Mengukur Efektivitas Kebijakan Fiskal Ekspansif di Masa Pandemi
Kebijakan APBN 2022 ekspansif sepertinya masih menjadi pilihan untuk melanjutkan dukungan pemulihan ekonomi. Kebijakan ini perlu dilaksanakan dengan efektif dan efisien agar tujuan kebangkitan ekonomi tercapai.
Oleh
SINTONG ARFIYANSYAH
·4 menit baca
Di masa ekonomi akibat pandemi seperti ini, kecepatan beradaptasi menjadi faktor kunci dalam mempercepat pemulihan kondisi perekonomian. Mereka yang mampu beradaptasi dengan cepat, akan tetap bertahan dan pulih. Mereka yang bersikeras untuk tak ingin berubah, akan tergerus oleh dinamika perubahan. Tuntutan adaptasi ini tentu tidak memandang bulu. Semua perlu berubah termasuk kebijakan adaptif yang dilakukan pemerintah.
Dalam upaya pengendalian ekonomi karena pandemi ini, pemerintah melakukan beberapa adaptasi. Salah satunya adalah melaksanakan kebijakan fiskal yang ekspansif, sesuai teori ekonomi Keynesian. Kebijakan tersebut yaitu meningkatkan belanja negara dan memberikan beberapa keringan atau relaksasi terhadap pungutan pajak dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Lalu bagaimana kinerja kebijakan ini dan dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi?
Kinerja APBN saat ini
APBN berusaha adaptif menghadapi pandemi dengan cara mempercepat respon melalui peningkatan belanja dalam program PC-PEN (Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional) dalam dua tahun masa pandemi. Kondisi ini tentu mengakibatkan defisit anggaran yang cukup lebar sebagai perbedaan antara belanja yang begitu masif dan proyeksi pendapatan yang masih lesu akibat belum pulihnya ekonomi serta kelonggaran perpajakan bagi para pelaku ekonomi.
Menurut APBN Kita, defisit APBN sebesar 4,65 persen dari Pendapatan Domestik Bruto (PDB) di tahun 2021. Ketika potensi penerimaan belum pulih akibat serangan pandemi, belanja yang cukup besar diharapkan mampu menjaga momentum pertumbuhan ekonomi ke depan. Landainya kasus Cpvid-19 di semester kedua tahun 2021, turut memberikan kontribusi positif pada pendapatan negara di tahun ini. Realisasi pendapatan negara dan hibah mencapai Rp 2.003 triliun atau tumbuh 21,56 persen dibanding tahun lalu.
Di sisi lain, pemerintah melakukan belanja negara yang ekspansif sebesar Rp 2.786 triliun. Kondisi ini mengakibatkan adanya defisit sebesar Rp 783 triliun. Defisit ini diperkirakan sebesar 4,65 persen dari PDB dan mempunyai nilai yang lebih rendah dibanding proyeksi APBN 2021 sebesar 5,70 persen.
APBN yang ekspansif bagi pertumbuhan ekonomi
Bapak ekonom dunia, John Maynard Keynes, menyatakan bahwa perlu ada campur tangan pemerintah melalui kebijakan fiskal untuk membantu ekonomi terhindar dari kondisi ekstrem seperti resesi. Salah satu kebijakan yang perlu diambil dalam menghadapi situasi ini adalah kebijakan fiskal yang ekspansif. Kebijakan ini adalah meningkatkan belanja pemerintah dan menurunkan tarif pajak yang dirancang untuk memberikan stimulus ekonomi dan meningkatkan permintaan (demand) dalam perekonomian.
Senada dengan arah ekonom tersebut, APBN Indonesia juga dirancang lebih ekspansif ketika pandemi ini di mulai tahun 2020. Hal ini terlihat dari kenaikan belanja yang cukup signifikan selama dua tahun terakhir. Di tahun 2020, belanja negara mengalami kenaikan sebesar 12,15 persen dan pada tahun 2021, belanja juga melanjutkan tren kenaikan signifikan yang mencapai 7,37 persen.
APBN Indonesia juga dirancang lebih ekspansif ketika pandemi ini di mulai tahun 2020.
Secara perlahan, belanja yang ekspansif ini mampu membantu meningkatkan akselerasi pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2021. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2021 mencapai 3,69 persen, setelah di tahun 2020 mengalami pertumbuhan ekonomi yang negatif sebesar 2,07 persen. Pertumbuhan ekonomi di sepanjang tahun 2021 tak lepas dari kinerja pertumbuhan ekonomi kuartal IV-2021 yang mencapai puncaknya, yaitu 5,02 persen.
Hal ini memberikan gambaran bahwa belanja pemerintah yang ekspansif membantu meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Teori kebijakan fiskal ekspansif dalam sudut pandang umum, ternyata mampu mengarahkan pertumbuhan ekonomi kembali ke jalur yang tepat setelah mengalami resesi di tahun 2020.
Kebijakan tahun 2022
Kebijakan APBN 2022 ekspansif sepertinya masih menjadi pilihan untuk melanjutkan dukungan pemulihan ekonomi. Belanja negara diproyeksikan sebesar Rp 2.714 triliun dan sisi lain pendapatan diperkirakan sebesar Rp 1.846 triliun. Kondisi ini menyebabkan defisit anggaran yang diperkirakan mencapai Rp 868 triliun atau 4,85 persen dari PDB. Kebijakan ini perlu dilaksanakan dengan efektif dan efisien agar tujuan kebangkitan ekonomi negeri di tahun ini dapat tercapai serta mampu menjaga pertumbuhan ekonomi di kondisi ideal.
Sistem keuangan negara harus adaptif dan terus bekerja keras dalam memberikan bantuan dan memulihkan ekonomi negeri. Konsekuensinya tentu memang APBN diperkirakan akan cukup lebar hingga 2-3 tahun ke depan karena kebijakan fiskal yang ekspansif. Namun apabila terlaksana dengan baik, diharapkan defisit tersebut akan semakin berkurang dan kembali ke jalur ideal yaitu di bawah 3 persen dari PDB.
Kebijakan fiskal APBN yang ekspansif dan adaptif perlu dilaksanakan. Harapannya tentu adalah pemulihan ekonomi yang semakin baik, meningkatnya produktivitas hingga berdampak kepada semakin sehatnya ekonomi bangsa ke depan. APBN diharapkan dapat menjadi salah satu instrumen efektif dalam mengendalikan ekonomi di saat pandemi seperti ini, kondisi dimana dituntutnya perubahan yang begitu besar dalam menghadapi dinamika peradaban.
Sintong Arfiyansyah, Pegawai Direktorat Jenderal Perbendaharaan, Kementerian Keuangan