Kasus Tengkes Terus Menurun walau Tak Secepat Target
Pandemi Covid-19 membuat berbagai upaya kesehatan, termasuk penurunan tengkes, terganggu. Namun nyatanya, prevalensi tengkes tetap bisa diturunkan meski belum bisa mencapai target tinggi yang ditetapkan pemerintah.
Oleh
MUCHAMAD ZAID WAHYUDI
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Meski hampir dua tahun dihantam pandemi Covid-19, kasus anak tengkes nyatanya bisa terus ditekan. Walau belum bisa mencapai target yang ditetapkan, upaya yang dilakukan setidaknya sudah berada di jalur yang tepat. Namun, berbagai perbaikan program dan penguatan komitmen berbagai pihak perlu terus dilakukan.
Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) 2021 menunjukkan, prevalensi anak balita tengkes (stunting) pada 2021 mencapai 24,4 persen dari target 21,1 persen. Selama tiga tahun terakhir, antara 2019-2021, prevalensi tengkes menurun menjadi 2,27 persen atau 0,7 persen per tahun.
”Penurunan ini hampir sama dengan hasil pemodelan yang dilakukan WHO (Organisasi Kesehatan Dunia) dan Unicef (Dana Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa) bahwa rata-rata penurunan stunting di dunia antara 2000-2020 sebesar 0,5 persen per tahun,” kata Direktur Bina Keluarga Balita dan Anak, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional Irma Ardiana dalam webinar yang di selenggarakan The Habibie Center di Jakarta, Kamis (3/2/2022).
Dalam SSGI tersebut, ketimpangan masih menjadi isu utama dalam penurunan tengkes. Sejumlah provinsi memiliki prevalensi tengkes 30 persen atau lebih serta masuk kategori sangat tinggi, yaitu Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Barat, Aceh, dan Nusa Tenggara Barat. Dalam satu provinsi pun terjadi kesenjangan prevalensi tengkes antarkabupaten/kota.
Faktor genetik memang bisa memengaruhi tinggi badan, kecerdasan, dan kesehatan anak, tetapi pengaruhnya kecil dibandingkan faktor lingkungan.
Meski demikian, di tengah pandemi yang berdampak pada pembatasan sosial, penurunan pendapatan masyarakat, hingga perubahan fokus anggaran pemerintah hingga beberapa kali sepanjang 2021, nyatanya tengkes tetap bisa diturunkan. Indonesia menargetkan menurunkan prevalensi tengkes menjadi 14 persen pada 2024 dan 10 persen pada 2030.
Hingga 2024, pemerintah ditantang untuk bisa menurunkan tengkes hingga 3,4 persen per tahun. Target ini sangat menantang. Namun, ”Pengalaman negara Maharastra di India menunjukkan bahwa menurunkan prevalensi stunting hingga 3 persen per tahun itu bisa,” tegas Irma.
Dengan berbagai keterbatasan yang ada, lanjut Irma, penurunan tengkes difokuskan pada pencegahan lahirnya anak balita tengkes, tanpa mengesampingkan intervensi pada anak balita yang mengalami tengkes. Karena itu, intervensi yang dilakukan akan terfokus atau berbasis pada keluarga yang berisiko tengkes dengan penekanan pada penyiapan kehidupan berkeluarga.
Karena itu, BKKBN sebagai ketua tim percepatan penurunan tengkes akan memastikan seminimal mungkin terjadinya pernikahan di usia anak dan memberi jarak antarkelahiran yang baik guna menghindari bayi lahir prematur maupun berat lahir rendah. Selain itu, penyiapan kehidupan keluarga melalui penyiapan calon pengantin juga penting dilakukan.
Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Endang L Achadi mengatakan, jendela kritis pertumbuhan dan perkembangan manusia terjadi pada 8 minggu pertama usia janin. Di masa ini, hampir semua organ manusia sudah berkembang, mulai dari jantung, paru-paru, pankreas, ginjal, otot, hingga otak.
”Kondisi itulah yang mendasari mengapa seorang ibu sudah harus sehat sebelum kehamilan terjadi,” katanya. Masalahnya, kehamilan rata-rata baru diketahui setelah 2 minggu terlambat menstruasi yang artinya janin sudah berumur 4 minggu. Setelah itu, sebagian organ akan terus berkembang, tetapi sebagian sudah berhenti berkembang.
