”Jamu Gendong” (jaga mulut ”gerakin” badan dong) menjadi kebiasaan yang perlu diterapkan demi menjaga kebugaran saat berpuasa.
Oleh
MACHRADIN WAHYUDI RITONGA
·4 menit baca
Pola dan asupan makanan hingga aktivitas yang terjaga akan membuat tubuh tetap sehat dan bugar dalam menjalani bulan Ramadhan. Bahkan, hal itu menjadi lebih penting bagi orang-orang yang memiliki masalah kesehatan, salah satunya yang tengah mengalami long covid.
Menurut dokter penyakit dalam Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Maya Kusumawati, perhatian ekstra diperlukan pada para eks pasien Covid-19 yang jelas berdampak pada tubuhnya. Untuk itu, mereka yang menjalani puasa perlu memahami kondisi badannya saat ini.
Selain memperhatikan pola makan, aktivitas juga disesuaikan dengan kondisi saat ini agar tubuh tidak terlalu terbebani. Maya menyebut jargon Jamu Gendong perlu diaplikasikan dalam berpuasa.
”Pada orang yang terdampak long covid, ada yang cepat lelah, ada yang agak pelupa, tergantung organ mana yang terdampak dan bermasalah. Karena itu, kita harus menjaga tubuh, caranya dengan Jamu Gendong ini,” ujar Maya dalam diskusi menjelang bulan Ramadhan bersama RSHS, Kamis (31/3/2022).
Ahli gizi dari RSHS, Ides Haeruman Taufik, yang turut hadir dalam diskusi daring itu menambahkan, orang yang terdampak long covid membutuhkan protein untuk menambah daya tahan tubuh. Protein ini bisa didapat dari tumbuh-tumbuhan atau nabati hingga dari daging, telur, dan susu atau produk hewani.
”Setelah terpapar Covid-19, tingkat imunitas turun. Maka yang perlu diperhatikan adalah asupan protein yang seharusnya lengkap, yang memiliki komponen esensial dan non-esensial demi daya tahan tubuh,” ujar Ides.
Ides berujar, untuk mendapatkan itu semua di bulan puasa, pola makan juga harus diperhatikan. Perhatian ini meliputi jadwal, jenis, dan jumlah asupan makanan.
Hal itu perlu dilakukan karena perubahan kebiasaan makan dibandingkan sebelum berpuasa. Jika tidak bijak menyikapinya, tubuh akan terkena dampaknya.
Ides pun menyoroti kebiasaan makan masyarakat selama bulan puasa yang lebih banyak asupan saat berbuka dibandingkan sahur. Padahal, tubuh lebih membutuhkan asupan saat sahur dibandingkan saat berbuka puasa.
”Sebenarnya, sahur harus maksimal karena kalori dan energi dari makanan diperlukan untuk menghadapi aktivitas 12-13 jam ke depan. Tapi, ini terbalik. Kebiasaan masyarakat itu seperti peribahasa sahur saayana, buka sagala aya (sahur seadanya, buka semua ada). Ini bisa memicu naiknya berat badan bahkan obesitas,” ujarnya.
Selain kebutuhan makro nutrisi seperti karbohidrat, protein, dan lemak, asupan mikro nutrisi seperti vitamin dan mineral juga dibutuhkan saat sahur. Menurut Ides, hal ini perlu mendapatkan porsi seimbang, terutama bagi orang yang terdampak long covid dan mereka yang seusai vaksin.
”Dalam trilogi makanan, ada sumber tenaga, zat pembangun, dan zat pengatur. Semua itu diperlukan untuk daya tahan tubuh. Protein berperan sebagai zat pembangun untuk daya tahan dan imunitas kita. Karena itu, ketika setelah vaksinasi, protein perlu diperhatikan untuk memaksimalkan daya kerjanya,” tutur Ides.
Kebiasaan makan berlebihan saat berbuka juga terjadi karena perubahan kebiasaan makan dan aktivitas selama berpuasa. Maya Kusumawati menjelaskan, saat berpuasa, ada beberapa pola makan yang menghilang hingga waktu tidur yang bergeser.
Perubahan ini bisa mengurangi jadwal masuknya makanan ke dalam tubuh. Di sisi lain, energi yang dihasilkan dari asupan makanan hanya bertahan 3 jam sehingga tubuh menggunakan cadangan dari hati hingga lemak tubuh.
”Ada perubahan jadwal makan, intake (asupan) makanan dan cairan hingga pola tidur. Berpuasa ini akan mengubah psikologis, fisiologis, hingga spiritual orang-orang yang berpuasa,” ujarnya.
Untuk berbuka puasa, Maya pun menyarankan untuk tidak memilih makanan yang membebani saluran pencernaan, seperti makanan berminyak dan santan. Sebab, organ-organ pencernaan ini telah beristirahat selama 8-12 jam karena berpuasa. Jika dibiasakan, hal ini bahkan bisa meningkatkan risiko, terutama bagi orang yang mengalami diabetes karena gula darah yang melonjak.
”Setelah beristirahat 8-12 jam, saluran cerna tidak bergerak terlalu cepat. Jadi, makanan yang membebani ini bisa menyiksa pankreas. Kalau punya diabetes, lonjakan (gula darah)-nya luar biasa. Karena itu, kita harus menjaga nutrisi dan perilaku,” ujarnya.
Olahraga
Dalam diskusi ini, dokter rehabilitasi medis RSHS, Dian Marta Sari, mengatakan, pola hidup sehat yang diperhatikan tidak hanya dari makanan, tetapi juga latihan dan olahraga. Namun, olahraga dengan aktivitas berat tidak disarankan karena membebani tubuh.
Olahraga yang cocok saat berpuasa, lanjut Dian, berupa aerobik dan latihan kekuatan otot yang ringan. Semua dilaksanakan secara bertahap dan menyesuaikan dengan kondisi tubuh.
”Olahraga sedang saja sudah cukup. Untuk mengetahuinya, saat berolahraga lakukan tes bicara. Kalau masih bisa bicara dan tidak terengah-engah, itu berarti olahraga intensitas sedang,” ujarnya.
Jadwal berolahraga juga tidak bisa sembarangan. Dian melanjutkan, waktu olahraga juga diperhatikan karena saat berpuasa asupan energi terbatas. Karena itu, ada baiknya berolahraga sesaat setelah berbuka puasa.
”Sesaat setelah berbuka dan sebelum makan malam itu waktu yang tepat untuk berolahraga. Setelah berbuka dengan air serta makan buah-buahan atau kurma dan beribadah, di sana kita bisa berolahraga. Setelah itu, baru kita makan malam sehingga mengembalikan energi ke organ-organ tubuh kita,” tuturnya.
Disiplin makanan dan aktivitas ini menjadi kunci saat berpuasa di bulan Ramadhan. Dengan membiasakan Jamu Gendong, semua bisa menyambut bulan suci dengan badan yang sehat dan bugar. Selamat berpuasa.