Penanganan ”Stunting” di NTT Butuh Data Lapangan yang Akurat
Data ”stunting” dan gizi buruk di NTT diduga direkayasa demi kepentingan politik tertentu. Di tengah pandemi Covid-19 yang mendera, pemerintah terus mengungkapkan kesuksesan menurunkan angka ”stunting” di NTT.
Kepuasan keberhasilan penekanan kasus stunting dan gizi buruk di Nusa Tenggara Timur harus berdasar fakta lapangan bukan pada hasil analisis kepentingan. Data yang valid sangat mendesak untuk penanganan kasus secara menyeluruh, dan menyiapkan generasi muda daerah itu dengan sumber daya yang memadai. Pola asuh anak harus dimulai sejak dalam kandungan.
Rina Dewanti (8), siswa kelas 2 SD Gereja Kristen Injili Timor di Kelurahan Babau, Kabupaten Kupang, baru saja selesai mengonsumsi nasi putih tanpa lauk dan sayur. Tubuhnya kerdil dengan bobot 18 kg dan tinggi badan 70 cm. Ibu kandung Rina, Yelci Taek (32), telah meninggal dunia, hanyut terbawa banjir Badai Seroja pada 4 April 2021. Kini, ia dirawat ayahnya, Joben Tampani (38) dan kakeknya, Tanel Tampani (72).
”Beratnya itu ditimbang di apotek tiga hari lalu, bukan puskesmas atau posyandu. Tinggi badannya saya ukur sendiri. Saya tidak tahu, dia stunting atau menderita gizi buruk. Tetapi, yang jelas Rina dan adiknya, Putri Tampani, jarang sakit,” kata Joben Tampani di Babau, Kupang, Senin (15/3/2022).
Karena tidak sakit, Rina dan Putri (6) pun tidak pernah dibawa ke puskesmas oleh Joben. Sudah lebih dari tiga tahun keduanya tidak ikut timbang dan ukur badan di posyandu.
Berat badan Putri (6) 17 kg, dan tinggi badan 68 cm. ”Saya tidak paham, berat dan tinggi badan seperti itu masuk kategori stunting dan gizi buruk atau tidak. Kalau berat badan saya 56 kg dan tinggi 172 cm,” kata Joben.
Kondisi fisik kedua putrinya itu terus menurun pascakematian ibu kandung mereka. Kedua putrinya itu selalu sedih ketika menyebut nama ibu mereka. Kini, sehari-hari mereka ditemani oleh kakek mereka, Tanel Tampani, di rumah.
Baca juga : Atasi Kasus Stunting di NTT Sejak Masa Kehamilan
Joben bekerja serabutan, yakni tukang ojek konvensional dan penggarap lahan orang. ”Penghasilan tidak tetap. Kadang ada pelanggan ojek, kadang sepi. Anak-anak makan tiga kali, tetapi kebanyakan nasi kosong,” kata Joben.
Demas Takela (32), warga Desa Padang Panjang, Kecamatan Alor Timur, Alor, mengisahkan kematian anaknya, Markus Takela (4), akibat komplikasi gizi buruk dan penyakit lain.
”Saya tidak tahu, apakah anak saya meninggal karena gizi buruk atau gangguan paru-paru. Orang puskesmas pun tidak pernah omong saat saya bawa ke sana. Badannya memang kurus, mungkin hanya 5 kg sebelum meninggal dunia,” katanya singkat.
Siaran pers Humas Setda NTT, Jumat (4/3/2022), antara lain, menyebutkan, prevalensi stunting di NTT terus mengalami penurunan sejak 2018. Saat itu angka stunting di NTT 35,4 persen.
Susu 1-2 kaleng, dan makanan tambahan 1 kg per anak, untuk kebutuhan 1 bulan, tidak membawa efek apa-apa. (Sulistiowaty)
Tahun pertama masa jabatan Gubernur Viktor Laiskodat-Joseph Nae Soi, 2019, stunting turun menjadi 30 persen, tahun 2020 saat pandemi Covid-19 stunting turun lagi menjadi 24,2 persen, dan tahun 2021 terjun ke angka 20,9 persen.
Sarat kepentingan
Koordinator Perlindungan Perempuan dan Anak Yayasan Donders, Sumba, Imelda Sulistiowaty Seda mengatakan, data penurunan angka stunting dan gizi buruk yang ditampilkan pemda masih diragukan. Diduga data itu diterbitkan untuk kepentingan tertentu, apalagi menjelang pelaksanaan Pemilu 2024.
Baca juga : Gubernur Viktor Klaim Kasus ”Stunting” di NTT Turun
Dalam kondisi normal saja, kondisi ekonomi masyarakat terpuruk dan kasus gizi buruk dan stunting terus meningkat, apalagi di saat pandemi Covid-19 yang sudah berlangsung hampir tiga tahun, kemudian disusul Badai Siklon Tropis Seroja, 2021. Sangat mustahil jika stunting dan gizi buruk menurun drastis.
”Menyangkut nyawa manusia dan masa depan generasi muda NTT, semestinya data jangan dipolitisasi. Kalau angka 100, tetap 100 jangan diganti dengan persentase dengan menyebut 40 persen. Dampaknya sangat buruk bagi generasi muda NTT ke depan. Data valid, intervensi pun lebih tepat sasaran,” sebut Sulistiowaty.
Kegiatan rutin itu lalu diklaim telah mengintervensi. Lebih lagi, tindakan itu dicatat sebagai keberhasilan, lalu menghapus data stunting dan gizi buruk di wilayah itu.
