Gizi Baik Prasyarat Keberhasilan Pendidikan Anak sejak Dini
Pemenuhan gizi anak usia dini yang seimbang jadi prasyarat suksesnya pendidikan. Untuk itu, literasi gizi di satuan pendidikan dan keluarga jadi penting untuk memastikan anak-anak mendapat asupan gizi seimbang.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Literasi gizi dalam pendidikan anak usia dini penting, baik untuk pendidik, guru, maupun anak-anak. Gizi yang baik menjadi modal atau prasyarat berhasilnya pendidikan anak-anak. Literasi gizi juga menjadi solusi masalah nutrisi anak, baik kekurangan maupun kelebihan gizi, yang mengganggu tumbuh kembang anak secara optimal.
Di webinar bertajuk “Guru Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) sebagai Jembatan Peningkatan Literasi Gizi Keluarga“ yang digelar Yayasan Abhipraya Insan Cendekia Indonesia (YAICI) dan Pegurus Pusat (PP) Aisyiyah, Senin (18/4/2022), Ketua Majelis Pedidikan Dasar dan Menengah PP Aisyiyah Fitniwilis mengatakan, anak-anak usia dini masih dalam perkembangan sehingga butuh gizi yang baik. Sayangnya, banyak orangtua, bahkan pendidik di PAUD, yang belum memiliki literasi gizi yang baik. Padahal, salah satu masalah gizi buruk, yakni stunting atau tengkes, masih banyak dialami anak-anak Indonesia. Prevalensi tengkes pada 2021 sebesar 24,4 persen.
“Kami meyakini guru PAUD bisa berperan sebagai jembatan. Di PAUD, pendidik bisa mengomunikasikan dan memberi informasi seperti dalam kegiatan parenting oleh sekolah atau secara informal agar orangtua paham tentang gizi yang baik untuk anak-anak mereka,“ ujar Fitniwilis.
Ketua Harian YAICI Arif Hidayat Arif Hidayat mengatakan, bukti sederhana rendahnya literasi gizi di keluarga, terutama para ibu, terlihat dari masih tingginya persepsi bahwa susu kental manis (SKM) adalah susu. Akibatnya, para ibu memberi anak balitanya SKM yang kandungan gulanya tinggi secara rutin, bisa tiga gelas atau lebih dalam sehari. Berdasarkan survei YAICI di Kendari, Sulawesi Tenggara, pada 2018, misalnya, persepsi para ibu bahwa SKM adalah susu mencapai 97 persen.
Bahkan, konsumsi SKM pada 2007-2018 empat kali lebih banyak dibandingkan dengan susu bubuk untuk bayi. Harga yang murah, mudah didapat, hingga anggapan bahwa SKM bisa menggantikan ASI dan makanan lainnya menjadi penyebab tingginya konsumsi SKM.
Mengonsumsi susu mulai dari air susu ibu (ASI) ekslusif 0-6 bulan, lalu susu pertumbuhan memang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan protein anak. Akan tetapi, akibat persepsi yang keliru tentang SKM selama ini, anak bukannya terpenuhi proteinnya, malah kelebihan gula. “Nah, gula yang masuk ke tubuh anak secara berlebihan lewat SKM itu membuat anak jadi kenyang. Anak jadi malas makan sehingga kebutuhan gizi penting lainnya tidak terpenuhi,“ ujar Arif.
Padahal, kebutuhan gula untuk anak 2-3 sendok makan per hari. Jika anak balita terus menerus minum SKM, berisiko kegemukan (obesitas), hipertensi, hingga masalah ginjal. “Kampanye untuk mengubah persepsi SKM adalah susu ini terus dilakukan. Saat ini sudah ada perubahan persepsi bahwa SKM itu sebagai topping atau tambahan untuk makanan, bukan sebagai susu,“ kata Arif.
Pada 2019, persepsi itu mulai menurun karena pemerintah sudah gencar mengampanyekan SKM memiliki kandung gula yang tidak layak untuk anak di bawah usia 12 bulan. Persepsi SKM sebagai susu pun turun menjadi 37 persen.
Berat dan tinggi badan
Ketua Umum Ikatan Dokter anak Indonesia (IDAI) Piprim Basarah Yanuarso memaparkan, malanutrisi pada anak beragam, mulai dari masalah growth faltering (pertumbuhan tidak sesuai usia), tengkes, hingga obesitas. “Pengelola PAUD bisa membantu mencegah masalah gizi pada anak dengan memantau tumbuh kembang anak. Minimal memantau berat badan dan tinggi badan anak sehingga tahu normal atau tidak,” kata Piprim.
Tengkes pada anak tidak terjadi tiba-tiba. Satu indikasi yang bisa dipantau adalah berat badan. Jika dalam enam bulan tidak naik 1,2 kilogram, orangtua harus mulai waspada. Apalagi, di rentang hingga 24 bulan, ada masa anak mulai susah makan sehingga kebutuhan gizi anak harus dipantau guru ataupun orangtua. “Tengkesdimulai dari berat badan tidak naik karena kurang gizi. Jadi, memberikan makan yang baik dan benar sangat penting. Bayi dan anak batita, sesuai standar WHO, perlu iniasi menyusu dini (IMD) 1 jam setelah lahir, ASI ekslusif selama 6 bulan, pemberian makanan pendamping ASI (MPASI) yang bergizi, dan lanjutkan pemberian ASI sampai 2 tahun,“ kata Piprim.
