Masalah tengkes di lapangan sangat kompleks. Untuk itu, butuh keterpaduan intervensi dari berbagai bidang terkait untuk menurunkan angka tengkes.
Oleh
ADHITYA RAMADHAN
·3 menit baca
SOE, KOMPAS — Penanganan tengkes di Tanah Air harus dilakukan secara terpadu dengan melibatkan semua pihak. Tanpa upaya itu, target prevalensi tengkes sebesar 14 persen pada tahun 2024 sulit tercapai mengingat kompleksnya persoalan yang ada di lapangan.
Saat berkunjung ke Desa Kesetnana, Kecamatan Mollo Selatan, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Kamis (24/3/2022), Presiden Joko Widodo menyampaikan, sumber daya manusia sangat menentukan maju tidaknya sebuah negara. Tanpa kerja terpadu dari pemerintah kabupaten/kota, provinsi, pemerintah pusat, dan seluruh masyarakat, target penurunan tengkes sulit diraih.
”Saya kira kalau intervensinya terpadu, termasuk urusan air di NTT yang bukan perkara mudah juga dikerjakan terpadu, semuanya akan membuat target 14 persen tercapai,” kata Presiden.
Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo mengatakan, menurunkan tengkes sesuai target harus dilakukan secara konvergensi. Berbagai kementerian dan lembaga harus bekerja sama untuk mempercepat penurunan tengkes. ”Secara nasional anggaran percepatan penurunan tengkes Rp 25 triliun untuk intervensi spesifik dan sensitif,” katanya.
Di lapangan Kesetnana, Presiden berdialog secara virtual dengan sejumlah kepala daerah di NTT, yakni Bupati Ende, Wali Kota Kupang, Bupati Flores Timur, dan Bupati Sumba Barat Daya.
Kepada para kepala daerah, Presiden berpesan agar upaya menurunkan tengkes terkait gizi, pendampingan calon pengantin, pengukuran dan penimbangan berat badan bayi-bayi baru lahir, serta pemberian makanan tambahan terus dilakukan.
Saya kira kalau intervensinya terpadu, termasuk urusan air di NTT yang bukan perkara mudah juga dikerjakan terpadu, semuanya akan membuat target 14 persen tercapai.
Bupati Sumba Barat Daya Marthen Christian Taka mengutarakan, prevalensi tengkes di Sumba Barat Daya meningkat dari 38 persen tahun 2021 menjadi 44 persen tahun 2022. Oleh karena itu, hal ini akan ditindaklanjuti dengan langkah inovatif melibatkan pemerintah desa. ”Kami kumpulkan di Desa Walonda, ada 102 anak balita tengkes hadir semua di belakang saya. Kami intensifkan penanganan di tingkat desa,” katanya.
Saat ini, NTT termasuk provinsi dengan jumlah anak tengkes tertinggi di Indonesia. Sebanyak 15 kabupaten/kota di NTT memiliki prevalensi tengkes di atas 30 persen dan 7 daerah lainnya memiliki prevalensi tengkes 20-30 persen.
Berdasarkan Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) 2021, prevalensi tengkes di Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) sebesar 48,3 persen yang artinya 48 dari 100 anak tengkes. Angka tersebut bahkan lebih dua kali lipat dari standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang hanya menoleransi angka prevalensi tengkes di kisaran 20 persen. Kabupaten TTS menjadi daerah dengan prevalensi nomor satu di antara 246 kabupaten/kota di 12 provinsi yang menjadi prioritas penanganan tengkes.
Dari lapangan Kesetnana, Presiden mengunjungi sejumlah rumah keluarga yang memiliki anak tengkes di RT 003 RW 001 Desa Kesetnana. Di sela-sela kunjungan ke rumah ini, Presiden Joko Widodo menyampaikan, penanganan tengkes tidak cuma masalah gizi. Penanganan harus dimulai pada calon pengantin agar mereka tahu dan memahami apa yang perlu disiapkan dan dilakukan saat hamil dan melahirkan.
”Belum tentu mereka mengerti apa yang harus disiapkan. Untuk itu, para calon pengantin perlu didampingi agar mereka tahu soal gizi anak,” ujar Joko Widodo.
Selain itu, kondisi rumah warga yang tidak layak dan tidak memiliki sumber air bersih sendiri juga akan diintervensi. Sebab, kondisi ini berkontribusi pada terjadinya tengkes.
Ketua RT 003 RW 001 Desa Kesetnana Osiah Tamelan menyampaikan, salah satu hambatan di desanya adalah terbatasnya sumber air bersih. Umumnya, warga membeli air bersih untuk keperluan sehari-hari. Terdapat sebuah sumur umum yang bisa dimanfaatkan, tetapi ketika musim kemarau volumenya surut.
”Kalau musim panas warga sampai tidur di dekat sumur untuk menunggu air. Pengambilan air dibatasi dua jeriken per keluarga. Kalau begini terkadang anak kecil jarang mandi,” tutur Osias.