Setengah Juta Jiwa Melayang Selama Gelombang Omicron
Sedikitnya setengah juta orang meninggal karena Covid-19 selama terjadinya gelombang Omicron. Selain meningkatkan kematian, jumlah kasus yang meninggi juga memicu mutasi dan munculnya varian baru.
Oleh
AHMAD ARIF
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sedikitnya setengah juta orang meninggal karena Covid-19 selama terjadinya gelombang Omicron sejak akhir November 2021. Organisasi Kesehatan Dunia menyesalkan banyaknya korban jiwa ini, di tengah anggapan Omicron lebih ringan dan telah dilakukannya vaksinasi.
Manajer Insiden Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Abdi Mahamud, dalam keterangan pers pada Selasa (8/2/2022) mengatakan, dari 130 juta kasus Covid-19 secara global sejak Omicron dinyatakan sebagai varian mengkhawatirkan pada akhir November 2021, sudah ada 500.000 korban jiwa.
”Di zaman vaksin yang efektif, setengah juta orang meninggal, itu benar-benar sesuatu yang memprihatinkan,” kata Mahamud.
Itu (lonjakan Omicron) membuat puncak-puncak sebelumnya terlihat hampir datar.
Di sisi lain, menurut Mahamud, banyak semua orang mengatakan Omicron lebih ringan, ”(Mereka) melewatkan titik bahwa setengah juta orang telah meninggal sejak varian ini terdeteksi. Ini lebih dari tragis,” katanya.
Kepala Teknis WHO untuk Covid-19 Maria van Kerkhove menambahkan, jumlah kasus dan kematian karena Covid-19 sebenarnya bisa jauh lebih tinggi daripada yang diketahui. ”Itu (lonjakan Omicron) membuat puncak-puncak sebelumnya terlihat hampir datar,” katanya.
Kerkhove mengingatkan, kita masih berada di tengah pandemi ini. ”Banyak negara belum melewati puncak Omicron mereka,” katanya. ”Virus ini terus berbahaya,” uarnya, menegaskan.
Empat subvarian
Meluasnya penyebaran varian Omicron juga telah memicu munculnya mutasi-mutasi baru. Saat ini, WHO telah mencatat ada empat subgaris keturunan Omicron. Subvarian BA. 2 dianggap lebih mudah menular dan mulai menggeser dominasi BA.1 atau subvarian awal Omicron.
Van Kerkhove mengatakan, sejauh ini tidak ada indikasi yang menunjukkan bahwa BA.2 mengakibatkan penyakit Covid-19 yang lebih parah daripada BA.1. Akan tetapi, saat ini masih dalam proses pengumpulan bukti sehingga terlalu dini untuk disimpulkan.
Mahamud juga menambahkan, belum diketahui apakah seseorang bisa terinfeksi BA.1 dan BA.2 secara bersamaan. Para ilmuwan saat ini tengah menyelidiki subvarian BA.2, yang pertama kali diidentifikasi di India dan Afrika Selatan pada akhir Desember 2021. Sejak itu, subvarian ini juga telah ditemukan di AS dan Eropa.
Subvarian BA.2. diperkirakan memiliki 20 mutasi tambahan pada protein pakunya (spike protein) dibandingkan dengan BA.1, meskipun para ilmuwan belum menyimpulkan apa implikasinya. Varian ini telah menjadi dominan di Denmark. Di negara yang telah didominasi subvarian ini kasusnya telah meningkat, seperti juga terjadi di Inggris.
Sebuah studi baru-baru ini melihat transmisi subvarian Omicron di rumah tangga Denmark dan menemukan bahwa subvarian BA.2 secara substansial lebih menular daripada varian aslinya. Studi yang belum ditinjau sejawat ini dipimpin oleh Frederik Plesner Lyngse dari Kementerian Kesehatan Denmark dan bisa diakses di Medrxiv.org.
Studi ini mengamati rumah tangga di Denmark yang memiliki satu orang yang dites positif Omicron antara 20 Desember 2021 dan 11 Januari 2022. Mereka memiliki 2.122 orang yang positif BA.2 dan 6.419 orang dengan BA.1.
Para peneliti kemudian mengikuti orang-orang ini untuk melihat apakah mereka menularkan subvarian Omicron mereka ke anggota lain di rumah mereka. Mereka menemukan bahwa subvarian BA.2 menularkan lebih banyak pada anggota rumah tangga yang tidak divaksinasi dan divaksinasi bila dibandingkan dengan subvarian BA.1. Akan tetapi, mereka juga menemukan bahwa orang yang tidak divaksinasi lebih mungkin menularkan BA.2 daripada mereka yang divaksinasi.
Direktur Pascasarjana Universitas YARSI Tjandra Yoga Aditama mengatakan, kalau penularan Covid-19 di masyakat sedang tinggi seperti sekarang, virus harus bereplikasi untuk terus memperbanyak diri dalam penularan ini. ”Pada waktu virus bereplikasi, maka dapat saja terjadi mutasi, dan kalau mutasi berkepanjangan maka ini dapat berpotensi menimbulkan varian baru. Jadi, pengendalian penularan di masyarakat juga akan amat berperan untuk mencegah timbulnya lagi varian-varian baru di masa datang,” katanya.