Mulai usia enam bulan, anak memerlukan tambahan menu lengkap, mulai dari karbohidrat, protein hewani/nabati, lemak, sedikit sayur/buah untuk pengenalan, hingga produk susu. Anak di bawah dua tahun butuh asupan pembentukan otak, utamanya dari lemak. Adapun jumlah sayur/buah sedikit karena bisa mempengaruhi penyerapan zat besi yang ada di protein hewani.
Pengelola PAUD bisa membantu mencegah masalah gizi pada anak dengan memantau tumbuh kembang anak. Minimal memantau berat badan dan tinggi badan anak sehingga tahu normal atau tidak.
Sementara produk susu penting karena secara umum asupan potein hewani kurang. Padahal, kebutuhan protein bisa dipenuhi dari mengonsumsi telur dan daging.
Di atas umur satu tahun, ujar Piprim, anak tidak wajib minum susu jika kebutuhan proten dari makanan lain terpenuhi. Kebutuhan protein 20 gram bisa terpenuhi dari makan tiga butir telur ayam sehari. “Kalau protein tidak bisa terpenuhi, susu sebagai alternatif. Untuk usia di atas 1 tahun ada susu pertumbuhan hingga susu segar UHT. Anak usia 1-2 tahun butuh 500-600 ml per hari atau 2-3 gelas per hari. Kalau kebanyakan susu, anak tidak mau makan,“ kata Piprim.
Piprim juga mengatakan, makanan anak diusahakan bervariasi agar makronutrien dan mikronutrien anak terpenuhi dan berganti-ganti. Hal ini juga untuk memastikan anak tidak kekurangan mikronutrien
Gizi dan stimulasi
Guru Besar Gizi dari Universitas Riau dan praktisi pendidikan PAUD Netty Herawatimengatakan, gizi dan stimulasi pendidikan yang baik berdampak pada kecerdasan anak. Oleh karena itu, gizi dan kesehatan jadi prasyarat bagi keberhasilan pendidikan. Perkembangan kognitif tidak tercapai kalau kebutuhan gizi tidak terpenuhi. “Pemenuhan gizi seimbang itu dari makanan di setiap tahapan usia. Tidak boleh kelebihan dan kekurangan. Keragaman jenis dan jumlah makanan itu yang penting,” kata Netty.
Netty menambahkan, konsumsi gula, garam, dan lemak untuk anak-anak kini banyak yang berlebihan. Sebaliknya, protein kurang. “Masalah literasi gizi ini ternyata perlu dipahami sejak dini. Untuk anak-anak bisa jadi bagian dari pendidikan bermain sambil belajar. Lalu, guru juga perlu berkoordinasi dengan orangtua supaya pembelajaran dan pembiasaan gizi yang baik dari sekolah bisa dilanjutkan di rumah serta bekerja sama dengan pihak lain, seperti posyandu atau puskesmas, untuk pemantauan tumbuh kembang anak secara rutin,“ ujar Netty.
Netty menyayangkan, dalam draft Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional inisiasi pemerintah, salah satu tujuan pendidikan, yakni sehat, dihilangkan. “Jangan bilang untuk sehat itu hanya tujuan dari Kementerian Kesehatan. Sebab, prasyarat sehat ini penting untuk pembelajaran dan pembentukan perilaku baik melalui pendidikan,“ katanya.
Padahal, pembelajaran literasi gizi di PAUD yang mengusung semangat holistik integratif penting artinya. Pengelola PAUD bisa membuat program pembelajaran dan pembiasaan tumbuh kembang anak dari aspek pemenuhan gizi seimbang dalam kurikulum hingga program parenting maupun kunjungan ke rumah anak. “Menimbang berat badan dan mengukur tinggi badan anak memang bukan tugas lembaga PAUD. Namun, memiliki hasil penimbangan dan pengukuran harus dilakukan PAUD. Jika tiga bulan berturut-tuurt ada masalah di berat badan, misalnya, harus dipantau dan dikomunikasikan ke orangtua. Tengkes itu awalnya terlihat dari berat badan,“ ujar Netty.
Ketua Pengurus Pusat Aisyiyah Masyitoh Chusnan mengatakan, literasi gizi semakin penting di PAUD. Hal ini terlihat dari pemahaman orangtua soal SKM yang dianggap sebagai susu untuk anak-anak mereka. Kerja sama pengelola PAUD dan orangtua untuk memastikan tumbuh kembang anak lewat kebutuhan gizi seimbang setiap harinya penting untuk memastikan terbentuknya generasi emas 2045 bagi bangsa.
“Para guru PAUD bisa mulai dari hal sederhana dengan memantau bekal anak di sekolah. Jika yang dikonsumsi anak tidak masuk dalam gizi berkualitas, guru bisa memberi masukan ke orangtua, memberi informasi lewat parenting atau penyuluhan,“ kata Masyitoh.
Literasi gizi dibutuhkan untuk membekali pendidik dan orangtua memahami keseimbangan kualitas dan kuantitas makanan yang dikonsumsi. “Jika guru punya literasi gizi yang baik, dia bisa menilai makanan yang dibawa anak berkualitas atau tidak,“ ujar Masyitoh.