Penanganan stunting dan gizi buruk harus dilakukan berkesinambungan, melibatkan orangtua sampai periode tertentu agar anak itu mengalami tumbuh kembang sesuai usia pertumbuhan. ”Susu 1-2 kaleng, dan makanan tambahan 1 kg per anak, untuk kebutuhan satu bulan, tidak membawa efek apa-apa,” katanya.
Kantong-kantong stunting dan gizi buruk terbanyak ada di desa dan kecamatan terpencil yang sulit dijangkau kendaraan. Kabupaten Sumba Barat Daya misalnya, Desa Bangedho, Balaghar, Kahale, dan Desa Watade, merupakan desa-desa pinggiran yang jarang dikunjungi pemerintah karena akses jalan yang buruk. Sebagian desa tidak memiliki air bersih, akses ke pasar sulit, dan banyak anak SD putus sekolah.
Baca juga : Kelor Sumber Gizi Penekan ”Stunting” yang Terabaikan
Di Provinsi NTT terdapat 3.353 desa dan kelurahan. Jika rata-rata satu desa (kelurahan) terdapat lima anak stunting, seperti ditemukan Donders di Sumba Barat Daya, ada sekitar 16.675 anak stunting. Ini benar-benar angka stunting serius bukan karena faktor genetika.
Sebagian orangtua dari anak-anak stunting dan gizi buruk menjadi TKI di luar negeri atau di luar NTT. Anak-anak itu dititipkan ke orangtua asuh, yakni tante, om, nenek, saudara kandung, ipar, dan seterusnya. Bahkan, ada di antara mereka mengalami kekeran seksual, penganiayaan, dan tidak mendapatkan pendidikan SD dan SMP.
Sebelum pemerintah membahas soal stunting, Donders sudah menangani masalah itu pada 2008, khusus anak usia 9 bulan–2 tahun. Jika lebih dari dua tahun tetapi masih ada anak yang mengalami kekerdilan, stunting, itu bisa akibat pola asuh salah, juga bisa karena keturunan atau genetik dari kedua orangtua.
”Ada yang bilang gen orangtua pun bisa diatasi. Kami sudah coba itu, tetapi agak sulit, kaki anak itu tetap pendek, hanya berat badannya naik,” katanya.
Gizi buruk pun mengarah ke stunting karena anak itu tidak mendapatkan asupan nutrisi yang cukup. Proses pengasuhan anak itu harus dimulai sejak anak dalam kandungan ibu, kemudian masa menyusui selama dua tahun kelahiran dengan asupan nustrisi ke ibu secara berimbang, dilanjutkan pemberian makanan tambahan kepada bayi setelah usia dua tahun.
”Pada usia di bawah lima tahun ini, standar gizi yang diberikan harus berimbang. Ada protein nabati dan hewani. Vitamin yang disajikan secara lengkap dan variatif setiap kali makan. Menu makan pun lebih bervariasi. Ibu rumah tangga yang cerdas sudah paham soal ini,” kata Sulistiowaty.
Baca juga : Komisi XI DPR RI Soroti Tingkat Kemiskinan di NTT
Kemiskinan
Nutrisi berimbang dan bermanfaat bagi tumbuh kembang anak itu dengan mudah didapatkan. Hampir di semua desa dan kelurahan di NTT mudah ditemukan berbagai jenis sayur, dan buah di samping telur ayam kampung. ”Kelor itu memiliki nilai gizi begitu tinggi dan luas, mudah didapatkan, tetapi ibu-ibu malas masak,” katanya.
Sikap malas itu terbangun sejak 20 tahun terakhir, ketika makanan instan, siap saji, merebak di kios-kios di desa dan kecamatan. Ibu rumah tangga pun malas masak untuk anak dan suami. Mereka lebih memilih makanan instan yang siap saji, seperti mi instan, roti, kue, gorengan, serta minuman instan seperti susu kotak, teh kotak, dan lainnya.
Penanganan stunting harus dilakukan sejak dini. Ibu-ibu harus menjaga kandungan dengan asupan gizi yang memadai, merawat, dan memberi asupan pada bayi, dan anak balita serta mendidik sampai dewasa.
Dalam agama tertentu, seperti Katolik, sebelum pasangan calon pengantin itu menikah, mereka mengikuti pembinaan rohani selam 1-2 pekan. ”Pemda bisa kerja sama untuk memberi pemahaman kepada calon pengantin itu soal pola asuh dan pendidikan anak,” kata Sulistiowaty.
Pemerintah pusat pernah mewacanakan agar calon ibu rumah tangga sebelum menikah perlu diberi pembinaan, baik oleh petugas agama maupun staf puskesmas atau posyandu terkait pola asuh anak. Sebaiknya wacana ini diangkat menjadi sebuah keputusan yang mengikat. ”Jika ini menjadi kewajiban, saya pikir bisa menekan angka stunting dan gizi buruk ,” katanya.
Baca juga : Harga Bahan Pokok di Kota Kupang Merangkak Pelan Sejak Desember 2020
Kepala Dinas Kesehatan Kota Kupang drg Retnowati mengatakan, tahun ini pihaknya mengalokasikan anggaran Rp 12 miliar untuk menangani 1.023 anak gizi buruk, dan 5.520 balita stunting. Anggaran ini merupakan akumulasi dari program kerja di dinas kesehatan dan beberapa unit atau dinas terkait.
Anggaran dari dinas kesehatan senilai Rp 2,4 miliar diperuntukan bagi pemberian makanan tambahan, dan sarana penunjang seperti alat pengukur dimensi tubuh meliputi berat, tinggi, lebar tubuh, panjang lengan, dan alat timbangan.
”Sisa anggaran lain tersebar di sembilan organisasi perangkat daerah seperti dinas pengendalian penduduk dan keluarga berencana,” katanya.