Negara-negara G20 menyepakati harmonisasi protokol kesehatan global. Salah satu isu utama yang disetujui ialah penerapan teknologi digital sertifikat vaksin antarnegara.
Oleh
EVY RACHMAWATI
·3 menit baca
YOGYAKARTA, KOMPAS — Negara-negara anggota G20 menyetujui harmonisasi standar protokol kesehatan global melalui pemanfaatan teknologi digital sertifikat vaksin antarnegara dengan verifikator universal. Dalam hal ini, Indonesia menginisiasi penggunaan portal verifikasi digital sertifikasi vaksin tersebut.
Hasil pertemuan itu disampaikan Maxi Rein Rondonuwu, pimpinan G20 Meeting yang juga Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan RI, dalam konferensi pers pada penutupan G20 The First Health Working Group bertema ”Harmonisasi Standar Protokol Kesehatan Global”, di Yogyakarta, Selasa (29/3/2022).
”Momen G20 ini amat strategis untuk memperbarui komitmen politik antarnegara anggota G20 untuk mewujudkan perjalanan internasional yang aman selama pandemi, tetapi juga untuk mempercepat pemulihan ekonomi,” kata Maxi.
Pertemuan itu dihadiri langsung 25 delegasi dan 92 delegasi secara daring dari perwakilan negara anggota G20, yakni Australia, Argentina, Inggris, India, dan Jepang, negara undangan yakni Singapura dan Belanda, dan sejumlah organisasi internasional. Delegasi dari beberapa negara anggota G20 lain hadir secara virtual, antara lain Jepang, Arab Saudi, dan Rusia.
Sebagai tuan rumah, Kementerian RI mengusulkan pembangunan sistem yang bisa mengenali sertifikat vaksin Covid-19. Dari hasil diskusi, negara-negara anggota G20, negara undangan, dan organisasi internasional mendukung harmonisasi protokol kesehatan global. ”Ada tiga topik utama yang dibahas, yakni saling pengakuan sertifikat vaksin, verifikator universal, dan usulan pemanfaatan teknologi digital dalam amendemen IHR (regulasi kesehatan internasional) WHO,” kata Maxi.
WHO telah mengeluarkan panduan dokumen digital sertifikat Covid-19, yakni status vaksinasi yang diharapkan bisa diterapkan secara global. Para pemimpin negara G20 mengadopsi pedoman protokol kesehatan, seperti sertifikat vaksinasi dan sistem informasi kesehatan digital.
Namun, belum ada keseragaman antarnegara terkait protokol kesehatan dan sistem pengakuan dokumen sertifikat vaksin sehinggamenimbulkan ketidakpastian bagi pelaku perjalanan internasional.
Terkait hal itu, negara-negara anggota G20 sepakat mendukung saling pengakuan, verifikator universal, dan pemanfaatan teknologi digital dalam amendemen IHR WHO. Sejumlah negara mengusulkan digitalisasi tak sebatas untuk sertifikat vaksin Covid-19, tetapi juga untuk jenis vaksin lain, seperti demam kuning. Meski turut mendukung hal itu, China menyatakan ada kendala teknis menerapkannya.
Peran Indonesia
Indonesia akan terlibat dengan kelompok kerja teknis di bawah organisasi internasional terkait untuk membahas tata kelolanya. ”Implementasi sertifikat digital harus mempertimbangkan inklusivitas dan tantangan yang dihadapi negara berkembang,” ujarnya.
”Perlu memastikan soal keamanan dan interoperabilitas, antarnegara dan kawasan, serta mendukung negara agar mempunyai infrastruktur dan kapasitas memadai dalam menyelaraskan versi digital dokumen kesehatan,” kata Maxi.
Staf Ahli Menteri Kesehatan Bidang Teknologi Kesehatan Setiaji menambahkan, Indonesia menginisiasi uji coba universal verified sertificate atau sertifikat terverifikasi universal lewat portal untuk validasi sertifikat vaksin.
Lebih dari 90 negara mengenal standar protokol kesehatan global terkait digitalisasi sertifikat vaksin. Indonesia menginisiasi adanya standar sama di negara anggota G20. Aplikasi Peduli Lindungi yang dipakai di Indonesia diakui lebih dari 82 negara.
”Indonesia menginisiasi universal verified sertificat. Jadi tidak ada pertukaran data, tetapi sebatas validitas vaksin. Ada public key infrastructure atau kunci untuk membuka sertifikat agar dikenal negara lain. Begitu portal terkoneksi, lalu dikasih kode kunci untuk membukanya,” tuturnya.
Penggunaan sistem ini diharapkan diterapkan pada perhelatan G20 mendatang. Tiap negara mengembangkan sistem sendiri, tetapi terkoneksi antarnegara. Ke depan, digitalisasi tersebut tak hanya mencakup verifikasi validitas sertifikat vaksin antarnegara, tetapi juga validitas hasil tes Covid-19 dengan metode PCR atau reaksi rantai polimerase.