Jangan Lupakan Pengendalian TBC di Tengah Pandemi Covid-19
Indonesia menjadi negara penyumbang kasus tuberkulosis atau TBC terbanyak ketiga di dunia dengan 824.000 kasus. Di tengah pandemi Covid-19 yang masih melanda, pengendalian penyakit ini tidak boleh dilupakan.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Situasi pandemi Covid-19 yang melanda dua tahun terakhir jangan sampai mengendurkan upaya pengendalian tuberkulosis atau TBC. Penyakit yang disebabkan Mycobacterium tuberculosis ini merupakan penyakit infeksius penyebab kematian tertinggi kedua di dunia setelah Covid-19.
Berdasarkan data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) 2022, terdapat 28.000 orang per hari yang menderita TBC. Sebanyak 4.100 orang meninggal setiap harinya. Indonesia menjadi negara penyumbang kasus TBC terbanyak ketiga di dunia pada 2021 dengan 824.000 kasus. Jumlah itu hanya kalah dari India (2,5 juta kasus) dan China (842.000 kasus).
”Kita mungkin terlupakan akibat pandemi Covid-19 dua tahun ini sehingga tidak sempat memikirkan tuberkulosis. Kita diingatkan kembali tentang bahaya TBC ini. Dibutuhkan kolaborasi untuk mengendalikannya,” kata Ketua Ikatan Ahli Manajemen dan Administrasi Rumah Sakit Indonesia Hariyadi Wibowo dalam webinar ”Berantas Tuberkulosis, Selamatkan Generasi Bangsa” yang diselenggarakan Rumah Sakit Premier Bintaro, di Jakarta, Sabtu (26/3/2022).
Ketua I Perkumpulan Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia (PPTI) Sri Sumaryanti Budhisantoso mengatakan, pengendalian TBC memerlukan kerja sama semua pihak. Dalam program penyuluhan, pihaknya fokus menemukan kasus baru dan mendukung penyembuhan pasien.
Oleh sebab itu, penyuluhan dilakukan oleh kader hingga tingkat desa yang berkoordinasi dengan puskesmas. ”Kita harus menyelamatkan generasi bangsa dari penyakit TBC ini,” ujarnya.
Kita mungkin terlupakan akibat pandemi Covid-19 dua tahun ini sehingga tidak sempat memikirkan tuberkulosis. Kita diingatkan kembali tentang bahaya TBC ini. Dibutuhkan kolaborasi untuk mengendalikannya.
Dokter spesialis penyakit paru di RS Premier Bintaro, Rantih Intani A Damita, menyebutkan, meski sangat menular, TBC bisa disembuhkan dengan pengobatan yang tepat. TBC menular melalui droplet dan menyerang organ tubuh, terutama paru-paru.
”Prinsip pengobatannya memerlukan jangka waktu tertentu 6-9 bulan dengan paduan minimal empat macam obat yang ditetapkan dokter. Keteraturan meminum obat hingga tuntas merupakan salah satu faktor terpenting dalam pengobatan TBC,” ujarnya.
Penemuan kasus sedini mungkin, pengobatan secara tuntas sampai sembuh, merupakan salah satu upaya terpenting dalam memutuskan penularan TBC di masyarakat.
Rantih menuturkan, TBC dapat ditularkan oleh siapa pun dan di mana pun. Oleh karena itu, penularan penyakit ini mesti dicegah dengan sejumlah cara, di antaranya memberikan vaksin Bacillus Calmette-Guerin (BCG) pada bayi dan menghindari kontak droplet dengan penderita TBC.
”Disarankan memakai masker jika berada di tempat ramai. Selain itu, disertai dengan hidup sehat dan menjaga sirkulasi udara di ruangan,” ujarnya.
Selain menginfeksi paru-paru, penyakit ini juga menyerang organ lainnya, seperti ginjal, kelenjar getah bening, tulang belakang, dan otak. Penyakit penyerta diabetes, HIV/AIDS, gizi buruk, serta kebiasaan merokok dan minum alkohol meningkatkan risiko tertular TBC.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kementerian Kesehatan Didik Budijanto memaparkan, dari estimasi 824.000 pasien TBC di Tanah Air, baru 49 persen yang ditemukan dan diobati. Dengan demikian, terdapat 500.000-an orang yang belum diobati dan berisiko menjadi sumber penularan.
”Untuk itu, upaya penemuan kasus sedini mungkin, pengobatan secara tuntas sampai sembuh, merupakan salah satu upaya terpenting dalam memutuskan penularan TBC di masyarakat,” katanya.
Didik menambahkan, pihaknya akan mengidentifikasi TBC terhadap 500.000-an kasus yang belum ditemukan tersebut. Skrining dilakukan dengan peralatan X-Ray Artificial Intelligence untuk memberikan hasil diagnosis yang lebih cepat dan efisien.