Layanan Tak Boleh Kesampingkan Disabilitas dan LGBTQ+
Edukasi dan layanan kesehatan reproduksi harus dilakukan merata, menyentuh semua lapisan masyarakat, terutama kelompok marjinal.
Akses terhadap layanan kesehatan reproduksi yang belum merata masih menjadi masalah di Indonesia. Dampaknya, belum semua lapisan masyarakat pemahaman yang baik tentang pentingnya hak kesehatan seksual dan reproduksi.
Kesenjangan ini sangat dirasakan oleh kelompok marjinal dan terpinggirkan, seperti masyarakat dengan disabilitas dan kalangan lesbian, gay, biseksual, transjender, queer, dan lain-lain (LGBTQ+). Minimnya akses terhadap pelayanan kesehatan ditambah rendahnya pemahaman tentang hak kesehatan seksual dan reproduksi membuat kelompok disabilitas dan LGBTQ+ rentan mendapatkan kekerasan seksual yang berujung kehamilan tidak diinginkan.
Berdasarkan data Survei Kinerja dan Akuntabilitas Program (SKAP) 2019 oleh Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN),kasus kehamilan yang tidak diinginkan di Indonesia ada di 17,5 persen. Sementara itu, Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2017 menyebut kehamilan tidak diinginkan terjadi pada 12 persen perempuan usia 15-24 yang belum menikah.
Dalam webinar Media Fellowship Rutgers WPF Indonesia beberapa waktu lalu, Hastin Atas Asih, Manajer Program Right Here Right Now Rutgers WPF Indonesia, mengatakan, kehamilan yang tidak diinginkan sangat erat kaitannya dengan aborsi. Namun, dengan pemahaman hak kesehatan seksual dan reproduksi yang rendah, korban kehamilan tidak diinginkan masih sulit mendapatkan layanan aborsi aman.
Baca juga: Perempuan Sulit Akses Layanan Aborsi Berstandar Medis
”Padahal, berdasarkan regulasi, Indonesia memiliki Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 3 Tahun 2016 yang membolehkan korban pemerkosaan dan kekerasan seksual untuk melakukan aborsi. Faktanya, belum semuanya mendapatkan layanan yang aman ini. Korban akhirnya memilih menggunakan aborsi ilegal yang tidak aman yang berujung pada banyaknya kematian ibu,” tutur Hastin.
Pemahaman masyarakat dan tenaga kesehatan yang rendah seputar hak kesehatan seksual dan reproduksi menjadi hambatan pemberian layanan aborsi yang aman. Hastin juga menambahkan nilai-nilai agama dan budaya masih melarang aborsi. Padahal, dari sisi kesehatan, kehamilan yang tidak diinginkan bukan saja merugikan ibu, melainkan juga calon anaknya kelak.
Penyandang disabilitas
Edukasi tentang hak kesehatan seksual dan reproduksi bagi kelompok marjinal juga tidak boleh melupakan kelompok disabilitas. Isu kesehatan reproduksi pada kelompok disabilitas merupakan bentuk layanan kesehatan inklusif yang perlu diterapkan di Indonesia.
Salman Al-Faris dari Komunitas Remaja Inklusi Jember mengatakan, salah satu contoh rendahnya pemahaman tentang kesehatan reproduksi pada kelompok disabilitas adalah terkait kehamilan. Masih ada anggapan bahwa orangtua disabilitas bakal melahirkan anak dengan kondisi yang sama.
”Padahal, tidak seperti itu. Ada banyak yang membuktikan di Jember juga ada penyandang disabilitas menikah dengan orang non-disabilitas, anaknya sehat-sehat saja, normal-normal saja,” terangnya.
Baca juga: Momentum Penuhi Hak Penyandang Disabilitas
Salman juga menyoroti tingginya angka kasus kekerasan seksual pada kelompok disabilitas, terutama pada perempuan tuli. Baru-baru ini, ia mendapatkan laporan perempuan disabilitas yang dipaksa untuk berhubungan seks oleh pacarnya, dengan janji akan dinikahi.
Berdasarkan pengalamannya, alasan akan dinikahi menjadi modus utama terjadinya kehamilan yang tidak diinginkan. Untuk itu, edukasi terkait kesehatan reproduksi perlu diberikan secara komprehensif kepada kelompok disabilitas.
Lewat komunitasnya, Salman kerap memberikan edukasi baik diskusi secara langsung maupun melalui media sosial dan media massa. Diharapkan dengan edukasi ini, kepedulian kelompok disabilitas terhadap isu kesehatan reproduksi meningkat.
Tidak adanya dukungan keluarga membuat mereka terusir dari rumah dan harus hidup sendiri. Satu-satunya cara untuk mendapatkan uang agar bisa bertahan hidup adalah dengan menjadi pekerja seks.
