Belanja Rokok Rp 382.000 Per Bulan, Lebih Tinggi dari Membeli Makanan Bergizi
Global Adult Tobacco Survey (GATS) 2021 melaporkan belanja rumah tangga untuk membeli rokok mencapai Rp 382.000 per bulan. Jumlah itu lebih tinggi daripada pengeluaran membeli makanan bergizi.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·3 menit baca
KOMPAS/ALIF ICHWAN
Untuk mengatasi polusi udara, selain adanya pembatasan tempat merokok, juga ditegakkannya larangan merokok ditempat-tempat yang telah ditentukan.
JAKARTA, KOMPAS — Global Adult Tobacco Survey atau GATS 2021 yang melibatkan 10.170 rumah tangga di Indonesia sebagai responden menyebutkan jumlah perokok dewasa bertambah 8,8 juta orang dalam sepuluh tahun terakhir. Rerata belanja rokok mencapai Rp 382.000 per bulan, lebih tinggi daripada pengeluaran untuk membeli makanan bergizi.
Wakil Menteri Kesehatan Dante Saksono Harbuwono mengatakan, hasil survei itu menjadi tantangan sosio-ekonomi dalam mengedukasi masyarakat. Merokok tidak hanya membebani ekonomi rumah tangga, tetapi juga membahayakan kesehatan.
”Salah satu yang memprihatinkan, ternyata biaya yang dikeluarkan untuk rokok lebih tinggi dibandingkan untuk makanan bergizi,” ujarnya saat meluncurkan Data Hasil GATS 2021 dalam Hari Tanpa Tembakau Sedunia 2022 di Gedung Kementerian Kesehatan, Jakarta, Selasa (31/5/2022).
KOMPAS/TATANG MULYANA SINAGA
Wakil Menteri Kesehatan Dante Saksono Harbuwono meluncurkan Data Hasil Global Adult Tobacco Survey (GATS) 2021 dalam Hari Tanpa Tembakau Sedunia 2022 di Gedung Kementerian Kesehatan, Jakarta, Selasa (31/5/2022).
GATS merupakan standar global untuk secara sistematis memantau penggunaan tembakau (isap dan kunyah) oleh orang dewasa dan melacak indikator-indikator utama pengendalian tembakau. Di Indonesia, GATS dilaksanakan sebagai survei rumah tangga terhadap orang berusia 15 tahun atau lebih oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kemenkes.
Dante menuturkan, pengendalian belanja rumah tangga dilakukan oleh bapak sebagai pencari nafkah utama. Penghasilannya terlebih dahulu dibelanjakan atau dialokasikan untuk membeli rokok sebelum diserahkan kepada istri untuk membeli kebutuhan lainnya.
”Hal ini disebabkan faktor adiktif rokok sulit dikendalikan. Karena tidak bisa mengendalikan, timbul keinginan membelanjakan uang untuk membeli rokok semakin banyak. Ini tugas kita bersama untuk mengedukasi sehingga belanja rokok menjadi lebih sedikit,” ujarnya.
Bertambahnya jumlah perokok baru menjadi salah satu tantangan terbesar Indonesia dalam mengendalikan penggunaan tembakau. Diperlukan dukungan fasilitas kesehatan memadai untuk membantu masyarakat berhenti merokok.
Kenaikan cukai rokok pun belum cukup signifikan mengurangi jumlah perokok. Meskipun prevalensinya berkurang 1,6 persen, terdapat 8,8 juta perokok baru dalam satu dekade terakhir.
”Cukai meningkat, harga rokok sudah tinggi. Namun, jumlah perokok terus bertambah. Kami akan berupaya sehingga masyarakat lebih teredukasi,” ujarnya.
Dante mengingatkan merokok merugikan kesehatan karena berisiko memicu berbagai penyakit, seperti jantung dan kanker. Hal ini juga akan berimplikasi pada pembiayaan pengobatan dalam jangka panjang.
”Upaya pendekatan keluarga menjadi salah satu momentum yang sangat penting dari penemuan survei GATS ini. Memberikan edukasi berbasis keluarga agar orang mau berhenti merokok dan lebih banyak belanja makanan bergizi,” katanya.
Perwakilan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) untuk Indonesia N Paranietharan menghadiri Peluncuran Data Hasil Global Adult Tobacco Survey (GATS) 2021 dalam Hari Tanpa Tembakau Sedunia 2022 di Gedung Kementerian Kesehatan, Jakarta, Selasa (31/5/2022).
GATS 2021 turut melaporkan prevalensi pengguna rokok elektrik di Indonesia yang mencapai 3 persen atau sekitar 6,2 juta orang. Jumlah itu melonjak 10 kali lipat dibandingkan survei pada 2011.
”Tidak ada bedanya risiko merokok elektrik dan konvensional. Keduanya sama-sama berbahaya, baik untuk masa sekarang terkait masalah sosial ekonomi maupun untuk masa depan pada masalah kesehatan yang ditimbulkan,” ucapnya.
Perwakilan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) untuk Indonesia N Paranietharan menyebutkan, terus bertambahnya jumlah perokok baru menjadi salah tantangan terbesar Indonesia dalam mengendalikan penggunaan tembakau. Diperlukan dukungan fasilitas kesehatan memadai untuk membantu masyarakat berhenti merokok.
”Setiap puskesmas di negara ini mungkin perlu memiliki satu tenaga profesional untuk program berhenti merokok dalam lima tahun mendatang. Tetapkan juga target setiap sesi konseling sebagai indikator pemantauannya,” ujarnya.
Direktur Jenderal Kesehatan Masyarakat Kemenkes Maria Endang Sumiwi mengatakan, saat ini terdapat sekitar 70 juta perokok dewasa di Indonesia. Mayoritas merupakan laki-laki.
Data GATS menyebutkan, 63,4 persen perokok berencana atau mempertimbangkan berhenti merokok. Namun, hanya 38,9 persen perokok yang mengunjungi penyedia layanan kesehatan berhenti merokok dalam setahun terakhir.
Maria mengatakan, 121 juta orang mengaku terpapar asap rokok di rumah. Sementara terdapat sekitar 20 juta orang terpapar asap rokok pada area-area tertutup di tempat kerja.
”Data GATS diharapkan membantu Indonesia mengevaluasi dan menyusun perencanaan kebijakan pengendalian konsumsi tembakau. Tujuan utamanya untuk melindungi kesehatan masyarakat, terutama generasi muda, dari bahan adiktif yang ada pada rokok,” ujarnya.