Pusat Nyatakan Tengkes di NTT Tinggi, Provinsi Membantah
Pemerintah pusat menyatakan angka tengkes di NTT tinggi, tetapi dibantah oleh provinsi. Perbedaan data itu diharapkan tidak ada unsur kesengajaan.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·3 menit baca
SOE, KOMPAS - Presiden Joko Widodo mengunjungi Kabupaten Timor Tengah Selatan di Nusa Tenggara Timur pada Kamis (24/3/2022). Pemerintah pusat menyatakan daerah itu dengan prevalensi kasus tengkes tertinggi nasional. Namun, pihak provinsi menyatakan jumlah kasus sudah turun. Diharapkan adanya transparansi data agar penanganan tengkes dapat berjalan dengan baik.
Menurut rilis Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), angka tengkes di Timor Tengah Selatan sebesar 48,3 persen. Hal ini berarti sebanyak 48 dari 100 anak di daerah itu mengalami tengkes. Kabupaten itu pun menduduki peringkat pertama dari 246 kabupaten/kota di 12 provinsi yang menjadi prioritas penanganan tengkes.
Kepala BKKBN yang juga Ketua Pelaksana Tim Percepatan Penurunan Stunting Nasional Hasto Wardoy mengatakan, kondisi itu yang mendorong Presiden datang untuk melihat langsung penanganan tengkes di daerah itu. Pada Kamis, Presiden tiba di Soe, ibu kota Kabupaten Timor Tengah Selatan, sekitar 110 kilometer arah timur Kota Kupang, Ibu kota Provinsi NTT.
Selain Timor Tengah Selatan, masih ada 14 kabupaten/kota di NTT yang berada pada zona merah kasus tengkes (prevalensi di atas 30 persen). Selebihnya, 7 kabupaten/kota lainnya berada pada zona kuning (20-30 persen). Tak ada satu pun kabupaten/kota di NTT yang berada pada zona hijau (10-20 persen), apalagi zona biru (di bawah 10 persen).
Namun, pada saat bersamaan, Ketua Kelompok Kerja Percepatan Penanganan dan Pencegahan Stunting Provinsi NTT Sarah Lery Mboeik membantah data yang dirilis oleh BKKBN.
Menurut dia, angka tengkes di Kabupaten Timor Tengah Selatan pada 2021 bukan 48,3 persen, melainkan 32,1 persen. Selisih angka sebesar 15,2 persen.
Sarah mengemukakan, angka 32,1 persen itu setara dengan 13.123 balita. ”Jadi, data yang kami punya ini by name by address, nama balitanya siapa dan tinggal di mana, dan penyebabnya stunting-nya apa. Dengan data ini, kami akan lebih mudah melakukan intervensi program untuk mengatasi stunting,” katanya.
Dari data yang disodorkan Sarah, Kabupaten Timor Tengah Selatan dengan angka tengkes tertinggi disusul Kabupaten Sumba Barat Daya sebesar 31,2 persen atau 6.360 balita. Kabupaten/kota yang lain di bawah 30 persen. Prevalensi terendah adalah Kabupaten Sumba Tengah, yakni 8,1 persen atau 559 balita.
Berharap perbedaan data ini hanya metode, bukan karena unsur kesengajaan. (Vinsen Kia Beda)
Secara keseluruhan, pada 2021, sebanyak 20,9 persen atau 81.354 balita di NTT mengalami tengkes. Angka itu meningkat pada Februari 2022 menjadi 22 persen atau 91.032 balita mengalami tengkes. Sebanyak 10 dari 22 kabupaten/kota mengalami peningkatan, rata-rata 1,1 persen.
Direktur Yayasan Pijar Timur Indonesia Vinsen Kia Beda mengatakan, perbedaan data itu sangat memengaruhi proses penanganan tengkes di NTT. Sebagaimana harapan Presiden bahwa perlunya kerja sama dari pusat hingga ke daerah, hal ini harus berawal dari data. ”Berharap perbedaan data ini hanya metode, bukan karena unsur kesengajaan,” ujarnya.
Vinsen pun mengkritisi kerja tim yang dipimpin Sarah. Menurut dia, tim tersebut hanya mengompilasi data. Sementara kerja di lapangan untuk penanganan tengkes seperti pembinaan terhadap remaja untuk persiapan pernikahan dan deteksi dini pada ibu hamil tidak tampak jelas. Padahal, tim tersebut mendapat anggaran miliaran rupiah setiap tahun.