kampung termasuk kentongan. Nuansa kerakyatan sangat menonjol, sampai ada yang mengategorikan lagu tersebut sebagai lagu folk.
Kelompok Kampungan menggunakan gamelan Kyai Pilis yang biasa digunakan dalam pentas Bengkel Teater. Dalam kelompok ini, selain Bram Makahekum, ada juga Agus Murtono sebagai pengarah musik, Sawung Jabo, Edi Haryono, Areng Widodo, Inisisri, Bambang Pamungkas, dan sejumlah musisi Yogya.
Budaya pop mungkin memang bukan sumber sejarah yang valid. Lagu pop boleh jadi hanya menjadi semacam catatan kaki dalam buku besar sejarah. Meski sayup-sayup terdengar, lagu pop itu ibarat sejarah yang bernyanyi. Dia boleh juga didengar atau dinyanyikan ketika orang lupa atau melupakan sejarah.