Jika pada masa 8 minggu kehamilan itu terjadi hambatan, seperti ibu yang tidak mendapat asupan gizi yang baik, dipastikan pertumbuhan dan perkembangan janin akan terganggu. Pertumbuhan tubuh janin bisa terhambat hingga anak jadi pendek saat dewasa. Otaknya tidak berkembang sehingga kemampuan kognitifnya rendah. Selain itu, organ-organ tubuhnya juga tidak bertumbuh dengan baik hingga memicu berbagai penyakit tidak menular saat dewasa.
Repotnya, tengkes ini bisa diturunkan. Artinya, ibu yang mengalami kekurangan gizi berpotensi untuk melahirkan anak tengkes. Jika anak yang lahir itu perempuan atau calon ibu, dia juga berpeluang melahirkan anak lagi atau cucu sang ibu juga dalam kondisi tengkes.
”Siklus ini terus berulang sehingga seolah stunting itu diturunkan. Padahal, lingkungan membuat kasus stunting terjadi berulang dan berakibat panjang,” tambahnya. Faktor genetik memang bisa memengaruhi tinggi badan, kecerdasan, dan kesehatan anak, tetapi pengaruhnya kecil dibandingkan faktor lingkungan.
Karena itu, Endang menilai upaya pemerintah untuk mencegah tengkes berbasis keluarga dengan menyiapkan remaja putri dan calon pengantin agar memiliki kesehatan fiisk yang baik sudah tepat. Kondisi ini membuat saat mereka mulai mengandung, kebutuhan zat gizi mereka sudah terjaga hingga meminimalkan risiko janin mengalami tengkes sejak dalam kandungan.
Sementara itu, ketua tim peneliti Studi Kebijakan Pencegahan Stunting di Era Pandemi Covid-19 dari The Habibie Center, Hesti Retno Budi Arini, mengatakan, pandemi terjadi bersamaan dengan beban triplet Indonesia dalam persoalan gizi, yaitu berat badan kurang (underweight), gizi buruk (wasting), dan tengkes (stunting). Gizi kurang dan gizi buruk menjadi faktor risiko terjadinya tengkes.
”Kondisi itu tak hanya memaparkan anak Indonesia pada berbagai risiko kesehatan dan produktivitas, tetapi juga kematian,” katanya. Tengkes merupakan pelanggaran hak anak. Pasal 24 Konvensi PBB tentang Hak-Hak Anak menyebut setiap anak berhak untuk mendapatkan standar kesehatan dan perawatan medis terbaik, air bersih, makanan bergizi dan lingkungan tinggal yang bersih dan aman.
Dari studi, berbagai intervensi untuk menekan prevalensi tengkes tetap dilakukan pemerintah meski dalam situasi pembatasna wilayah dan jaga jarak, seperti penyediaan dan distribusi suplementasi bagi kelompok rentan dan pemberian makanan tambahan bagi balita kurang gizi.
Namun dalam intervensi gizi spesifik tersebut, memang terjadi banyak modifikasi sebagai adaptasi dari berbagai keterbatasan yang ditimbulkan oleh pandemi. Telekonsultasi ibu hamil, pemantauan tumbuh kembang bayi secara mandiri, hingga pelatihan daring tenaga kesehatan dan kader banyak dilakukan.
Meksi demikian, beralihnya model pelayanan luring ke daring demi menghindari penyebaran Covid-19 itu tidak selalu berjalan mulus. Belum lagi, banyak masalah yang sebenarnya sudah terjadi sebelum pandemi, makin memperparah kondisi selama pandemi, seperti fasilitas kesehatan yang tidak merata dan aksesnya sulit, tidak maksimalnya asupan gizi anak, hingga rendahnya kesadaran berbagai pihak untuk mencegah tengkes.
Karena itu, Hesti menilai komitmen dan dukungan para pihak perlu terus diperkuat dalam penurunan tengkes. Penguatan komitmen itu bisa dilakukan sejak dari perencanaan program, penganggaran, hingga evaluasi pemonitoran. ”Intervensi yang dilakukan untuk menurunkan prevalensi stunting adalah tanggung jawab bersama hingga target prevalensi tengkes 14 persen pada 2024 dan 10 persen pada 2030 dapat tercapai,” katanya.