Presiden Turun Tangan Datangi Lumbung ”Stunting” Tertinggi Nasional
Presiden Joko Widodo akan mendatangi Kabupaten Timor Tengah Selatan, NTT, untuk melihat penanganan ”stunting”. Di daerah itu, sebanyak 48 dari 100 anak balita mengalami ”stunting”, tertinggi di seluruh Indonesia.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·4 menit baca
SOE, KOMPAS — Presiden Joko Widodo akhirnya turun tangan dengan memantau langsung penanganan stunting atau tengkes di Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur, Kamis (24/3/2022). Daerah itu menjadi ”lumbung stunting” tertinggi secara nasional. Sebanyak 48 dari 100 anak balita di sana mengalami stunting.
”Rencana kunjungan kerja Presiden Joko Widodo ke Soe, ibu kota Kabupaten Timor Tengah Selatan, Kamis, menunjukkan kepedulian dan komitmen dari Presiden dan pemerintah pusat akan penyelesaian persoalan stunting,” kata Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo dalam siaran pers.
Berdasarkan Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) 2021, prevalensi tengkes di Kabupaten Timor Tengah Selatan sebesar 48,3 persen, nomor satu tertinggi dari 246 kabupaten/kota di 12 provinsi yang menjadi prioritas penanganan. Angka tersebut bahkan lebih dua kali lipat dari standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang hanya menoleransi angka prevalensi tengkes di kisaran 20 persen.
Prevalensi sebesar 48,3 persen menempatkan Timor Tengah Selatan masuk kategori zona merah kasus tengkes. Kategori merah untuk prevalensi di atas 30 persen, zona kuning 20-30 persen, zona hijau 10-20 persen, dan zona hijau di bawah 10 persen.
Harus ada kesadaran untuk hidup bersih, tetapi yang sering menjadi kendala adalah ketersediaan air bersih.
Di NTT, kabupaten/kota dengan status zona merah tidak hanya Timor Tengah Selatan, tetapi juga 14 kabupaten/kota lainnya. Sementara untuk zona kuning sebanyak tujuh kabupaten/kota. Tidak ada satu pun kabupaten/kota di NTT yang berada di zona hijau, apalagi biru.
Menurut Hasto, Kabupaten Timor Tengah Selatan dan daerah dengan prevalensi tengkes tinggi lainnya tidak bisa ”berjuang” sendiri. Dibutuhkan kolaborasi dan konvergensi semua pemangku kepentingan, termasuk pelibatan semua komponen masyarakat untuk menangani kasus tersebut. Banyak persoalan mendasar yang perlu dibenahi bersama.
Berdasarkan data Pemerintah Kabupaten Timor Tengah Selatan, pada 2020 terdapat 37.320 penduduk miskin ekstrem dari total 455.410 penduduk. Sementara rumah tangga yang memiliki sanitasi layak baru mencapai 60,04 persen atau 69.602 rumah tangga. Hal ini menjadi penyebab masih rentannya masalah kesehatan di masyarakat.
Menurut Hasto, yang juga Ketua Pelaksana Tim Percepatan Penurunan Stunting Nasional, khusus untuk Kabupaten Timor Tengah Selatan diharapkan angka tengkesmenurun menjadi 43,01 persen di akhir 2022 dan melandai di angka prevalensi 36,22 persen di 2023 sehingga di 2024 bisa menuju di angka 29,35 persen.
Pembenahan sanitasi dan kelayakan rumah sehat untuk warga menjadi salah satu program percepatan penurunan dari lintas kementerian dan lembaga yang dikoordinasi BKKBN. Selain itu, juga deteksi dini potensi tengkes, seperti pemeriksaan ibu hamil, penimbangan dan pengukuran tinggi anak balita, kunjungan ke rumah warga, serta proses pembangunan program bedah rumah dan peresmian rumah pompa air.
Bukan masalah tunggal
Wakil Ketua DPRD Kabupaten Timor Tengah Selatan Yusuf Soru mengungkapkan, proses penanganan tengkes di daerah itu masih bersifat tunggal, yakni sebatas pada perbaikan gizi anak balita. Temuan itu didapat di 36 puskesmas yang menjadi sentra gerakan penanganan stunting. Sejumlah catatan kritis disampaikan kepada pemerintah, tetapi pelaksanaannya belum maksimal.
”Padahal, persoalannya jamak, seperti remaja sebagai calon ibu tidak dipersiapkan sejak awal dengan berbagai pengetahuan yang cukup, salah pola asuh, adanya infeksi bawaan dari bayi tersebut, dan kurangnya asupan gizi terhadap bayi,” tutur Yusuf, yang berasal dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan.
Ia menyarankan untuk dilakukan klasifikasi penyebab tengkes pada setiap bayi sehingga diperoleh data riil. Dengan begitu, penanganannya bisa menyelesaikan masalah. Jika metode penanganannya sama ke semua anak balita, hal itu tidak akan menyelesaikan masalah.
Direktur Yayasan Pijar Timur Indonesia Vinsen Kia Beda berpendapat, sanitasi masyarakat sangat berpengaruh terhadap tengkes. Ia mencontohkan, di Kabupaten Malaka, hingga Oktober 2020 sebanyak 114 desa atau sekitar 90 persen dari total 127 desa belum memenuhi standar sanitasi total berbasis masyarakat. Angka stunting di Malaka di atas 46 persen atau masuk zona merah.
”Harus ada kesadaran untuk hidup bersih, tetapi yang sering menjadi kendala adalah ketersediaan air bersih. Banyak daerah di NTT mengalami krisis air bersih. Karena itu, di sini pemerintah harus hadir untuk memberikan jalan keluar,” kata Vinsen.