Prevalensi kasus TBC masih tinggi di dunia, termasuk di Indonesia. Salah satu hal yang perlu dilakukan yaitu mengadopsi upaya menanggulangi Covid-19 untuk penanganan TBC, yakni tes, pelacakan, dan perawatan.
Oleh
PRADIPTA PANDU MUSTIKA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tuberkulosis atau TBC masih menjadi salah satu penyakit dengan tingkat prevalensi tertinggi di dunia bahkan saat ini menjadi pembunuh nomor dua setelah Covid-19. Upaya menangani TBC jangan hanya fokus terhadap aspek perawatan atau pengobatan, tetapi juga pelacakan dan pemeriksaan dini.
Dokter spesialis paru Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Persahabatan Jakarta sekaligus Kepala Majelis TBC Erlina Burhan mengemukakan, beban tertinggi TBC di Indonesia diperkirakan pada kelompok usia muda dan produktif, yakni 24-35 tahun. Angka prevalensi TBC pada kelompok usia ini mencapai 753 per 100.000 penduduk.
”Survei pada 2013-2014 menunjukkan prevalensi TBC pada pria lebih tinggi dari wanita. Angka kasus TBC di perkotaan juga lebih tinggi daripada di perdesaan,” ujarnya dalam konferensi pers secara daring bersama pakar TBC wilayah Asia Pasifik, Senin (28/3/2022).
Salah satu hal yang perlu dilakukan yaitu mengadopsi upaya menanggulangi Covid-19 untuk penanganan TBC.
Data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 2020 mencatat, terdapat 28.000 orang per hari yang menderita TBC dan sebanyak 4.100 orang meninggal setiap harinya.TBC juga menjadipenyebab kematian ke-13 dan pembunuh menular nomor dua setelah Covid-19.
Sementara Indonesia menjadi negara penyumbang kasus TBC terbanyak ketiga di dunia pada 2020 dengan 824.000 kasus. Jumlah itu di bawah India (2,5 juta kasus) dan China (842.000 kasus). Indonesia juga menjadi salah satu dari delapan negara yang menyumbang dua pertiga kasus TBC baru di dunia.
Menurut Erlina, kasus TBC di Indonesia meningkat tajam sejak 2017 karena terdapat upaya pelacakan dari rumah sakit dan komunitas di masyarakat. Prevalensi TBC pada 2017 tercatat sebanyak 443.670 kasus dan meningkat menjadi 568.987 kasus pada 2019. Namun, adanya pandemi Covid-19 membuat angka TBC di Indonesia mengalami penurunan.
Selain itu, kata Erlina, komplikasi juga muncul dari pemberitahuan dan tingkat keberhasilan pengobatan yang rendah. Pada 2018 tercatat hanya 570.000 dari 845.000 perkiraan pasien yang diberikan pengobatan. Artinya, baru 67 persen penderita TBC yang terlayani cakupan pengobatan. Bahkan, cakupan ini lebih rendah selama pandemi, yakni 43 persen.
”Upaya pencegahan juga masih menjadi permasalahan. Diperkirakan 2,7 juta orang masih mengalami kontak dengan kasus TBC aktif. Ini menunjukkan bahwa upaya penelusuran dan diagnosis awal perlu dilakukan untuk segera mengatahui kasus TBC,” tuturnya.
Sementara terkait dengan upaya pengobatan dan perawatan, Erlina memandang banyak kasus TBC yang terlambat mendapatkan penanganan. Hal ini sebagian besar terjadi karena kurangnya komunikasi dan koordinasi rujukan pasien dari puskemas ke rumah sakit.
Mengingat masih tingginya kasus TBC ini, Erlina menegaskan bahwa semua pihak perlu melakukan upaya penanganan yang lebih serius. Salah satu hal yang perlu dilakukan yaitu mengadopsi upaya menanggulangi Covid-19 untuk penanganan TBC, yakni pemeriksaan dini (testing), pelacakan (tracing), dan perawatan (treatment) atau kerap disingkat 3T.
”Upaya 3T sangat bekerja dalam menangani Covid-19 dan dapat diimplementasikan untuk mengatasi TBC. Di sisi lain, perlu juga meningkatkan prefentif kesehatan dan mengadopsi tentang notifikasi penyebaran TBC secara real time seperti pada kasus Covid-19,” ujarnya.
Sama halnya dengan Covid-19, aspek pelacakan dalam TBC juga berguna untuk menemukan kasus aktif secara cepat sehingga deteksi dan perawatan dini bisa segera dilakukan. Beberapa contoh upaya pelacakan yang bisa diambil, yaitu dengan mendorong fasilitas pelayanan kesehatan melakukan penapisan pada kelompok risiko tinggi TBC, pelibatan masyarakat dengan dukungan pemerintah daerah, atau melalui sistem digital.
Presiden Persatuan Internasional Melawan Tuberkulosis dan Penyakit Paru-paru (The Union) Guy Marks mengatakan, upaya penapisan TBC pada kelompok masyarakat dapat dilakukan dengan sejumlah prosedur. Proses penapisan ini terlebih dahulu harus melalui persetujuan komunitas atau kelompok masyarakat tersebut.
”Setelah mendapat persetujuan, maka bisa dilakukan penjelasan proses penapisan dan mulai mengumpulkan sampel dahak dari tenggorokan mereka secara langsung. Dahak yang sudah dikumpulkan kemudian akan diuji oleh para ahli,” katanya.