Sebagian masyarakat yang terdampak tuberkulosis tidak lagi mengakses layanan kesehatan selama pandemi dan berpotensi menimbulkan dampak sosial ekonomi lebih luas.
Oleh
ADITIA NUGROHO
·4 menit baca
Peringatan Hari Tuberkulosis (TBC) Sedunia pada tanggal 24 Maret tahun ini mempunyai arti penting karena Indonesia memegang tonggak Presidensi G20 yang memiliki kesamaan visi dalam bidang pembangunan. Salah satu isu prioritas dalam konferensi tingkat tinggi tersebut adalah penguatan arsitektur kesehatan global.
Tuberkulosis merupakan salah satu permasalahan global cerminan status endemi di suatu negara masih menjadi musuh utama bagi kesejahteraan masyarakat. Penyakit ini menyebabkan beban ekonomi dengan menghambat produktivitas seseorang terutama di lingkungan masyarakat ekonomi rentan dengan kepadatan penduduk yang tinggi dan kebersihan yang kurang optimal.
Tuberkulosis memberikan pelajaran nyata bagaimana suatu permasalahan kesehatan yang belum tuntas mampu berinteraksi dengan kejadian pandemi baru dan menimbulkan efek domino yang sangat merugikan masyarakat.
Di tengah kontraksi ekonomi terkait Covid-19, BPJS Kesehatan memperkirakan sekitar 3,5 juta pekerja kehilangan pekerjaan serta status kepesertaan Jaminan Kesehatan Nasional pada tengah tahun 2021. Hal ini berdampak pada hilangnya perlindungan finansial masyarakat dalam mengakses layanan kesehatan.
Kajian yang dilakukan oleh Fuady dkk pada tahun 2018 menyatakan bahwa sebuah rumah tangga berpotensi menanggung beban biaya akibat tuberkulosis sekitar hampir Rp 2 juta untuk setiap pasien sensitif obat dan sekitar Rp 40 juta untuk tiap pasien yang sudah resisten dengan pengobatan awal.
Bank Dunia pada tahun 2020 menambahkan bahwa di Indonesia masih terdapat sekitar 25 juta warga yang berada di bawah garis kemiskinan serta berada pada posisi rentan terhadap guncangan terkait ekonomi dan kesehatan. Artinya, kelompok penduduk ini sangat mungkin terdorong lebih dalam ke jurang kemiskinan akibat penyakit tuberkulosis di tengah pandemi Covid-19.
Pembenahan kebijakan
Kemudian apa yang menjadi kecemasan dalam pengelolaan kesehatan masyarakat pun terjadi. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 2020 menyebutkan bahwa Indonesia menempati peringkat kedua dari 16 negara dengan penurunan tingkat pelaporan kasus tuberkulosis paling signifikan selama pandemi Covid-19, lebih dari separuh kasus tuberkulosis tidak terlapor dari total hampir satu juta kasus yang diperkirakan. Hal ini mengisyaratkan bahwa sebagian masyarakat yang terdampak tuberkulosis tidak lagi mengakses layanan kesehatan selama pandemi dan berpotensi menimbulkan dampak sosial ekonomi lebih luas.
Keterlibatan Indonesia di kancah kesehatan global forum G20 seyogianya dimulai dengan pembenahan kebijakan domestik tentang TBC yang menjadi target Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Presiden Joko Widodo sudah memberikan respons terhadap permasalahan TBC dengan menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2021 tentang Penanggulangan Tuberkulosis. Aturan ini menitikberatkan bahwa pendanaan pelayanan kesehatan perseorangan pasien TBC dibebankan kepada pendanaan jaminan kesehatan. Pemerintah baik pusat dan daerah harus berperan aktif dalam melakukan mitigasi dampak psikososial dan ekonomi dengan memberikan jaminan dan perlindungan sosial.
Keterlibatan Indonesia di kancah kesehatan global forum G20 seyogianya dimulai dengan pembenahan kebijakan domestik tentang TBC yang menjadi target Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).
Sayangnya, langkah konkret dalam melaksanakan peraturan ini belum dapat dirasakan manfaatnya. Peraturan teknis turunan sangat diperlukan terutama terkait dengan mekanisme penjaminan keabsahan kepesertaan JKN dengan target masyarakat yang belum mempunyai jaminan. Dengan mempertimbangkan bahwa sebagian besar pekerja di Indonesia merupakan pekerja sektor informal dengan penghasilan tak menentu, perluasan cakupan peserta JKN pada kelompok ini menjadi hal yang patut dipertimbangkan.
Selanjutnya, diperlukan pula pedoman dalam memberikan perlindungan sosial sehingga masyarakat terdampak TBC tetap berdaya secara psikososial selama menjalani pengobatan dalam jangka waktu paling tidak enam bulan. Harapannya, terduga pasien tuberkulosis tidak perlu ragu lagi untuk datang ke fasilitas kesehatan walaupun saat itu belum mempunyai jaminan kesehatan. Penyelenggara layanan kesehatan dan penyelenggara jaminan kesehatan diharapkan mampu berkoordinasi dengan baik tanpa memberikan beban tambahan kepada pasien.
Indonesia juga diharapkan memanfaatkan momentum G20 untuk membangkitkan komitmen global dalam penanggulangan TBC sesuai dengan kesepakatan tentang End TB Strategy dalam pertemuan WHO Global Ministerial Conference tahun 2017. Dokumen Strategi Nasional Penanggulangan (Stratnas) TBC 2020-2024 menunjukkan bahwa dari keseluruhan anggaran yang dibutuhkan untuk penanggulangan tuberkulosis tahun 2019 di Indonesia, proporsi pendanaan dari dalam negeri sebesar 30 persen, sementara pendanaan luar negeri sebesar 13 persen, dan masih terdapat kesenjangan sebesar 57 persen. Hal ini mengisyaratkan bahwa arsitektur kesehatan global memegang peran signifikan dalam meminimalkam kesenjangan kemampuan sumber daya antarnegara.
Selain dukungan pendanaan dari kancah global, Indonesia juga bisa memanfaatkan sumber daya pengetahuan dari negara lain yang sukses mengendalikan TBC dengan mengoptimalkan cakupan kesehatan semesta (universal health coverage). Indonesia bisa belajar tentang bagaimana menggunakan JKN sebagai sarana pengungkit kualitas dan efisiensi pembiayaan layanan TBC sehingga akses dapat diperluas dan kesinambungan program JKN tetap terjaga.
Sudah saatnya Indonesia berdaya menghadapi musuh kesejahteraan rakyat bernama tuberkulosis. Penurunan angka kejadian TBC dari angka 261 per 100.000 populasi bisa dimaksimalkan dengan memanfaatkan momentum serta intervensi bermakna menuju target 65 angka kejadian per 100.000 penduduk pada tahun 2030.
Penulis yakin bahwa indikator keberhasilan tak melulu mengacu pada angka keberhasilan yang telah dicapai saat ini, tetapi juga dengan memastikan bahwa kita berada pada jalur yang benar untuk mencapai tujuan tersebut. Upaya eliminasi TBC memerlukan pemahaman bersama mengenai tantangan dan kebutuhan yang diterjemahkan dalam tindakan kolektif baik di tingkat nasional maupun global.
Aditia Nugroho, Dokter dan Pengamat Kebijakan Kesehatan; Penasihat Pembiayaan Kesehatan di Lembaga Pembangunan Internasional yang Fokus pada Belanja Kesehatan Strategis Layanan Tuberkulosis melalui Skema JKN di Indonesia