Kejayaan bahasa adalah efek dari dominasi penuturnya. Di balik bahasa, ada sebuah kontestasi. Jika Indonesia ingin memenangi dominasi atas bahasa asing, negara harus kuat secara ekonomi, politik global, atau budaya.
Oleh
PANDU WIJAYA SAPUTRA
·5 menit baca
Bahasa bukanlah semata himpunan kata-kata. Sebagai sebuah teknologi komunikasi paling purba, ia menyimpan memori, pengetahuan, alam pikir, dan sejarah komunitas penuturnya. Lapis-lapis itulah yang membuat bahasa menjadi salah satu penanda nasib sebuah kebudayaan. Ketika suatu bahasa terancam lenyap, dapat dipastikan kebudayaan penuturnya pun menuju senja kala. UNESCO bahkan secara khusus mencanangkan Hari Bahasa Ibu Internasional (21 Februari) sebagai kampanye penyelamatan bahasa-bahasa yang ada di dunia.
Sebagai salah satu negara dengan keberagaman budaya dan bahasa terbanyak, Indonesia pun menyadari pentingnya bahasa-bahasa yang ada. Pemerintah melalui Badan Bahasa dan Perbukuan telah melakukan upaya pemetaan, vitalisasi. dan revitalisasi bahasa-bahasa asli di Indonesia. serta mendorong pemerintah daerah untuk terus melakukan upaya pelestarian bahasa daerahnya.
Namun, pada kenyataannya bahasa daerah justru terus terdesak. Penggiat dan penutur bahasa lokal gelisah melihat ancaman terhadap kelangsungan bahasa ibu mereka. Anak-anak muda sudah tak fasih lagi menuturkan bahasa asli. Aksara lokal pun tak digunakan.
Sementara itu, bahasa asing semakin sering digunakan, baik di ruang publik fisik maupun ruang maya. Melihat fenomena yang terjadi, meminjam istilah Koentjaraningrat, banyak yang mengatakan kita sedang mengalami “tuna-harga diri“ karena menganggap bahasa lain lebih unggul dari bahasa sendiri. Karenanya, berbagai gerakan untuk “menyelamatkan“ bahasa Indonesia dilakukan, baik oleh pemerintah maupun penggiat bahasa.
Pada saat bersamaan, ada pula mimpi optimistis menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa dunia. Dengan jumlah penduduk yang banyak, negara-negara di Asia Tenggara dengan rumpun bahasa yang sama, serta tumbuhnya minat beberapa negara mempelajari bahasa Indonesia, menjadikan mimpi tersebut tampak sangat realistis. Strategi ke luar adalah dengan mengirimkan guru bahasa Indonesia ke luar negeri. Strategi ke dalam adalah terus menyerap kata berbahasa asing serta mendidik masyarakat untuk berbahasa Indonesia dengan baik dan benar.
Dalam sejarah
Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan mempunyai kebijakan Trigatra Bangun Bahasa dengan semboyannya “Utamakan bahasa Indonesia, lestarikan bahasa daerah, dan kuasai bahasa asing”. Harapannya, tentu tidak ada salah satu bahasa yang terkorbankan, baik bahasa daerah maupun bahasa Indonesia, di tengah kerentanan kedua bahasa tersebut dengan tetap menerima bahasa asing.
Semangat tersebut memang penuh optimisme, progresif, sekaligus adiluhung. Namun, kita perlu lebih cermat dalam memandang persoalan bahasa. Sebagai sebuah produk kebudayaan, bahasa jauh lebih dinamis dari kebudayaan itu sendiri. Dan menjaga eksistensi bahasa tidak dapat dicapai sekadar dengan promosi, diplomasi, atau dengan berbahasa yang baik dan benar.
