Pemerintah Didesak Lebih Serius dalam Mengendalikan Produk Tembakau
Hasil survei menunjukkan perokok di Indonesia semakin meningkat. Pemerintah didesak untuk lebih serius mengendalikan produk tembakau dengan mengamendemen peraturan hingga melarang iklan rokok di media digital.
Oleh
PRADIPTA PANDU MUSTIKA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Hasil laporan dari Global Adult Tobacco Survey atau GATS 2021 yang menyebut jumlah perokok di Indonesia semakin bertambah dinilai telah menjadi rapor merah bagi pemerintah. Pemerintah didesak untuk lebih serius mengendalikan produk tembakau dengan mengamendemen peraturan hingga melarang ikan rokok di media digital.
Laporan GATS 2021 menunjukkan terjadi penambahan angka perokok dewasa di Indonesia yang signifikan dalam 10 tahun terakhir. Pada 2021 tercatat angka perokok dewasa 60,3 juta orang dan meningkat menjadi 69,1 juta orang pada 2021 atau bertambah 8,8 juta orang. Di sisi lain, prevalensi merokok sedikit mengalami penurunan dari semula 1,8 persen menjadi 1,6 persen.
Laporan GATS 2021 juga menyatakan belanja untuk pembelian rokok bulanan rumah tangga rata-rata mencapai Rp 382.000. Apabila disandingkan dengan data rata-rata pengeluaran dari Badan Pusat Statistik (BPS), angka belanja rokok ini lebih tinggi dibandingkan dengan belanja untuk makanan bergizi, seperti sayuran, ikan, telur, susu, daging, dan buah-buahan.
Cukai rokok merupakan sumbangan atau denda dari para perokok dan bukan hasil kinerja industri rokok. (Hasbullah Thabrany)
Selain penambahan angka perokok dewasa, laporan GATS juga menunjukkan adanya lompatan iklan rokok di media internet atau digital. Tercatat pada 2011 iklan rokok ini hanya memiliki persentase 1,9 persen dan meningkat menjadi 21,4 persen pada 2021.
Menanggapai laporan tersebut, Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia(YLKI) Tulus Abadi menyebut bahwa peningkatan ini seolah menjadi lonceng kematian bagi masyarakat Indonesia karena akan berdampak terhadap sosial masyarakat. Bahkan, peningkatan ini juga berdampak terhadap perekonomian karena rumah tangga miskin jauh lebih mementingkan konsumsi tembakau ketimbang makanan bergizi.
”Data ini menunjukkan akan sangat susah bagi Pemerintah Indonesia untuk mengatasi fenomena stunting (tengkes) yang mencapai 24 persen. Sebab, uang yang seharusnya digunakan untuk memenuhi gizi atau protein justru dihabiskan untuk rokok,” ujarnya dalam konferensi pers secara daring, Jumat (3/6/2022).
Menurut Tulus, peningkatan jumlah perokok juga turut menambah prevalensi penyakit tidak menular. Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, prevalensi kanker meningkat dari 1,4 persen pada 2013 menjadi 1,8 persen pada 2018. Prevalensi penyakit lainnya juga meningkat, seperti stroke dari 7 persen menjadi 10,9 persen, ginjal kronik dari 2 persen menjadi 3,8 persen, dan diabetes melitus dari 6,9 persen menjadi 8,5 persen.
Data yang disajikan GATS 2021 dinilai Tulus akan menjadi warisan buruk bagi pemerintah menjelang berakhirnya masa jabatan Presiden Joko Widodo pada 2024. Bahkan, pemerintah seolah menjadikan masa depan kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan warga sebagai tumbal dengan dalih investasi.
Meski demikian, Tulus memandang masih ada waktu bagi pemerintahan Joko Widodo untuk meninggalkan warisan yang positif. Hal itu bisa dilakukan jika pemerintah segera merevisi amendemen Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan.
Selain itu, pemerintah juga didesak untuk segera melarang penjualan rokok batangan sekaligus iklan rokok di media internet. Sebab, di era teknologi saat ini iklan rokok sudah mulai merebak di media internet sehingga dapat memengaruhi anak-anak.
Iklan rokok
Senada dengan Tulus, Ketua Yayasan Lentera Anak Lisda Sundari juga mendorong agar pemerintah memperketat regulasi terkait iklan rokok di seluruh media, termasuk internet. Regulasi ini dibutuhkan karena hasil survei GATS menunjukkan masih banyak orang yang terpapar oleh iklan rokok karena intensitasnya yang terus meningkat setiap tahun.
Pelarangan iklan rokok juga menjadi salah satu rekomendasi dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Dari rekomendasi WHO, iklan rokok perlu dilarang karena menjadi bentuk promosi terdepan yang dilakukan industri rokok untuk mempertahankan dan meningkatkan konsumen mereka dengan menormalisasikan produk-produk tembakau.
Menurut Lisda, secara umum peningkatan jumlah perokok di Indonesia dari survei GATS tidak hanya dari usia dewasa, tetapi juga anak-anak. Hasil survei ini menandakan ada pembiaran oleh pemerintah terhadap perlindungan masyarakat dari zat aditif rokok, termasuk rokok elektrik.
”Perubahan tidak cukup dengan edukasi. Pemerintah mempunyai wewenang untuk membuat regulasi yang lebih ketat tentang pengendalian tembakau. Dengan adanya regulasi ini, nantinya edukasi bisa mengikuti,” ucapnya.
Ketua Umum Komnas Pengendalian Tembakau Hasbullah Thabrany menambahkan, negara dan masyarakat umum seharusnya tidak membanggakan industri dan cukai rokok yang menjadi salah satu pendapatan negara terbesar. Sebab, cukai rokok merupakan sumbangan atau denda dari para perokok dan bukan hasil kinerja industri rokok.
”Pendapatan negara yang besar dari cukai rokok ini menggambarkan bahwa perilaku rakyat yang tidak bagus. Informasi ini seharusnya bisa diluruskan agar kebijakan pengendalian konsumsi tembakau tidak terus menyimpang dari sesuatu yang normal di dunia,” katanya.