Desakan untuk menunda konsolidasi fiskal mulai banyak disuarakan oleh para pelaku dan pemangku kepentingan ekonomi. Dunia usaha masih membutuhkan pendampingan dan insentif untuk mengakselerasi pemulihan kinerja.
Oleh
DIMAS WARADITYA NUGRAHA
·3 menit baca
Tidak ada cara lain bagi pemerintah untuk menjaga stabilitas ekonomi di tengah penurunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara akibat pandemi Covid-19 selain melebarkan defisit anggaran hingga melebihi 3 persen produk domestik bruto.
Agar defisit tidak melanggar ketentuan perundang-undangan dengan batas 3 persen dari produksi domestik bruto (PDB), pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19 pada Mei 2020.
Payung hukum tersebut memperlebar batasan defisit anggaran agar bisa melampaui 3 persen dari PDB selama penanganan Covid-19. Kewenangan ini berlaku paling lama sampai dengan berakhirnya tahun anggaran 2022.
Kala itu, pemerintah berasumsi pandemi yang membebani keuangan negara akan bisa diatasi dalam tiga tahun anggaran, mulai 2020 sampai dengan 2022.
Saat ini, dua tahun selepas kasus pertama Covid-19 di Indonesia, ekspektasi positif cenderung memudar seiring dengan masih tingginya kasus harian baru Covid-19 akibat merebaknya varian Omicron.
Membatasi aktivitas masyarakat sama saja dengan membatasi aktivitas perekonomian. Pada situasi ini, upaya pemerintah memangkas defisit anggaran ke bawah 3 persen PDB pada 2023 pun menjadi semakin menantang.
Seperti yang sudah-sudah, peningkatan kasus Covid-19 beriringan dengan peningkatan ketidakpastian ekonomi. Hingga saat ini, belum ada cara yang lebih efektif untuk menahan laju penularan Covid-19 selain pembatasan aktivitas masyarakat.
Membatasi aktivitas masyarakat sama saja dengan membatasi aktivitas perekonomian. Pada situasi ini, upaya pemerintah memangkas defisit anggaran ke bawah 3 persen PDB pada 2023 pun menjadi semakin menantang.
Sebenarnya, untuk mengejar target defisit fiskal di bawah 3 persen PDB tahun depan, otoritas sudah mulai melakukan pengetatan. Hal itu sudah dirancang sejak awal tahun ini.
Dari sisi pendapatan, dampak dari pemberlakuan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) dan reformasi perpajakan akan berpotensi memberikan tambahan penerimaan. Selain itu, pemerintah juga bisa mengais penerimaan dari pengembalian aset eks BLBI.
Dari sisi anggaran belanja, langkah pengetatan terefleksi di dalam pemangkasan jumlah sektor usaha penerima insentif fiskal melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 3/PMK.03/2022 tentang Insentif Pajak untuk Wajib Pajak Terdampak Pandemi Covid-19.
Alokasi dana Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) pun tidak lagi sebesar dua tahun sebelumnya. Anggaran PEN 2022 yang diumumkan awal tahun ini ditetapkan sekitar Rp 455,62 triliun. Alokasi anggaran PEN ini turun 38,8 persen dibandingkan dengan anggaran tahun sebelumnya.
Akan tetapi, desakan kepada pemerintah untuk menunda konsolidasi fiskal mulai banyak disuarakan oleh pemangku kepentingan ekonomi. Sentimen ini mengemuka dengan pertimbangan dunia usaha masih membutuhkan pendampingan dan insentif untuk mengakselerasi pemulihan kinerja.
Masih rapuh
Desakan tersebut tidak salah mengingat tantangan pemulihan ekonomi ternyata semakin kompleks. Ketegangan geopolitik di timur Eropa antara Ukraina dan Rusia jelas mengganggu jalannya pemulihan ekonomi global. Hal ini pasti berdampak pada pemulihan ekonomi nasional.
Bank Dunia juga menyarankan kepada Pemerintah Indonesia untuk bersikap rasional dengan menunda misi konsolidasi fiskal serta mempertahankan kebijakan yang longgar, baik dari sisi fiskal maupun moneter, dalam rangka menjaga momentum pertumbuhan ekonomi.
Kebijakan pemerintah masih perlu akomodatif merespons masih rapuhnya pemulihan ekonomi nasional. Konsolidasi fiskal memang sebuah misi yang perlu dicapai, tetapi diharapkan tidak mengabaikan risiko yang mengganggu struktur ekonomi nasional.
Selain pandemi, tantangan terbesar ada pada pengetatan kebijakan moneter oleh bank sentral Amerika Serikat, The Fed, yang berisiko menimbulkan tantrum.
Pengetatan (tapering) oleh The Fed pada tahun ini diperkirakan memicu kenaikan suku bunga acuan di negara maju, pengurangan stimulus, dan berimplikasi pada keluarnya aliran modal asing di negara berkembang atau capital outflow.
Kebijakan pemerintah masih perlu akomodatif untuk merespons masih rapuhnya pemulihan ekonomi nasional. Konsolidasi fiskal memang sebuah misi yang perlu dicapai, tetapi diharapkan tidak mengabaikan risiko yang mengganggu struktur ekonomi nasional. Konsolidasi fiskal perlu dilakukan secara perlahan dan hati-hati.
Perpanjangan masa berlaku Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Perppu No 1/2020 tentang penanganan pandemi Covid-19, yang mengakomodasi target konsolidasi fiskal, patut dipertimbangkan dengan berkaca pada kondisi ekonomi terkini.
Terlebih, hingga tahun kedua pandemi Covid-19 performa anggaran masih belum maksimal. Hal ini tecermin dari terbatasnya rasio pajak hanya sebesar 9,11 persen. Level ini masih di bawah prapandemi, yakni 10,2 persen pada 2018 dan 9,8 persen pada 2019.