Pendidikan Kesehatan Reproduksi untuk Mitigasi Risiko
Pendidikan kesehatan reproduksi yang sesuai dengan umur, budaya, dan konteks kehidupan akan membekali anak-anak, terutama remaja, untuk bersikap dan menentukan kehidupan seksual dan sosial mereka.
Oleh
Yovita Arika
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Pendidikan kesehatan reproduksi bukan sekadar pendidikan mengenai kesehatan reproduksi dan seksualitas, tetapi merupakan bentuk mitigasi risiko agar anak-anak dapat terlindung dari kekerasan, terutama kekerasan seksual termasuk pernikahan usia anak. Karena itu, pendidikan kesehatan reproduksi harus diberikan secara komprehensif dan masuk ke kurikulum pendidikan di sekolah.
Informasi yang akurat tentang kesehatan reproduksi dan seksual akan memberikan pemahaman kepada anak-anak untuk mengetahui dan mengenal diri mereka terkait organ reproduksi serta sikap dan nilai yang harus mereka ambil terkait kehidupan seksual mereka. Hal ini penting untuk menjaga ketahanan reproduksi remaja.
“Yang harus dipahami, pendidikan seksualitas itu ilmu. Ini tidak sekadar tentang organ produksi, tetapi juga bagaimana relasi antar peer group (teman sebaya) agar mereka (anak-anak) dapat terlindung dari kekerasan, terutama kekerasan seksual, dapat menolak dari tekanan teman-teman sebaya, tahu bullying (perundungan) itu apa dan bagaimana menghadapinya,” kata Frenia Nababan, Koordinator Gerakan Kesehatan Ibu dan Anak (GKIA), ketika dihubungi Kompas, Kamis (13/2/2020), di Jakarta.
Pendidikan seksualitas itu ilmu. Ini tidak sekadar tentang organ produksi, tetapi juga bagaimana relasi antar teman sebaya.
Frenia setuju dengan harapan Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo agar pendidikan kesehatan reproduksi masuk kurikulum di sekolah. Hasto telah menemui Menteri Pendidikan untuk mengusulkan supaya kesehatan reproduksi masuk di kurikulum di tingkat sekolah dasar hingga menengah atas. (Kompas, 13/2).
Diintegrasikan ke mata pelajaran
Secara terpisah, Kepala Pusat Kurikulum dan Pembelajaran kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Awaluddin Tjalla mengatakan bahwa pendidikan seksual dan kesehatan reproduksi sudah ada secara eksplisit di dalam kurikulum, sejak kurikulum 1994 hingga Kurikulum 2013 saat ini. Kemendikbud bekerja sama dengan Kementerian Kesehatan untuk menyusun modul pelajaran untuk guru.
Dia mengatakan, materi pendidikan seksual dan kesehatan reproduksi ini dijadikan sebagai muatan diversifikasi kurikulum melalui integrasi dengan mata pelajaran yang relevan. Materi pendidikan ini diintegrasikan ke dalam mata pelajaran pendidikan jasmani, olahraga, dan kesehatan serta mata pelajaran IPA yang secara eksplisit tertuang dalam kompetensi dasar. Selain itu juga dikontekskan dengan mata pelajaran Bahasa Indonesia, PPKn, dan pendidikan agama.
Pendidikan seksual dan kesehatan reproduksi, lanjut Awaluddin, juga dapat dijadikan sebagai teks bacaan dalam pemelajaran Bahasa Indonesia sejak sekolah dasar. Dalam materi pendidikan seksual pada Kurikulum 2013, pada mata pelajaran IPA untuk kelas VI misalnya, siswa diberi pemahaman mengenai hubungan ciri pubertas pada laki-laki dan perempuan dengan kesehatan reproduksi.
Kemudian pada mata pelajaran pendidikan jasmani, olahraga dan kesehatan untuk kelas IX dan X, misalnya, ada pemahaman tentang konsep dan prinsip pergaulan yang sehat antar remaja dan menjaga diri dari kehamilan pada usia sekolah. Adapun pada mata pelajaran Biologi SMA untuk kelas XI, ada materi tentang analisa hubungan struktur jaringan penyusun organ reproduksi dengan fungsinya dalam sistem reproduksi manusia.
Menurut Frenia, model pendidikan kesehatan reproduksi yang seperti itu tidak cukup. “Pendidikan kesehatan reproduksi harus diberikan secara komprehensif, tidak terpisah-pisah begitu. Kalau kita mengacu pendidikan kesehatan reproduksi dari International Technical Guidance on Sexuality Education, apa yang harus diberikan kepada anak-anak itu ada urutan dan keberlanjutannya,” kata dia.
Karena pendidikan kesehatan reproduksi itu mutlak diberikan kepada siswa dalam bentuk kurikulum tersendiri, Frenia berharap kemendikbud dan Kementerian kesehatan duduk bersama membahas hal ini. Termasuk dalam hal ini harus mempertimbangkan jumlah mata pelajaran yang sudah membebani siswa. “Jumlah mata pelajaran yang ada jangan sampai membebani siswa,” kata dia.