Sejarah telah mencatat bahwa sebuah bahasa bertahan dan berjaya dipengaruhi faktor-faktor di luar kebahasaan, khususnya politik dan ekonomi. Di Indonesia, dulu bahasa Belanda menjadi bahasa resmi. Bahasa itu dipelajari di sekolah dan digunakan oleh masyarakat, khususnya menengah atas. Dominasi Belanda secara politik mampu “memaksa“ infiltrasi bahasa Belanda di Nusantara. Demikian juga bahasa Arab dan China. Kuatnya perdagangan kedua bangsa itu di masa lalu turut memberi pengaruh pada persebaran budayanya. Maka, masuknya bahasa Arab dan China ke Indonesia pun menjadi suatu keniscayaan.
Demikian juga bahasa Melayu. Pemilihan bahasa Melayu, kemudian menjadi bahasa Indonesia, sebagai bahasa nasional saat Kongres Pemuda tentu bukan tanpa alasan. Bahasa Melayu telah menjadi lingua franca selama berabad-abad hampir di seluruh wilayah Nusantara bahkan sejak abad ke-15. Orang Jawa, Madura, Batak, Bali, dan berbagai suku lain telah menerima bahasa Melayu sebagai bahasa mereka sendiri (Kridalaksana, 2018). Ekonomi tentu menjadi faktor utama. Basis perdagangan strategis internasional di masa lalu terletak di Pulau Sumatera, muasal dari bahasa Melayu.
Belakangan, setelah bahasa Inggris, tren belajar bahasa asing di dunia berkembang ke bahasa Mandarin. Fenomena ini tentu bukan karena bangsa China mempromosikan bahasa Mandarin, melainkan karena ekspansi ekonominya ke seluruh belahan dunia. Siapa pun merasa perlu belajar bahasa Mandarin untuk membuka peluang mengakses celah-celah ekonomi bersama imperium bisnis Tiongkok. Dan terakhir, kita melihat geliat anak muda mempelajari bahasa Korea sebagai akibat dari kesuksesan Korea mengekspansi dunia dengan budayanya.
Memenangi dominasi
Sebagai sebuah simbol komunikasi, bahasa adalah instrumen. Artinya, keberlangsungan sebuah bahasa sangat bergantung pada pilihan-pilihan yang didasari kebutuhan penggunanya. Maka, menjaga dan memajukan sebuah bahasa butuh lebih dari sekadar jargon, bahkan tak cukup hanya dengan kecintaan pada bahasa itu sendiri.
Sejarah menunjukkan kejayaan bahasa adalah efek dari dominasi penuturnya. Maka di balik bahasa, ada sebuah kontestasi. Jika Indonesia ingin memenangi dominasi atas bahasa asing, negara kita harus kuat secara ekonomi, politik global, atau budaya. Ketika kita telah menjadi bangsa yang berpengaruh, maka masyarakat negara lain pun dengan sukarela mempelajari dan menggunakan bahasa Indonesia.
Demikian juga bahasa-bahasa daerah. Barangkali kekuatannya bukan pada politik atau ekonomi, melainkan budaya. Maka, kebijakan nasional berbasis kebudayaan diperlukan untuk memberi ruang pada segala aspek regionalitas di berbagai bidang, termasuk bahasa.
Meski secara fungsi dan regulasi bahasa Indonesia harus diutamakan, bahasa daerah pun penting secara historis dan kultural bagi masyarakat lokal. Ia berfungsi sebagai ikatan komunal serta penghimpun memori kolektif dan kebudayaan. Karena itu, secara nilai, posisi bahasa daerah harus diyakini sejajar dengan bahasa nasional. Ia bisa menjadi bahasa keren anak muda atau bahkan layak juga berada di ruang-ruang elite. Ia tak boleh lagi dipandang sebagai tuturan subordinat yang udik. Ketika pemaknaan bahasa daerah dipahami demikian, maka kita bisa yakin kelestariannya pun akan terjaga.
Pandu Wijaya Saputra
Peminat kajian sosial dan budaya, bekerja di Direktorat Jenderal Kebudayaan