Di saat bersamaan, Salman mengatakan perlu ada peningkatan kapasitas pelayanan kesehatan, terutama di puskesmas, terkait edukasi kesehatan reproduksi bagi kelompok disabilitas. ”Teman-teman berkebutuhan khusus terlambat mendapatkan informasi dari non-disabilitas. Misalnya, teman tuli ingin tahu soal kesehatan reproduksi di puskesmas, tetapi petugas puskesmas tidak bisa bahasa isyarat, tentu sulit berkomunikasi,” ujarnya.
Tantangan kelompok LGBTQ+
Selain kelompok disabilitas, kesenjangan akses dan pengetahuan seputar kesehatan reproduksi juga dirasakan oleh kelompok LGBTQ+. Risiko terpapar penyakit menular seksual yang lebih tinggi membuat kelompok LGBTQ+ perlu memahami hak kesehatan seksual dan reproduksi.
Alegra Wolter, dokter sekaligus pakar kesehatan seksual, mengatakan, banyak kelompok LGBTQ+ yang harus hidup di jalanan sejak muda. Tidak adanya dukungan keluarga membuat mereka terusir dari rumah dan harus hidup sendiri. Satu-satunya cara untuk mendapatkan uang agar bisa bertahan hidup adalah dengan menjadi pekerja seks.
”Ini menempatkan mereka dalam populasi berisiko tinggi HIV. Di jalanan sejak muda dan jadi sex worker, tidak bisa bargaining soal penggunaan kondom kepada klien, bahkan mungkin juga tidak tahu soal kondom,” tutur Alegra.
Meski pengobatan HIV kini bisa didapatkan secara gratis, masalah administrasi menghalangi kelompok LGBTQ+ dalam mendapatkan pelayanan kesehatan. Ketika ingin mengakses layanan pemerintah, mereka kesulitan karena tidak memiliki identitas resmi seperti KTP.
Ada juga risiko perlakuan negatif seperti ejekan dan perundungan, serta pemanggilan nama dan jender yang tidak sesuai. Pada beberapa orang, mereka juga rentan mengalami terapi konversi yang diinisiasi oleh keluarga.
Alegra menyebut, terapi konversi merupakan dampak dari rendahnya pemahaman terhadap identitas jender dan seksualitas di masyarakat. Terapi konversi adalah beberapa metode yang dipercaya masyarakat dapat mengubah orientasi seksual hingga identitas jender seseorang.
“Bisa lewat aspek religi, misalnya, seperti ruqyah. Saya juga tahu masih ada beberapa psikolog dan psikiater yang melakukan ini ya. Kalau di media televisi, pernah ada acara televisi Be A Man yang melatih para transpuan dengan harapan bisa jadi normal kembali. Padahal, hal-hal ini tidak bisa mengubah identitas jender seseorang,” kata Alegra.
Baca juga: Lindungi Penyandang Disabilitas dari Kekerasan Seksual
Pemerkosaan merupakan bentuk terapi konversi paling ekstrem yang diketahui Alegra. Pada kelompok lesbian, ketidaktertarikan terhadap laki-laki dianggap terjadi karena belum pernah merasakan hubungan seks sehingga pemerkosaan yang dilakukan laki-laki kepada perempuan lesbian disebut dapat membuat mereka kembali tertarik pada laki-laki.
”Ada yang diperkosa oleh keluarganya sendiri, ada yang oleh orang lain tetapi atas suruhan keluarga,” ujarnya.
Edukasi komprehensif
Pemahaman tentang layanan kesehatan inklusif termasuk dalam edukasi hak kesehatan seksual dan reproduksi. Saat ini, kampanye edukasi kesehatan reproduksi yang diberikan di usia sekolah semakin masif.
Sayangnya, masih ada guru yang memilah-milah materi yang akan diberikan kepada siswa. Hal ini membuat edukasi hak kesehatan seksual dan reproduksi menjadi tidak komprehensif.
Baca juga: Pendidikan Kesehatan Reproduksi untuk Mitigasi Risiko
”Selama ini kita diajarinnya, tuh,jangan berhubungan seks nanti hamil atau kena penyakit kelamin. Padahal, kan, itu oversimplified, masalahnya tidak sesederhana itu,” kata Alegra.
Alegra mengatakan edukasi komprehensif penting, termasuk dalam isu aborsi akibat kehamilan yang tidak diinginkan. Masih ada tenaga kesehatan yang masih takut mendapatkan kriminalisasi ketika melakukan aborsi meski sudah dilindungi oleh Permenkes.
Karena itu, ke depannya, edukasi yang diberikan tidak boleh hanya seputar komponen reproduksi saja. Edukasi tentang aspek legalitas terutama yang berhubungan dengan korban kekerasan seksual perlu diberikan kepada tenaga kesehatan secara khusus dan masyarakat luas secara umum.